Cara Wiebe Wakker Belajar EO (1): Pengalaman Diperenguti Satpam

Selasa, 13 Maret 2018 | 07:20 WIB
0
747
Cara Wiebe Wakker Belajar EO (1): Pengalaman Diperenguti Satpam

Dia ambil mata kuliah event organizer. Di jurusan manajemen. Dia berjanji pada dosen yang meluluskannya: ilmunya itu akan langsung dia praktekkan. Sebagai bukti bahwa dia lulus sarjana bukan asal lulus.

Dia akan mengorganisir sebuah event unik. Dan harus sukses: mengorganisasi perjalanan dari Belanda ke Australia. Mulai cari pelaku, sponsor, dan merumuskan anggaran.

Event yang dia rancang itu dibilang unik karena perjalanan itu harus perjalanan darat. Harus setir mobil. Harus sendirian. Mobilnya harus mobil listrik.

Harus tidak boleh bawa uang lebih. Uang di saku harus hanya cukup untuk makan satu hari. Tidak boleh ada uang untuk menginap di hotel. Harus bisa cari makan sendiri. Cari penginapan sendiri. Dan cari jalan keluar sendiri.

Kalau semua itu sukses barulah dia merasa menjadi sarjana ilmu event organizer yang sebenarnya.

Untuk mencari pelakunya dia tidak mengalami kesulitan sedikit pun: dia pilih dirinya sendiri.

Nama dirinya: Wiebe Wakker. Wiebe masih bujang. Tentu. Tidak ada beban. Bahwa ada syarat lain dia tidak boleh bawa uang Wiebe juga tidak sulit. “Saya dari keluarga miskin,” katanya saat ngobrol di rumah saya di Surabaya.

Bapaknya pegawai biasa di sebuah instansi di Belanda. Rumahnya sekitar 30 km arah barat Amsterdam.

Hari itu Wiebe datang ke rumah saya karena ingin melihat Tesla. Mobil listrik yang saya beli dari Amerika.

Sejak dia masih di luar negeri sudah tahu saya memiliki Tesla. Dan, kalau boleh, ingin merasakan mengemudikannya.

Tentu saja boleh. Hanya saja harus menunggu dua jam kemudian. Hujan lagi deras sekali. Tidak ada tanda-tanda segera reda. Kami ngobrol di teras sambil makan sanggar yang masih panas. Yakni pisang goreng ala Kalimantan. Salah satu keistimewaan masakan istri saya.

[irp posts="12115" name="Sejarah Baru Tiongkok (1): Xi Jinping yang Tiada Tanding"]

Saya tidak takut Teslanya kehujanan. Tapi saya sendiri yang takut kehujanan. Dalam kondisi badan yang baru sakit keras saya harus jaga diri.

Setelah dua jam menghabiskan satu piring sanggar hujan berhenti. Kami pun siap-siap naik Tesla.

Dia yang mengemudikan. Saya di sebelahnya. Akan saya ajak dia ke bengkelnya Jonathan. Di Jalan Kendangsari Surabaya. Di situlah mobil Jaguar saya dibongkar. Untuk diubah menjadi mobil listrik.

Saya ingin memperlihatkan pada Wiebe: mobil biasa juga bisa jadi mobil listrik.

Kami pun segera masuk Tesla. Sebagai pemuda Belanda yang badannya tinggi Wiebe harus banyak mengorganisir tempat duduk di belakang kemudi. Lalu mengambil barang di tasnya.

Ternyata kamera kecil. Dia tempelkan kamera itu di kaca depan. Menghadap ke dirinya. Wiebe begitu siap ingin mengabadikan peristiwa mengemudikan Tesla justru di Indonesia.

Begitu keluar rumah, Wiebe tertegun. Banjir. Jalan di dekat rumah saya memang selalu tergenang. Tinggi. Apalagi habis hujan deras dua jam.

Beberapa sepeda motor tidak berani lewat. Dia ragu apakah berani memasukkan Tesla melewati genangan panjang itu. “Go!” kata saya.

Dia pun mengajukan beberapa pertanyaan. Intinya: amankah baterainya? Tidak konsletkah?

Ternyata Wiebe trauma. Dia mengalami nasib buruk saat melewati India. Mobil listriknya bermasalah saat merenangi genangan di India.

Saya pun menceritakan pengalaman saya dua bulan sebelumnya. Saat mengemudikan Tesla di genangan yang sama.

Saat itulah saya kaget. Begitu memasuki genangan suspensinya naik sendiri. Otomatis. Saat genangannya lebih dalam suspensinya naik sekali lagi.

[irp posts="11739" name="Penari Langit Bule di Bukit Pabbaresseng (5): Tak Cukup Hanya Terpesona"]

Saya pun melihat layar lebar di Tesla itu. Ternyata ada empat tingkatan suspensi: low, standard, high dan very high.

Wiebe pun tidak lagi ragu-ragu. Dia masukkan Tesla ke genangan. Dengan kecepatan relatif tinggi. Lalu berhenti di dekat portal. Portalnya tutup.

Satpam di kampung saya itu mendekat. Dengan wajah merengut. Saya bukan kaca: kenapa portal ditutup?

“Maaf pak, agar tidak ada mobil berjalan cepat. Gelombang airnya masuk rumah,” karanya sambil membuka portal.

Ganti saya yang minta maaf pada pak satpam. “Ini teman saya Belanda. Dia tidak paham soal dampak gelombang air di jalan raya,” kata saya. Lalu menterjemahkan permintaan maaf saya itu ke Wiebe.

Tentu Wiebe juga tidak pernah mendapat ilmu tentang dampak gelombang air di jalan raya saat dia kuliah ilmu event organizer di Belanda.

***

Catatan:

Tulisan Dahlan Iskan ini dibuat di mobil dalam perjalanan sepanjang 200 km dari kota Weifang ke kota Qingdao di Provinsi Shandong, China.