Di bulan Maret 1958, 60 tahun yang lalu terjadilah perang saudara antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (Pemerintah Republik Revolusioner Indonesia/PRRI) di kota Padang, Sumatera Barat. Perang berakhir pada bulan Agustus 1961. Sebetulnya Perdana Menteri Djuanda terus terang melukiskan, keputusan pemerintah untuk melakukan aksi militer guna memadamkan perlawanan merupakan pilihan yang sulit.
Mengapa Djuanda berpikiran demikian? Karena dalam pandangan pribadinya, bagaimanapun juga aksi militer akan memakan korban jiwa di kedua belah pihak. Tetapi Djuanda juga menyatangkan mengapa dari pihak PRRI tidak memberikan pilihan lain kepada pemerintah pusat.
Selain itu, faktor lain mengapa pemerintah pusat menyerang habis-habisan pemerintah tandingan, dipandang karena Menteri Luar Negeri PRRI/Permesta Maludin Simbolon dengan berani mengeluarkan instruksi kepada semua perwakilan asing di Jakarta untuk tunduk kepada mereka.
Pun tidak dapat dipungkiri adalah gerak gerik Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) yang digerakkan untuk menuju ke perairan Singapura. Kekuatan itu terdiri dari kapal penjelajah berat USS Bremerton, destroyer USS Ticonderoga. Gugus Tugas 75 ini membawa serta dua batalion pasukan marinir "United States Marine Corps (USMC) dalam kondisi siap tempur.
[caption id="attachment_12670" align="alignleft" width="479"] Ahmad Husein, pemimpin pemberontakan PRRI[/caption]
Keterlibatan AS dalam membantu gerakan anti Soekarno adalah suatu kenyataan dari kebijakan politik luar negeri AS waktu itu, yaitu di masa Perang Dingin. Berkaitan dengan Indonesia tahun 1957, Kongres AS menyetujui usulan Presiden AS Eisenhower yang disebut "Doktrin Eisenhower," yaitu dengan memberikan dana sebesar 10 juta dollar AS dalam bentuk cek kosong.
Program Eisenhower ini dibuat untuk memerangi pengaruh komunisme di negara-negara miskin di Asia dengan berbagai cara seperti memberi pinjaman yang harus dipakai untuk membeli sesuatu dari AS, misalnya beras dan senjata atau menggunakan CIA (Agen Intelijen Pusat) untuk menggulingkan kepala negara yang tidak sportif terhadap politik AS, yaitu dengan mendukung gerakan opisisi. Maksudnya adalah agar supaya pemerintahan yang baru tidak ragu-ragu lagi menjadi suatu pemerintahan yang pro Amerika.
Pada akhirnya rencana AS ini gagal di Indonesia setelah Kolonel Achmad Yani yang dibantu Mayor Sudomo selaku Kepala Staf ATF-17 menyerang habis-habisan Markas Besar PRRI di Padang. Ahmad Husein sebagai pemimpinnya lari ke luar kota bersama sisa-sisa anak buahnya.
Sebetulnya sebelum perang meletus, Presiden Soekarno pada tanggal 2 Februari 1957 pernah membuat surat pribadi kepada Ahmad Husein, yang menanggilnya sebagai anak. Tetapi himbauan itu tidak dihiraukan Ahmad Husein. Malah lebih membuat Bung Karno marah karena AS ikut campur dalam negeri Indonesia. Begitu pula himbauan Bung Hatta dalam suratnya tanggal 4 Maret 1957, pun tidak digubris Ahmad Husein.
[irp posts="10513" name="Bung Karno Tidak Masalah Memilih Berdasarkan Agama"]
Secara pribadi, saya bertemu dua kali dengan Ahmad Husein di rumahnya di Jakarta. Pertemuan ini difasilitasi Jusron Lamisi teman di FHUI. Ia adalah suami dari kakak isteri Ahmad Husein. Saya hanya mendengar satu kalimat dari Ahmad Husein yan waktu itu sudah sakit-sakitan duduk di kursi roda, "Saya Bukan Pemberontak. Cita-cita kami agar Bung Karno tidak terlalu dekat dengan PKI."
Akhir hidup Ahmad Husein, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kuranji Padang. Ia memperoleh amnesti dari pemerintah. Ahmad Husein adalah juga seorang militer. Pernah menjadi Komandan Brigade EE Banteng Territorium I Bukit Barisan di Padang. Juga ikut dalam operasi memulihkan keamanan di daerah Aceh. Tahun 1959 ikut melakukan operasi di daerah Jawa Barat.
Tulisan pernah dimuat di wartamerdeka.net
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews