Foto yang diambil dari BBC Indonesia ini tentang penderitaan Suku Asmat di Papua mengingatkan saya akan perjalanan saya ke Irak, Desember 1992.
Mengapa demikian? Karena sewaktu saya ke Irak, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah melakukan embargo perdagangan dan ekonomi kepada Irak. Foto-foto seperti yang dialami suku Asmat itu, kurang gizi, didera berbagai penyakit, pun banyak terpampang di berbagai media di Baghdad, ibu kota Irak.
Penderitaan yang dialami penduduk Irak sudah tentu berbeda dengan di Indonesia. Saya hanya melihat dari sisi munculnya berbagai penyakit di wilayah tertentu, termasuk di Baghdad dan Papua.
Di Papua, saya juga pernah di Jayapura dan Abepura selama empat tahun sejak 1975-1979, kuliah di Universitas Cenderawasih (UNCEN). Saya mengalami sakit malaria tropika, sehingga memutuskan kembali ke Jakarta dan tidak menyelesaikannya di UNCEN, cukup hingga Sarjana Muda Hukum.
Oleh karena itu, ketika saya melihat foto di atas, kenangan yang saya alami di Baghdad, Irak dan Jayapura, Abepura kembali tergambar di hadapan saya.
Tentang suku Asmat di Papua, saya agak terkejut membaca BBC Indonesia bahwa setelah status kejadian luar biasa (KLB) di Kabupaten Asmat, Papua dicabut, kematian anak akibat gizi buruk masih terjadi.
Berbagai kondisi, termasuk pemahaman orang tua, menjadi kendala kesehatan di lapangan.
Memang benar, KLB akibat gizi buruk dan campak di Asmat dicabut sejak 5 Februari 2018. Tercatat korban meninggal mencapai 72 anak-anak, yakni 66 karena campak, dan enam karena gizi buruk.
Dari jumlah itu, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sebanyak delapan anak meninggal di rumah sakit, sementara sisanya meninggal di kampung.
Namun pasca-KLB dicabut, masih ada anak-anak yang meninggal dunia akibat gizi buruk. Salah satunya adalah Priskila (5 tahun) yang meninggal.
Priskila sebenarnya sudah pulang dan dikembalikan ke keluarga namun kembali kambuh dan sempat dibawa orang tuanya ke RSUD Agats. Oleh dokter dan perawat, Priskila kemudian dirujuk ke RS di Timika.
Namun orang tua korban menolak anaknya dibawa ke Timika. "Hinga akhirnya meninggal keesokan harinya," kata M. Nokir Sandadua, Plt Direktur RSUD Asmat di Agats, Minggu, 11 Maret 2018.
Selain Priskila ada satu lagi korban meninggal dunia pasca-KLB dicabut. "Benar ada juga, tepatnya bulan lalu," kata Kepala Penerangan Kodam Cendrawasih, Kolonel Muhammad Aidi, kepada BBC Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, selama KLB, berbagai penanganan kesehatan dilakukan pemerintah Indonesia. Antara lain memberikan vaksinasi terhadap lebih dari 10.000 anak Asmat yang ada di 224 kampung di 23 distrik, dan perawatan para korban di RSUD Agats.
Pasca-KLB, pemerintah juga masih melanjutkan program pemenuhan gizi dan pendampingan bagi keluarga yang anak-anaknya mengalami gizi buruk.
Ketika KLB dihentikan, di RSUD Agats ada 12 pasien yang masih dirawat inap, terdiri dari sembilan anak gizi buruk, dan tiga anak karena campak. "Sekarang juga masih ada beberapa anak," kata Nokir.
Menurut Nokir, para orang tua di Asmat sudah punya sedikit pemahaman soal manfaat pelayanan kesehatan. "Misalnya kalau anaknya sakit sudah langsung dibawa ke puskesmas atau rumah sakit," kata dia.
Kemajuan yang terjadi di Asmat adalah kesadaran orang tua untuk membawa anak ke fasilitas kesehatan.
Senada dengan Nokir, Kolonel Muhammad Aidi mengatakan secara umum, kondisi di Asmat sudah membaik dan jumlah pasien menurun. "Tinggal pendampingan saja," kata Aidi kepada BBC Indonesia.
[irp posts="10615" name="Inilah Penampakan Kantor Kepresidenan untuk Jokowi Kerja di Papua"]Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, menyebut campak dan gizi buruk ini disebabkan karena berbagai faktor, 40% disebabkan oleh lingkungan dan perilaku sosial yang berpengaruh pada kesehatan.
"Sosio budaya di sana, kebersihan dan kesehatannya masih rendah. IPM (Indeks Pembangunan Manusia) masih jauh di bawah rata-rata nasional," kata Nila, dalam rapat konsultasi dengan DPR, bulan lalu.
Salah satu kendala yang dihadapi Asmat pasca dicabutnya status KLB adalah ketersediaan tenaga medis, terutama kedokteran. Dari total 16 puskesmas yang ada, sebagian besar tidak ada dokter.
"Sebagian besar puskesmas tidak ada dokter, cuma mantri dan suster saja," kata Kolonel Aidi.
Alasannya, "Rata-rata dokter tidak mau ditempatkan di pedalaman yang tidak ada infrastrukturnya," kata Aidi. Untuk itu, sementara dikirim tim kesehatan dari TNI dan Kementerian Kesehatan yang berdasarkan penugasan.
Infrastruktur transportasi juga menjadi kendala yang signifikan. Menurut Aidi, meski warga sudah punya kesadaran untuk membawa anaknya ke fasilitas kesehatan, namun mereka terhambat tranportasi.
"Jaraknya terlalu jauh. Butuh perjalanan lebih dari lima jam dengan menggunakan kapal untuk menjangkau mereka," kata Aidi.
Infrastruktur, terutama transportasi, masih menjadi kendala pelayanan kesehatan di Asmat.
Selain dari faktor-faktor eksternal itu, ada juga kendala dari internal warga Asmat sendiri. Kematian Priskila adalah salah satu contoh minimnya pemahaman soal pentingnya tindakan medis.
Kolonel Aidi menyebutkan banyak menemukan kondisi di mana bekal tambahan gizi berupa makanan dan susu buat anak-anak yang dibawa pulang, dihabiskan oleh orang tua atau orang dewasa.
"Kami menemukan beberapa anak yang berat badannya turun secara signifikan. Ternyata bekal yang diberikan dihabiskan bapak dan ibunya," kata Aidi.
"Oleh karena itu, lanjut Aidi, program pendampingan dan edukasi kepada keluarga di Asmat masih perlu terus dilakukan. Harus dilakukan secara manual, setiap hari datangi rumah mereka," ujar Aidi.
Saya bangga dengan TNI. Tentara kita ini yang terdiri dari para dokter, bidan dan perawat selalu menjadi garda terdepan terjun ke wilayah-wilayah terpencil di Indonesia. Pertanyaannya sekarang apakah dengan masih banyaknya penduduk Asmat terserang penyakit, KLB di Kabupatan Asmat diberkakukan lagi.
Saya tidak membaca di berita ini tentang penyakit malaria. Ketika saya di Papua, penyakit ini juga mewabah, sehingga perlu juga menjadi perhatian pemerintah. Disebabkan penyakit malaria, banyak juga penderita meninggal dunia.
Tulisan pernah dimuat di wartamerdeka.net
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews