Bukan Kancil Pilek, Sepenggal Kisah dari Amien Rais

Kamis, 22 Maret 2018 | 07:44 WIB
0
714
Bukan Kancil Pilek, Sepenggal Kisah dari Amien Rais

Saya membaca cerita tentang "Kancil Pilek" ini saat masih duduk di bangku SMA, dari kolom yang ditulis Kuntowijoyo di Majalah UMMAT No. 23/II, 12 Mei 1997/5 Muharam 1418 H. Dalam kolomnya, Kunto menyebut bahwa cerita ini pertama kali dia dengar dari Amien Rais. Sementara Amien, menurut pengakuannya, mendapatkan cerita ini dari ibundanya.

Amien pantas digelari Bapak Reformasi karena ia tak mau menjadi kancil pilek. Pada saat intelektual lain nyaman bersembunyi di menara gading, ia tak segan untuk memilih "head to head" dengan penguasa. Sebagai intelektual ia mungkin tak selalu akurat. Tapi sebagai politisi, kita tahu ia tak pernah membungkuk-bungkuk di hadapan kekuasaan.

Beginilah kisah "Kancil Pilek" sebagaimana yang diceritakan ulang oleh Kuntowijoyo:

Ketika sang Macan jadi raja, sekretaris pribadi, menteri, satpam, bahkan tukang sapunya, semuanya adalah macan. Maksudnya, agar rahasia kerajaan lebih terjaga. Segalanya akan mudah bila di sekitar raja dan istana hanya ada pejabat yang sebangsa dengan raja. Nepotisme yang merupakan kejahatan di dunia manusia, itu hal biasa di dunia binatang.

Sekalipun sang raja terkenal kejam, tak kenal ampun dengan bangsa lain, toh ia toleran dan suka berbuat baik dengan sesamanya. Bangsa lain jangan berani berbuat salah, hukuman serendah-rendahnya ialah dicakar, setinggi-tingginya dilalap habis. Tetapi, terhadap sesama macan, ia suka ngobrol, mengundang makan, atau sekadar bercengkerama. Dengan sesama macan, yang salah diberi hadiah, yang lupa ditertawakan. Pendek kata, mban cinde mban siladan atawa pilih kasih. Apa boleh buat, habis dia raja.

Nah, pada suatu hari, ketika sang raja duduk di singgasana, hidungnya menangkap bau pesing di auditorium. Aneh bin ajaib: auditorium raja berbau pesing. Ada yang kencing di situ. Ini sudah keterlaluan, pikirnya. Tak bisa ditolerir, siapa pun yang berbuat. Hidung raja cungat-cengit ke sana-sini.

Tak salah lagi! Binatang! Ini mesti perbuatan binatang yang mau pendek umurnya, yang mau cupet hidupnya, yang pingin lekas mati! Akan tetapi, dia tidak mau tergesa-gesa. Sebab, yang berani masuk ke istana pasti bangsa harimau juga. Maka yang akan dikerjakannya ialah dua hal: minta kesaksian bangsa lain tentang bau itu, lalu menangkap pelakunya.

Dipanggilnya sekretaris pribadi untuk mengumpulkan bangsa non-macan. Pihak ketiga pasti objektif. Yang pertama adalah wakil bangsa sapi. Dari rumah, banyak yang berpesan supaya ia berkata jujur, apa adanya, dan tidak ditutup-tutupi.

“Jujur itu mujur,” kata mereka.

Sebagai wakil bangsa sapi, dikirim yang muda, pemberani, dan jujur.

Sesampai di istana, sang raja bertanya, “Bagaimana pendapatmu, bangsal ini berbau pesing apa tidak?”

Sapi muda pun mengendus-ngenduskan hidungnya, lalu berkata, “Baginda, bangsal ini sungguh sangat pesing.”

Di luar dugaan, raja itu marah besar. “Bagaimana kau bisa berkata begitu tentang istana Raja, he!”

Ia berdiri, taringnya keluar, mengaum, dan kuku-kukunya memanjang.

Singkat cerita, sapi muda tak pernah kembali ke rummah, habis dilalap sang raja dan konco-konconya.

Kisah tentang sapi itu segera tersebar ke seluruh pelosok. Semua warga gemetar ketakutan. Maka, ketika giliran bangsa kambing memberi kesaksian, semua berpesan kepada wakil bangsa kambing untuk berhati-hati.

“Utamakan keselamatan," pesan mereka.

Di istana, pertanyaan yang sama diajukan oleh raja. “Benarkah bangsal ini berbau pesing?”

Kambing pun pura-pura mengendus-ngendus, sekalipun ia sudah tahu jawabannya. Katanya, “Baginda, menurut hidung saya, tak ada bau pesing di bangsal ini. Malah sepertinya wangi sekali.”

Di luar dugaan, raja itu marah besar. “Bohong, bohong! Betapa beraninya kau membohongi Raja!”

Ia berdiri. Taringnya keluar, mengaum, dan kukunya memanjang.

Singkat cerita, kambing tak pernah kembali ke rumah, habis dilalap juga.

Nasib kambing itu pun terdengar oleh seluruh warga. Mereka menjadi kecut. Warga frustrasi.

Di utara, warga bergerombol dan saling bertanya, “Bagaimana?”

Di selatan, warga bergerombol dan saling bertanya, “Apa akal?”

Di barat, mereka saling bertanya, “Bagaimana?”

Di timur, mereka saling bertanya, “Apa akal?”

Sementara itu, ada desakan dari kerajaan agar salah satu dikirim sebagai wakil.

Akhirnya, pilihan warga jatuh pada kancil. Maka kancil pun ke istana dengan dandanan khusus. Lehenya terbungkus halsdoek. Di tangannya, terdapat selembar saputangan yang sebentar-sebentar mampir ke hidungnya. Jebres, jebres! Sambil bersin-bersin, dia masuk istana.

Dari singgasananya, sang Macan bertanya, “Betulkah bangsal ini berbau pesing?”

Jebres, jebres! Kancil pun menjawab, “Baginda melihat sendiri saya sedang pilek. Maka hidung saya tak bisa mencium apa pun.”

Tiba-tiba macan itu menunjukkan taringnya dan mengaum. Tetapi, taring dan aumnya berarti tawa terkekeh-kekeh, menyadari kebodohannya sendiri.

“Ya, aku tahu. Sekarang kau boleh pulang.”

***

Editor: Pepih Nugraha