Beroposisi Dengan Media

Selasa, 20 Maret 2018 | 18:59 WIB
0
637

Perdebatan siapa yang layak jadi tokoh Capres dari #ABJ2019 harus kita mulai akhiri. Kalau berangkat dengan fanatisme masing-masing tidak akan pernah selesai. Sesama kawan akan saling hantam dan berantam yang ujung-ujungnya menguntungkan lawan.

Bagaimana kalau saya menawarkan solusi lewat Lawan? Begini wahai para #ABjersMasih ingat masa Pilpres 2014 dan akhirnya kita mendapatkan Rezim KW-3 sekarang? (maksudnya kerja woi...kerja woi...kerja woi).

Masa itu media-media seperti Kompas, Media Indonesia, Merdeka dan terutama Detik menjadi media buzzer yang memoles dan mencitrakan salah satu Capres gila-gilaan.

Kadang sampai kebelet pipis aja diangkat jadi berita, wajarlah setelah terpilih berita-berita tentang dia tetap ngga jauh dari sandal jepit, kaos oblong, dan kolor bolong.

Berita Pencitraan yang menjurus ke "brainwash" oleh media kala itu bisa sampai sepuluh kali setiap hari.

Kalah dosis minum obat orang sakit yang biasanya paling banyak cuma tiga kali.

Tapi bisa jadi yang menjadi target media adalah orang-orang sakit mental, cocoklah dengan jargon Re-polusi Mental mereka, dari sakit logika menjadi gila...

Jadi sekarang mari kita buat jadi sederhana, sama seperti logika Wanda Hamidah. Cukup dibolak-balik akan menjadi kue yang sempurna.

Kalau TGB, GN, Anies Baswedan atau siapa saja dianggap media jadi Calon Kuat melawan #ABJ2019, berarti sebenarnya mereka-mereka adalah lawan paling lemah.

Sebaliknya kalau Prabowo diberitakan dengan massif tidak layak maju lagi dan lebih baik jadi King Maker saja, itu karena Prabowo dianggap lawan terkuat bahkan diprediksi akan menang dengan mudah.

***

Editor: Pepih Nugraha