Dalam Hal Tolong Menolong, Kita Kalah Oleh Orang Australia

Sabtu, 24 Maret 2018 | 14:15 WIB
0
1296
Dalam Hal Tolong Menolong, Kita Kalah Oleh Orang Australia

Judul tulisan di atas mungkin saja membuat sebagian orang yang membacanya menjadi tersinggung. Seakan-akan karena saya menumpang hidup di Australia, terus memberikan puji-pujian kepada orang Australia.

Tapi sesungguhnya, yang ingin disampaikan adalah agar kita jangan sampai terlena dan terbius oleh lagu lama. Yakni bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang bersifat gotong royong, ramah tamah dan saling tolong menolong.

Karena itu adalah lagu lama dan sudah tidak lagi dipraktikkan dalam hubungan berinteraktif dalam bermasyarakat. Coba saja tengok bila kendaraan kita mogok di jalan apakah ada yang mau berhenti dan membantu? Atau kalau ada orang yang bertanya, tentang lokasi sebuah tempat, apakah ada yang mau menghentikan kegiatannya, mengantarkan kita ke arah tujuan kita?

Ketika menyaksikan ada orang tua yang sedang mengangkat barang berat, adakah orang dengan sukarela menawarkan bantuan untuk mengangkatnya?

Kalau kita sakit dan tergeletak di rumah, apakah ada teman kita yang datang membawa cangkul dan membersihkan pekarangan kita yang ditumbuhi semak belukar ? Rasanya sudah sangat langka menemui hal-hal semacam ini.

Hanya Mengingatkan Saja

Seperti yang sudah di tulis diatas tulisan ini, hanya sekedar mengingatkan, bahwa masyarakat kita bukan lagi masyarakat yang dulu, yang mau turun tangan membantu siapa saja yang sedang membutuhkan bantuan. Bahkan kalau kita tergeletak sakit, paling sahabat  kita datang membawa sekeranjang buahan dan setelah berbasa-basi sesaat terus pamitan.

Setidaknya hal inilah yang saya rasakan selama tinggal di negeri orang. Ketika kendaraan yang saya kemudikan mogok dan tidak mau distarter, ada yang datang dan menawarkan bantuan padahal ia sudah akan meninggalkan lokasi di Morley Market.

Mencari kabel  dan berusaha memarkir kendaraannya, sehingga dapat menjangkau kendaraan saya. Dengan jalan ini kendaraan saya dapat distarter lagi. Bayangkan kalau tidak ada yang mau menolong, saya harus memanggil kendaraan derek dengan biaya minimal 300 dolar atau sekitar 3 juta rupiah.

Setelah membantu, saya tanyakan berapa harus saya bayar? Pria yang menolong malahan ketawa ngakak. Sambil melambaikan tangannya, ia berkata, "Tidak semua hal dihitung dengan uang". Selama ini yang saya dengar adalah bahwa orang Australia bersifat egois dan individual, tapi ternyata sama sekali betolak belakang

Padahal saya sama sekali tidak kenal. Saya dengan diri pria yang menolong, jelas berbeda dalam banyak hal. Tapi ia mau menolong hingga tuntas.

Ketika Saya Terbaring Dirumah Sakit

Teman-teman saya orang Australia datang dari jauh bersama keluarganya. Bukan hanya sekedar mengantarkan buahan dan terus pergi, melainkan menguruskan dengan pihak rumah sakit di ruang di mana saya dirawat, dipasang sebuah pesawat televisi, agar saya tidak jenuh berada sepanjang hari seorang diri dalam ruang karantina.

Ketika saya sudah diijinkan pulang ke rumah, mereka masih terus datang, bahkan membantu membersihkan pekarangan rumah karena sudah sebulan tidak saya urus karena berada di rumah sakit.

Sewaktu kami camping, semua makanan dikeluarkan dan kami makan bersama-sama. Tidak seorangpun yang memisahkan makanannya untuk dinikmati sendiri. Bahkan mereka dengan rela mau mengambilkan air dari sungai, untuk kami mandi karena jaraknya cukup jauh dari tempat kami berkemah.

Merindukan Masyarakat Indonesia Tempo Dulu

Dulu di kampung halaman saya di Padang, seperti itulah hidup kami. Saling membantu tanpa menunggu diminta tolong dan tidak memperhitungkan untung ruginya. Tapi sejak tinggal di Jakarta, saya merasa sungguh-sungguh kehilangan semuanya.

Bahkan selama hampir 10 tahun tinggal dalam satu gedung dan berdampingan di Mediterania Lagoon Apartement, kami hampir tidak saling mengenal. Kalau kita coba untuk berbicara beberapa menit saja, orangnya sudah menengok ke jam tanganya dan mengatakan : "Maaf, saya ada urusan penting."

Mungkin memang sudah zamannya seperti ini? Atau saya sudah ketinggalan zaman? Entahlah, tapi yang pasti saya merindukan masyarakat Indonesia yang seperti dulu. Penuh perhatian dan ikhlas saling membantu.

***

Editor: Pepih Nugraha