Catatan Hukum (3): Siapa Berhak Atas “Waduk Sepat” Kota Surabaya?

Sabtu, 24 Maret 2018 | 13:57 WIB
0
890
Catatan Hukum (3): Siapa Berhak Atas “Waduk Sepat” Kota Surabaya?

Tim Penaksir – yang seandainya ada dibentuk Walikota Surabaya – tak memperhatikan aspek sosial dan budaya warga Lidah Kulon, sebab ternyata keputusan tukar-menukar tanah tersebut dikeluarkan dengan menimbulkan kontroversi dan penolakan masyarakat.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2005 tentang Kelurahan, pasal 26 huruf d menentukan: Pembinaan teknis dan pengawasan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pasal 23 ayat (2) meliputi: .... d. mengawasi pengelolaan keuangan kelurahan dan pendayagunaan aset daerah yang dikelola oleh kelurahan.

Berdasarkan ketentuan tersebut kewenangan Pemkot Surabaya terhadap tanah Waduk Sepat adalah seharusnya sebatas pengawasan pendayagunaannya yang dilakukan oleh Kelurahan Lidah Kulon.

Tetapi dalam kenyataannya Pemkot Surabaya telah melakukan tirani hukum dengan cara mengalihkan hak atas tanah Waduk Sepat tanpa persetujuan Kelurahan Lidah Kulon termasuk di dalamnya adalah komunitas warga Dukuh Sepat.

Dari Aspek Hukum Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM): a. Pasal 36 ayat (1) dan (2) menentukan: (1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat, dengan cara yang tidak melanggar hukum. (2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dengan secara melawan hukum.

Jadi, “Pemkot Surabaya telah menyalahgunakan kewenangan hukum dengan melanggar hak kolektif masyarakat Dukuh Sepat Kelurahan Lidah Kulon atas tanah Waduk Sepat tersebut,” ungkap Advokat Subagyo, SH kepada Pepnews.com.

Pasal 44 menentukan: Setiap orang baik sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, baik dengan lisan maupun dengan tulisan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini, Pemkot Surabaya telah mengabaikan atau tidak memberikan hak berpendapat dan menyatakan usulan bagi warga Dukuh Sepat yang tidak menyetujui peralihan hak (tukar menukar) atas tanah Waduk Sepat tersebut.

Sisi Aspek Hukum Perdata dan Pidana. Dari segi hukum perdata, terutama hukum acara perdata, eksekusi pengosongan secara paksa tanah Waduk Sepat oleh Ciputra Surya selaku pihak swasta hanya boleh dilakukan jika terdapat izin atau perintah pengadilan.

Hal tersebut merupakan prinsip hukum. Perbuatan eksekusi paksa tanpa adanya putusan izin atau perintah pengadilan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian bagi warga yang menjadi korbannya.

Perbuatan eksekusi paksa yang dibantu Kepolisian tanpa izin pengadilan itu merupakan tindak pidana, baik menurut Pasal 421 KUHP (perbuatan paksa) maupun Pasal 170 KUHP, sebab itu dilakukan secara bersama-sama di muka umum dengan kekerasan yang telah menimbulkan kerusakan barang-barang dan luka-luka atau cedera pada warga di tempat kejadian perkara.

Dari segi hukum pidana, adanya pemalsuan data atau keterangan keadaan tanah Waduk Sepat pada saat proses tukar-menukar dengan tanah Ciputra Surya, yakni keterangan bahwa tanah tersebut adalah “pekarangan” dalam sertifikat HGB yang diterbitkan atas nama Ciputra Surya  dan dalam Surat Keputusan Walikota tentang tukar-menukar tanah itu disebutkan sebagai “tanah bekas waduk”.

“Karena keputusan Walikota Surabaya dan sertifikat HGB merupakan akta otentik maka hal tersebut merupakan tindak pidana menurut Pasal 266 KUHP,” lanjut penasihat hukum warga Dukuh Sepat dari kelompok warga yang tidak menyetujui tukar guling Waduk Sepat.

Penghentian Penyidikan oleh Polda Jatim. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP Jo Pasal 1 angka 2 Perkap No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana pengertian dari Penyidikan adalah:

Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.

Dengan dimulainya penyidikan oleh Polda Jatim melalui Surat Perintah Penyidikan Nomor : SP.Sidik/520/III/2017 Ditreskrimum pada 8 Maret 2017, maka sebenarnya Polda Jatim telah menyatakan bahwa perbuatan yang dilaporkan oleh warga (Dian Purnomo) adalah tindak pidana, sehingga perlu dilakukan Penyidikan untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya;

Tindakan Polda Jatim yang melakukan penghentian Penyidikan karena alasan bahwa perkara yang dilaporkan oleh warga Dukuh Sepat tersebut adalah bukan merupakan tindak pidana, adalah cacat prosedur, melanggar ketentuan Perkap No 14 Tahun 2012 dan KUHAP.

Tindak Pidana yang dilaporkan warga tersebut telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana pemalsuan surat. Unsur-unsur Pasal yang dilaporkan oleh pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP, maka unsur-unsur tindak pidana “Pemalsuan Surat” sesuai dengan ketentuan pidananya, seperti unsur “barang siapa”, terpenuhi.

Unsur ”barang siapa” dalam undang-undang ini sejajar dengan istilah dader (pelaku pidana) dalam pengertian hukum pidana. Merujuk pada istilah itu, bila dikaitkan dengan peristiwa pidana sebagaimana dugaan tindak pidana Pemalsuan Surat yang dilaporkan oleh Pelapor (Dian Purnomo) kepada Polda Jatim dengan Laporan Polisi Nomor: LPB/911/VIII/2016/UM/ Jatim pada 10 Agustus 2016 yang diduga dilakukan  Ir. Muh Adi Dhramawan, MEng, SE.

Dugaan tindak pidana Pemalsuan Surat yang dilaporkan oleh warga diduga dilakukan oleh Muh Adi Dhramawan adalah kapasitasnya selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya I yang menerbitkan dan menandatangani Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 4057 / Kelurahan Lidah Kulon, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, Surat Ukur tanggal 21-12-2010 Nomor 641/Lidah Kulon/2010, Luas 59.857 m2 atas nama PT Ciputra Surya, Tbk.

Oleh karena penerbitan sertifikat tersebut atas permohonan Ciputra Surya, maka pengurus  Ciputra Surya merupakan pihak yang menyuruh melakukan atau yang mempergunakan sertifikat yang diduga palsu.

Yang palsu adalah keterangannya yang menyatakan Waduk Sepat sebagai tanah pekarangan: “Membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak atau suatu perikatan dan atau pembebasan hutang.

Dalam perkara dugaan tindak pidana Pemalsuan Surat yang dilaporkan oleh Pemohon kepada Termohon atas tindakan Terlapor Muh Adi Dhramawan adalah membuat sebuah surat yaitu Sertifikat HGB Nomor 4057 atas nama Ciputra Surya yang seluruh atau sebagian isinya palsu.

Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan yang sebenarnya, yang mana di dalam keterangan sertifikat tersebut tercatat bahwa tanah Sertifikat HGB No. 4057/Kelurahan Lidah Kulon tersebut ditulis “tanah pekarangan”.

Namun, keterangan itu tak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya karena hingga sekarang bahwa Waduk Sepat tak pernah berubah menjadi pekarangan dan masih tetap sebagai waduk sejak zaman kolonial Belanda dahulu hingga saat ini. “Sehingga unsur membuat surat palsu atau memalsukan surat telah memenuhi,” ujar Subagyo.

Dengan diterbitkannya Sertifikat HGB Nomor 4057 atas nama Ciputra Surya itu adalah suatu akta autentik yang dikeluarkan pejabat berwenang dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan Surabaya I yang dikepalai oleh Terlapor Muh Adi Dhramawan telah menimbulkan suatu hak atas tanah tersebut kepada Ciputra Surya;

Tanah yang ada dalam Sertifikat HGB No. 4057/Kelurahan Lidah Kulon itu ditulis “tanah pekarangan”, namun keterangan tersebut diduga palsu atau tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

Sertifikat HGB No. 4057/Kelurahan Lidah Kulon yang diduga palsu karena tidak sesuai dengan kenyataan telah dijadikan suatu bukti oleh Ciputra Surya yang telah mulai melakukan kegiatan dengan memasukkan alat berat ke pinggiran Waduk Sepat.

Dan, melakukan pemagaran keliling Waduk Sepat, sehingga warga Dukuh Sepat, Kelurahan Lidah Kulon dan warga Surabaya umumnya, termasuk Pelapor, terhalang akses untuk dapat memanfaatkan Waduk sepat seperti biasanya dan Waduk Sepat terancam dialihkan fungsinya;

Berdasarkan uraian diatas maka unsur yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut solah-olah isinya benar dan tidak dipalsu telah terpenuhi;

Unsur kerugian yang diderita oleh Pemohon atas penggunaan surat palsu yaitu Sertifikat HGB Nomor 4057 atas nama Ciputra Surya adalah kerugian immaterial. Yaitu, kerugian ekologis dan kerugian hak untuk berpartisipasi dalam penataan ruang.

Kerugian ekologisnya adalah bahwa untuk dilakukan perubahan waduk menjadi lahan pekarangan untuk kepentingan pembangunan properti maka warga masyarakat yang berdekatan dengan Waduk Sepat berhak untuk dimintai pendapatnya mengingat perubahan bentuk lingkungan hidup akan mempunyai dampak ekologis kepada warga masyarakat sekitarnya.

“Bahkan dapat terjadi pada warga yang jauh dari Waduk Sepat, misalnya akibat banjir yang ditimbulkan dari air yang seharusnya diserap oleh Waduk Sepat,” ungkap Subagyo dalam penjelasannya.

Sedangkan kerugian hak atas partisipasi masyarakat yang diderita Pemohon adalah bahwa dalam prinsip Hukum Penataan Ruang terdapat asas partisipasi masyarakat di mana setiap orang yang berada di sekitar wilayah perubahan peruntukan ruang atau wilayah haruslah dimintai pendapatnya.

Berdasarkan uraian diatas warga Dukuh Sepat mengalami kerugian imateriil yaitu kerugian dari segi sosial, kesusilaan, kehormatan dan lain-lain. Bagi warga Dukuh Sepat, perubahan Waduk Sepat menjadi bentuk lain merupakan kerugian sosial, budaya, ekonomi dan ekologi.

“Seperti halnya bahwa Waduk Sepat adalah amanat Tuhan dan leluhur untuk dipertahankan sebagai pengikat sosial. Maka unsur dapat menimbulkan kerugian telah terpenuhi,” lanjut Subagyo.

Sebagaimana telah diuraikan diatas berdasarkan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 263 KUHP sebagaimana perbuatan yang dilaporkan Pemohon kepada Termohon telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP tentang Tindak Pidana Pemalsuan Surat.

“Namun karena Sertifikat Hak atas Tanah tersebut merupakan akta otentik maka pemalsuan surat yang dimaksud dikenakan Pasal 266 KUHP,” kata Subagyo yang mengadvokasi warga bersama LBH Surabaya dan Kontras Surabaya.

Menurut Subagyo, Waduk Sepat ini tinggal satu-satunya waduk yang tersisa. “Jika itu diurug oleh Ciputra Surya ya habis sudah. Sekarang ini kampung sekitarnya banjirnya makin besar kalau hujan karena waduk di bagian utara sudah diurug,” ungkapnya.

“Tapi diprotes warga sehingga walikota meminta kegiatan pengurukan dihentikan. Menurut penelusuran walikota, belum diterbitkan izin apapun untuk kegiatan Ciputra Surya di waduk itu,” lanjut Subagyo. Semoga Hak Warga atas Waduk Sepat dikembalikan.

(Habis)

***

Tulisan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/03/23/catatan-hukum-2-siapa-berhak-atas-waduk-sepat-kota-surabaya/