Film "Asimetris", Kibal-kibul Motivasi Ala Kelapa Sawit

Kamis, 22 Maret 2018 | 07:04 WIB
0
870
Film "Asimetris", Kibal-kibul Motivasi Ala Kelapa Sawit

Ada yang sudah pernah membaca komik Koel: Kibal-kibul Motivasi karya Kurnia Harta Winata?

Dalam komik itu diceritakan tentang motivator pertama. Hidup sebenarnya sederhana: kalau ngantuk tidur, kalau lapar makan, dan kalau mau makan daging berburu. Namun kemudian ada orang lain yang menggerakkan, dengan menentukan keinginan mereka, untuk bekerja lebih keras sehingga hidup menjadi agak lebih rumit dan melelahkan.

Ada yang sudah nonton film Asimetris yang digarap oleh Watchdoc?

Aku beruntung bisa menonton bersama teman-teman yang lain di Java School Cafe pada Minggu sore yang cerah tanggal 18 Maret 2018. Aku dan beberapa orang datang terlambat, namun pemilik tempat tidak keberatan untuk menayangkan filmnya lagi. Big love deh untuk Kak Diaz, Kak Caprit, dan Java School Cafe...

Aku rangkum sebentar film Asimetris yang tempo hari aku tonton. Jadi, minyak kelapa sawit itu menjadi penyumbang devisa terbesar negara. Indonesia dan Malaysia menjadi negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Masalahnya, keuntungan dari minyak sawit ini tidak dirasakan oleh masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit. Konflik agraria, kebakaran hutan dan masalah turunannya, pencemaran lingkungan, dan banyak hal buruk dialami oleh masyarakat. Nah, masalah-masalah yang dialami masyarakat ini yang diangkat ke layar oleh teman-teman dari Watchdoc.

Ada bagian film tersebut yang menceritakan tentang kelompok orang di Jambi yang tidak mau lahannya yang sekarang digunakan untuk menanam padi dialihfungsikan untuk menanam kelapa sawit. Alasannya, sejak dahulu seperti itu mereka hidup. Ibu-ibu menanam padi, bapak-bapak mengambil karet, dan anak-anak mengangon ternak. Dari padi dan karet itulah mereka hidup dari hari ke hari. Mereka hidup dengan berkecukupan. Tidak perlu berlebih.

Ada juga orang-orang yang tinggal di Papua, mereka menolak siapapun yang membuka hutan di sana karena dari hutan lah sagu dan bahan makanan lain tersedia. Filosofi mereka, hutan menyediakan makanan manusia dan manusia menjaga hutan. Hutan menyediakan makanan untuk orang-orang di sana dalam jumlah yang lebih dari cukup. Tidak perlu mengurusi daerah lainnya. Orang lain tahu cara bertahan hidupnya sendiri. Dan mereka sudah cukup dengan hidup mereka sendiri.

Korporasi kemudian datang untuk membujuk orang-orang ini menjual tanah pada korporasi supaya bisa ditanami kelapa sawit. Kelapanya akan dibuat minyak untuk memenuhi kebutuhan orang-orang di seluruh dunia.

Orang-orang ini diiming-imingi keuntungan yang banyak bila mau mengalihfungsikan lahannya untuk digunakan menanam sawit. Sampai-sampai, muncullah konflik-konflik agraria. Dalam artikel yang dipublikasi oleh cnnindonesia.com, disebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit menjadi komoditas yang mendominasi konflik agraria di Indonesia tahun 2017.

Apa kaitannya film Asimetris dan komik Koel: Kibal-kibul Motivasi?

Dalam film juga diperlihatkan kehidupan petani kelapa sawit yang skala kecil. Pak Presiden berkata, “...kalau perusahaan bisa produksi kelapa sawit sampai 8 ton, petani juga harus bisa delapan ton. Jangan dua ton.”

Ada petani kelapa sawit yang memang produksinya kecil karena masih menggunakan metode tradisional dalam menggarap kebunnya. Mau beli mesin juga tidak punya uang. Penghasilannya hanya cukup untuk makan dan hidup dari hari ke hari. Apa petani ini harus berhutang?

Aku sih yakin Pak Presiden bermaksud baik. Namun kalau memang petani itu sudah puas dengan hasil kebun dan hidupnya, mengapa harus dipaksa? Kecuali nih, pemerintah mau memberi bantuan alat dan modal yang cukup untuk petani bisa meningkatkan produksinya. Kalau petani ini harus berutang ya kasian juga. Jangan mengatakan kalau mau sukses harus mau ambil resiko, petani itu pasti sudah memikirkan dampak baik dan buruknya.

Menonton film Asimetris itu, aku berfikir alangkah baiknya kalau kita mau menghormati keputusan orang-orang yang ingin hidup sederhana. Orang-orang yang tidak mau mengalihfungsikan lahan mereka. Orang-orang yang mau hidup dengan cara tradisional. Ya... ya... Cara tradisional belum tentu baik. Namun banyak dari cara-cara tradisional itu baik.

Entah mengapa aku merasa konflik yang ditampilkan adalah masalah antara masyarakat dan perusahaan saja. Bukankah seharusnya negara atau pemerintah ikut campur? Warga negara bukan hanya perusahaan saja kan? Masyarakat yang memilih hidup dengan cara tradisional itu juga perlu mendapat perlindungan. Tanah-tanah yang digunakan untuk menanam padi itu juga perlu mendapat perlindungan.

Sawit memang mengisi kas negara, namun masyarakat butuh sejahtera dan rasa aman dengan lingkungan yang damai. Kenyamanan hidup masyarakat seharusnya lebih penting dari mengisi kas negara. Kecuali, negara kita merupakan perusahaan dagang.

***

Editor: Pepih Nugraha