Pasca pilkada DKI Jakarta yang mengharu-biru itu kita istirahat sejenak untuk beberapa bulan saja dengan istilah hoax. Namun seiring datangnya musim penghujan tiba, hoax bersemi kembali menjadi bahan perbincangan baik di medsos maupun warung kopi. Hal Ini dipicu oleh tertangkapnya The Family MCA oleh kepolisian Republik Indonesia akhir-akhir ini.
Sebuah televisi nasional TVOne pada acara diskusi ILC dengan "presiden"-nya Bang Karni Ilyas kembali membahas tentang hoax hingga menambah hangat suasana negeri ini dengan istilah hoax, walaupun siapa aktor sesungguhnya di balik The Family MCA tak bisa terungkap bahkan bisa jadi tak akan terungkap tuntas selamanya.
Ini kan sudah jadi kebiasaan di negeri ini menghilangnya berbagai kasus bersama embusan angin yang bertiup kencang dengan kasus baru yang selalu muncul entah diciptakan atau tidak di permukaan Bumi Pertiwi ini. Ia hilang bersama ingatan publik Indonesia yang relatif pendek.
Mengamati berbagai kasus yang terjadi di negeri ini seyogyanya janganlah mengkait-kaitkan dengan Islam atau Muslim meski nama MCA mengambil kata "Muslim". Pihak kepolisian juga tidak perlu menyebut kata-kata Islam atau Muslim kepada pelakunya dalam setiap penangkapan, apalagi penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 seringkali berujung dengan kalimat yang mengandung kata Islam.
Ini mengindikasikan seakan-akan kita sudah terkontaminasi pemikiran Amerika beserta konco-konconya yang selalu mendiskreditkan bahwa Islam selalu salah atau dengan selalu mengkaitkan ketidakharmonisan sebuah tatanan kehidupan dunia disebabkan oleh Islam. Padahal, itu hanya oknum yang kebetulan beragama islam.
Hoax sendiri adalah suatu kata, kalimat dan gambar yang umumnya digunakan untuk menunjukan sesuatu yang tidak benar atau palsu untuk suatu usaha menipu atau membuat orang lain mempercayai suatu berita, padahal berita tersebut adalah bohong. Jaman dulu, hoax sangat erat kaitannya dengan "April Mop".
[irp posts="12287" name="Nabi Muhammad Pun Pernah Jadi “Korban” Hoax"]
Di Indonesia berita hoax sebenarnya sering dilakukakan setiap menjelang pesta demokrasi yang bertujuan menyerang dan menjatuhkan lawan politik dan hoax mencapai puncaknya pada pilkada DKI Jakarta tahun kemarin, terutama pada saat menjelang dan pasca di aksi 414 ataupun puncak di aksi 212 yang bertujuan supaya Ahok dipenjarakan atas penistaan agama. Ini terlepas dari masalah politik menjelang pilkada saat itu meski akhirnya rusaklah hasil survei yang selalu mengunggulkan Ahok dengan tingkat popularitas tertinggi dibanding calon lainnya.
Hoax melalui media sosial mengkritik pemerintah dengan berita yang isinya berupa ujaran kebencian terhadap Ahok dan pemerintah. Begitupun untuk menandinginya pihak pendukung Ahok pun ikut memberitakan berita hoax dengan mendiskreditkan para ulama pendukung aksi 212, bahkan sampai masalah sampah pada acara aksi 414 dan 212 diberitakan bohong dan aksi tidak tertib oleh pendukung Ahok.
Saling serang berita hoax pun menjadi dianggap lumrah pada waktu itu. Jadi, hoax itu bukan saja menjadi milik yang mengkritik pemerintah namun juga milik pendukung pemerintah, semua pernah menyebarkannya.
Dengan tertangkapnya the Family MCA bukan berarti hoax akan surut terutama di medsos apalagi menjelang pilkada kemudian tahun depan pilpres, berita hoax bagi pemerintah yang berkuasa saat ini sudah menjebak ke dalam sebuah persaingan politik menuju Pilpres 2019 yang secara tersirat ingin melanggengkan kekuasan, sementara tujuan utama politik adalah membangun peradaban agar negara lebih maju sering terlupakan.
Pemerintah yang berkuasa harus siap menerima kritikan bahkan hujatan sekalipun karena kita menganut paham demokrasi. Jangan sampai UU no. 11 tahun 2008 tentang ITE Pada pasal 28 ayat 1 hanya dijadikan sebagai alat oleh pemerintah untuk menjatuhkan lawan politiknya ataupun menaikkan rating popularitas calon presiden 2019 yang secara resmi telah didukung oleh partai pemenang pemilu 2014 dan didukung lebih dari separuh partai peserta pemilu dengan tingkat populatitas stagnan masih di bawah angka 50% itu.
[irp posts="12030" name="Gara-gara Hoax Pil Mandul" di Facebook, Srilanka Pun Membara"]
Dengan menangkap pembuat berita hoax dengan cara mengkorbankan salah satunya sementara hoax pendukung pemerintah tak tersentuh hukum, ini sungguh naif seolah-olah pemerintah berusaha menerapkan standar ganda terhadap suatu masalah negeri. Rakyat lelah mendengar tentang perebutan kekuasaan yang tak habis-habisnya.
Katakan yang benar adalah benar, sebab kebenaran saat ini sangat dipengaruhi oleh antara suka dan tidak suka. Jika si A mendukung Jokowi apapun segala tindak tanduk dan perkataannya selalu menjadi benar. Begitu sebaliknya, jika si B mendukung Prabowo pun demikian.
Sesungguhnya kebenaran sejati hanya milik Allah Tuhan Yang Maha Esa semata, manusia tempatnya salah dan dosa. Maka tetap berusaha menjadi pribadi yang jernih dalam berpikir dan berindak adalah suatu keharusan untuk bisa menangkal segala macam hoax.
Jangan ada anak... eh, jangan ada hoax di antara kita ya, Lur... heehe.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews