Di dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences, Howard Gardner mengubah semua pemahaman kita tentang kecerdasan manusia. Baginya, kecerdasan itu memiliki banyak bentuk, mulai dari kecerdasan musikal, logis-matematis, gerak tubuh sampai dengan kecerdasan empatis dalam hubungan antar manusia.
Sebelumnya, kita cenderung melihat kecerdasan melulu sebagai kecerdasan logis-matematis. Pandangan ini mulai terpatahkan sekarang, walaupun masih dianut sebagian besar orang di Indonesia.
Di tahun 2018 dan 2019 ini, Indonesia memasuki tahun-tahun penting yang menentukan masa depan bangsa. Kita menyebutnya sebagai tahun politik.
Di luar berbagai bentuk kecerdasan yang telah dikenali, ada baiknya kita merumuskan bentuk kecerdasan baru yang merupakan gabungan dari beragam kecerdasan lainnya, yakni kecerdasan politik (political intelligence). Jenis kecerdasan ini penting untuk para politisi, supaya mereka bisa menjadi politisi yang baik, sekaligus untuk rakyat pada umumnya, supaya mereka bisa mengenali politisi busuk, dan tidak memilihnya.
Ellen Vrana, salah satu penulis politik asal AS, merumuskan lima ciri dari kecerdasan politik, yakni integritas, kesadaran diri, empati, strategi dan eksekusi. Ia memahami kecerdasan politik sebagai kemampuan untuk mempengaruhi orang, guna mewujudkan tujuan-tujuan tertentu.
Integritas
Sekilas, ada kesan buruk dari kata kecerdasan politik. “Mempengaruhi orang” memang bisa digunakan untuk tujuan-tujuan buruk, tetapi juga untuk tujuan-tujuan baik.
Ciri pertama kecerdasan politik, menurut Vrana, adalah integritas, yakni kemampuan orang untuk berteguh pada prinsip, walaupun keadaan menekannya untuk bertindak melawan prinsipnya sendiri. Politik haruslah diisi dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, seperti jangan mencuri, jangan membunuh, berbohong dan memfitnah sembarangan.
Sikap saling menghormati, jujur, kerja efisien, efektif dan berpihak pada kepentingan masyarakat secara luas adalah bentuk nyata dari integritas. Orang yang tak punya integritas tidak akan bisa berpolitik dengan baik.
Mungkin, ia bisa memperoleh kekuasaan sementara waktu. Namun, ia akan jatuh dan dipermalukan, karena tak mempunyai integritas. Sejarah Indonesia sudah penuh dengan sepak terjang para politisi tanpa integritas ini.
Kesadaran Diri
Ciri kedua dari kecerdasan politik, menurut Vrana, adalah kesadaran diri. Orang harus paham kelebihan dan kekurangan dirinya sendiri.
Orang juga harus paham, kapan ia perlu berbicara, dan kapan ia perlu diam, serta mengamati keadaan yang ada. Ia tidak perlu terus berkomentar tentang beragam hal yang justru semakin menunjukkan kedangkalan, kebodohan serta kesombongannya.
Di Indonesia, banyak politisi suka berkomentar tentang berbagai hal, tanpa terlebih dahulu melakukan penelitian yang diperlukan. Akibatnya, komentar mereka justru memperkeruh keadaan, dan merendahkan martabat mereka sendiri sebagai teladan rakyat.
Ini jelas merupakan pelajaran politik yang jelek untuk rakyat. Banyak orang lalu mengira, politisi itu pekerjaan omong kosong yang diisi dengan banyak rapat dan korupsi bersama-sama.
Kesadaran diri akan melahirkan sikap tahu diri. Jika sudah terbukti korupsi atau tak lagi dipilih oleh rakyat, dengan kesadaran diri, orang lalu bisa mundur dari panggung politik dengan terhormat.
Empati
Ciri ketiga kecerdasan politik adalah empati, yakni kemampuan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Empati adalah dasar dari sikap saling menghormati.
Orang boleh berbeda pendapat. Namun, mereka harus tetap saling menghormati satu sama lain.
Ini bukan berarti, bahwa kita harus menjadi penjilat. Di dalam politik, perbedaan pendapat itu bagian dari keseharian. Itu semua diselesaikan dengan dialog yang berpijak pada empati dan akal sehat, tanpa harus kehilangan integritas, dan menjadi penjilat.
Di Indonesia, apalagi menjelang tahun politik ini, perdebatan politik seringkali menjadi tak beradab. Fitnah, kebohongan serta kata-kata kasar dilontarkan, tanpa ada empati sama sekali.
Banyak juga tokoh yang berubah menjadi penjilat. Mereka berganti-ganti partai dan ideologi layaknya berganti celana dalam. Ini jelas merupakan perilaku-perilaku yang sama sekali tak mencerminkan kecerdasan politik.
Strategi-Eksekusi
Ciri keempat dari kecerdasan politik adalah ketrampilan membangun strategi. Strategi adalah perencanaan di dalam melakukan tindakan, dan pemahaman akan dampak-dampak yang muncul dari tindakan tersebut.
Strategi dimulai dengan merumuskan tujuan, tindakan, evaluasi dan perbaikan. Ini diterapkan mulai dari perumusan kebijakan, pengambilan keputusan sampai dengan penentuan strategi jangka panjang.
Untuk membuat strategi yang bermutu, penelitian yang mendalam dan luas amatlah diperlukan. Disini diperlukan kajian ilmiah yang berpijak pada budaya berpikir terbuka, bebas, rasional dan kritis.
Di Indonesia, strategi seringkali hanya menjadi alat untuk mengundang dukungan politik. Perumusan maupun penerapannya masih sangat berantakan, terutama karenanya budaya berpikir ilmiah, berpijak pada data, rasional, kritis, bebas, terbuka dan memantau perkembangan kebijakan ataupun program masih amat lemah.
Indonesia memang mempunya segudang kebijakan. Aturan dan hukum pun sudah bertebaran. Namun, pemantauannya yang masih amat lemah. Walaupun sudah ada kebijakan dan aturan yang mengatur, banyak hal masih salah urus.
Kelima ciri kecerdasan politik ini akan melahirnya citra politis yang berpijak pada kenyataan, dan bukan pada tipuan, seperti banyak sekali terjadi. Para politisi lalu bisa mempengaruhi orang demi tercapainya kebaikan bersama, dan bukan kebaikan segelintir orang yang korup dan munafik.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews