Uang dan Utang (4): Cerita Positif PLTB yang Terlalu Indah

Minggu, 11 Maret 2018 | 13:41 WIB
0
888
Uang dan Utang (4): Cerita Positif PLTB yang Terlalu Indah

Dalam konteks PLTB Sidrap, pelanggan-pelanggan PLN di Sulawesi Selatan pada khususnya dan di wilayah layanan yang terinterkoneksi di dalamnya secara umum akan BEKERJA, KERJA dan KERJA untuk Asing setidaknya senilai 240 juta Dollar plus bunga.

Sebagai informasi, PLTA Bakarru yang pernah menjadi pembangkit utama sistem kelistrikan Sulawesi Selatan dibangun dengan utang Asing, mulai beroperasi tahun 80-an dan sampai sekarang perawatannya masih mendapat "utang" Asing.

Dalam perspektif Nasional, "utang" yang diambil untuk membangun PLTB tersebut masuk ke dalam Neraca PLN secara Nasional, dan sudah pasti akan menjadi faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan penentuan Tarif Dasar Listrik.

Selebihnya, sebagaimana di awal tulisan pada bagian pertama, tentang persoalan teknikal.

PLTB di Sulawesi Selatan (setelah Sidrap ada lagi yang sedang dalam tahap konstruksi, yaitu PLTB Jeneponto) masuk pada saat yang ketepatannya menimbulkan pertanyaan besar: benar-benar TEPAT atau benar-benar SALAH (?).

Per akhir 2017 lalu sistem kelistrikan Sulawesi Selatan dan Barat sedang surplus sebesar 200 MW. Dalam arti, semaksimal-maksimalnya serapan pelanggan atas tenaga listrik yang dibangkitkan, kemampuan PLN terhitung masih sangat berlebihan.

Masuknya pasokan listrik dari PLTB nanti akan membuat PLN sampai pada pilihan pahit: meminta operator pembangkit eksisting untuk mengurangi pasokan daya. Kasusnya mungkin akan sama dengan Bekasi Power, yang punya perjanjian pembangkitan energi listrik selama 20 tahun sejak 2013, memenuhi kewajiban nyaris tanpa cacat, tetapi baru-baru ini mendapat surat "cinta" dari PLN agar mengirim "zero KWH" saja. Maksudnya: BERHENTI produksi dan diam dalam status CADANGAN. Mengapa? PLN di sana kelebihan pasokan daya. Investor Bekasi Power mungkin sedang memandang jari mereka saat ini.... untuk digigit.

Selanjutnya, karakteristik pembangkitan PLTB itu 50% mengandalkan faktor "luck". Mengandalkan tiupan angin. Sangat rentan saat ia beroperasi dalam sebuah sistem interkoneksi.

Pembangkit-pembangkit jenis lain bersifat "dalam jangkauan pengaturan manusia". Contoh: PLTA. Aliran air yang menggerakkan turbin sangat bisa "diatur". Pasokan air ke dam penampung sangat bisa diprediksi dengan toleransi hingga hitungan bulan. Kalau sungai sumber airnya mulai masuk fase mengering sekali pun, ada rentang waktu yang relatif panjang untuk mengetahui dan mengambil tindakan kompensasi atas berkurangnya pasokan air.

Berikutnya: PLTU. Ini lebih bisa lagi "diatur". Pasokan batubara sepenuhnya ada dalam kendali manusia. Mau dibakarnya 1 ton jam 7 pagi lalu 2 ton pada jam 7 malamnya, itu sangat bisa "diatur". PLTG juga begitu. Pasokan gas mudah "diatur". Tetapi tidak untuk PLTB. Manusia belum bisa "mengatur" pasokan angin. Dia bisa datang dalam bentuk sangat sepoi (yang tak cukup kuat untuk menggerakkan bilah pemutar turbin), lain waktu dia bisa hadir dalam bentuk badai (yang membuat terlalu berbahaya untuk dioperasikannya pembangkit).

Saya membayangkan, fluktuasi pasokan energi listrik dari PLTB Sidrap yang berada pada skala cukup besar (75 MW untuk fase pertamanya saja) akan merepotkan sistem pengatur beban PLN Sulawesi Selatan. Syukur-syukur kalau tidak byar-pet.

Jadi, cerita "positif" tentang PLTB ini terlalu "indah" di atas kertas. Kemampuannya menerangi hingga ratusan ribu rumah tak lebih sebagai bahasa "PR" belaka. Lha, wong ratusan ribu rumah mana lagi di Sulawesi Selatan yang berada dalam jangkauan jaringan PLN yang BELUM tersambung listrik? Kecuali yang memang belum terjangkau jaringan, ya semua yang ada sudah tersambung. Kalau ada yang masih belum tersambung, itu bukan karena PLN kekurangan daya, itu kembali kepada yang punya rumah.

Cerita PLTB berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca, itu juga "indah" dan "benar". PLTB nyaris zero emission. Tidak mengeluarkan gas rumah kaca yang adalah tersangka utama gejala pemanasan global saat ini. Namun, menjadi aneh dan lucu ketika anda mengetahui Amerika sebagai pemberi utang untuk PLTB Sidrap yang zero emission itu adalah Negara Industri Maju yang tidak mau mengikuti Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto diratifikasi oleh 191 Negara di dunia pada tahun 1997 lalu, di mana Amerika tidak mau ikut serta. Protokol itu mewajibkan semua Negara mengurangi emisi gas rumah kaca hingga level yang disepakati bersama. Saat ini, Amerika adalah peringkat kedua Negara pengemisi gas rumah kaca di dunia, satu tingkat di bawah China.

Di Indonesia (Sidrap), Amerika bercerita bahwa mereka berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca (super secuil emisi), sementara di tanah airnya sana, Amerika tancap gas memancarkan gas itu ke angkasa, untuk menopang produksi industri dan untuk kemakmuran rakyatnya.

Sementara kita? Nyicil utang ke sana. He he he...

(Selesai)

 

***

Tulisan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/03/10/uang-dan-utang-3-ke-mana-larinya-keuntungan-dari-pltb-sidrap-itu/