Pekan lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan hajatan bareng Provinsi Jambi dengan nama Rencana Aksi Program Pemberantasan Korupsi. Penyelenggara kegiatan KPK dan dalam kegiatan itu dihadiri oleh jajaran pegawai pemerintah daerah Jambi. Kegiatan ini dilaksanakan di Ruang Pola Kantor Gubernur Jambi, Senin 19 Maret 2018. Kegiatan bertujuan untuk kampanye pencegahan korupsi di lingkungan pemerintah daerah provinsi Jambi.
Tetapi yang bikin aneh dan bikin geleng-geleng kepala, yang membuka acara "Rencana Aksi Program Pemberantasan Korupsi" yang di adakan oleh Tim Pencegahan KPK itu adalah Gubernur Jambi Zumi Zola.
What!? Zumi Zola? Bukankah saat ini gubernur Jambi itu menyandang status tersangka olek KPK sendiri dengan dugaan menerima gratifikasi berkaitan dengan proyek di lingkungan pemprov Jambi dan suap pengesahan RAPBD? Kok bisa KPK "Jaka Sembung bawa golok"?
Coba tengok dari sisi etika moral; bagaimana bisa seorang tersangka yang kemungkinan besar akan menghuni tahanan KPK membuka acara terhormat yang diadakan oleh KPK itu sendiri? Lebih lucu lagi kalau dalam pembukaannya itu si tersangka, dalam hal ini Zumi Zola, bicara soal pemberantasan korupsi di lingkungan pemerintah daerah pula di saat Zumi Zola ditersangkakan terkait masalah korupsi atau gratifikasi dilingkungan birokrasi pemerintah daerah ini?
Waduh, siapa yang error dalam kasus ini? Apakah KPK "masuk angin" atau kecolongan telah mengadakan acara yang masuk kategori memalukan itu? Tidak usah bertanya kepada pakar hukum apakah etis seorang tersangka diajak KPK dalam acara pemberantasan korupsi, bertanya kepada kucing lewat saja pasti mengeong kalau pas lagi lapar.
Bahkan dalam pembukaan acara itu Zumi Zola memberikan kata sambutan supaya KPK mampu mendorong perbaikan birokrasi di provinsi Jambi. Weleh weleh... di sinilah letak "Jaka Sembung bawa golok"-nya KPK!
Zumi Zola juga mengapresiasi dan mendukung langkah KPK dalam melaksanakan amanat pasal 6 undang-undang tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, terutama dalam melaksanakan koordinasi, supervisi dan monitoring penyelenggaraan pemerintahan.
Bener-bener susah diterima akal sehat. Di satu sisi KPK mengatakan tidak etis seorang pejabat atau calon kepala daerah menyandang status tersangka, di sisi lainnya KPK duduk bersama pejabat atau kepala daerah yang justru menjadi tersangka KPK.
Sekalipun juru bicara KPK Febri Diansyah memberi penjelasan bahwa kegiatan itu yang mengadakan Tim Pencegahan KPK yang berdeda dengan Tim Penindakan, yaitu yang menangani kasus Zumi Zola dan kerja di penindakan katanya tidak bisa dipengaruhi, tetap saja itu KPK juga.
[caption id="attachment_12995" align="alignleft" width="450"] Febria Diansyah (Foto: Kompasiana.com)[/caption]
Tim Pencegahan KPK dan Tim Penindakan KPK adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam tugasnya dan membawa nama lembaga KPK, wong ruangannya satu atap dengan KPK, bukan? Bagaimana bisa seorang juru bicara KPK mengatakan Tim Pencegahan dan Tim Penindakan adalah berbeda?
Betul berbeda dalam tugasnya, tetapi ada yang janggal dan aneh, seorang pejabat kepala daerah yang jadi tersangka di lembaga KPK bisa mengadakan acara dan bicara tentang pencegahan korupsi di lingkungan pemerintah daerah.
Bahkan Indonesia Corruption Wacth alias ICW yang selalu membela atas pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, kali ini juga geleng-geleng kepala, keputusan KPK yang melibatkan Zumi Zola dalam kegiatan tersebut susah diterima akal sehat. Bagaimana mungkin seorang tersangka KPK bisa turut membantu dalam program pemberantasan korupsi.
"Bukannya mendapatkan apresiasi justru kegiatan ini akan merusak citra KPK di mata publik karena telah berkolaborasi dengan tersangka korupsi. Mengundang, apalagi meminta tersangka korupsi membuka acara dan melibatkan dalam satu forum antikorupsi merupakan suatu keteledoran dan tidak berjalan fungsi pengawasan di internal KPK," begitu kata Adnan dari ICW.
KPK selama ini memang mendapat dukungan yang luar biasa dalam pemberantasan korupsi dari masyarakat, bahkan apa yang dilakukan oleh KPK, masyarakat selalu mendukung. Tapi kali ini sepertinya "blunder besar" KPK di mana seorang tersangka bisa duduk bersama dalam acara pemberantasan korupsi.
KPK juga harus dikritik karena lembaga ini bukan lembaga suci tanpa celah kesalahan, jangan sampai pimpinan KPK yang mengatakan tidak etis seorang calon kepala daerah dengan status tersangka, sekarang malah lembaga itu mengundang seorang tersangka korupsi untuk bicara mengenai pemberantasan korupsi. Siapa yang tidak etis sampai di sini?
Jauh sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, tujuan diumumkannya para calon kepala daerah sebagai tersangka antara lain biar masyarakat tahu calon kepala daerahnya yang tersangkut masalah korupsi dan tidak terpilih. Masak kepala daerah dengan status tersangka tetap dilantik menjadi kepala daerah atau pejabat, tidak etis, begitu penjelasan Agus Rahardjo.
Bahkan waktu itu seakan KPK juga merangkap sebagai "konsultan", yaitu mengusulkan agar Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu yang membolehkan pergantian calon kepala daerah yang ditetapkan tersangka oleh lembaganya, yaitu KPK. Padahal, KPK adalah lembaga independen yang tidak bisa di intervensi oleh siapapun juga, baik dari DPR atau Presiden.
Jadi menurut KPK, seseorang yang sudah menyandang status tersangka intinya tidak layak menjadi seorang kepala daerah, apalagi sampai terpilih. "Tidak etis," katanya saat itu.
Sekarang, siapa yang tidak etis menghadirkan tersangka korupsi di sebuah forum terhormat yang diinisiasi oleh KPK?
Kalau Zumi Zola mah mau-mau saja atuh, wong yang ngajak lembaga yang telah membuatnya jadi tersangka!
Stop geleng-geleng kepalanya, yuk sekarang teriak bareng-bareng, "Uedan tenaaaannnnn...!"
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews