Uang dan Utang (2): Dollar sebagai Jangkar Sistem Perdagangan Dunia

Jumat, 9 Maret 2018 | 20:04 WIB
0
1330
Uang dan Utang (2): Dollar sebagai Jangkar Sistem Perdagangan Dunia

Bola bumi pasca-perang dunia berada dalam kontrol negara-negara pemenang perang (Sekutu) yang dipimpin Amerika Serikat. Benefit sebagai "pemimpin" membuat mata uang Amerika "laku" di mana-mana. Puncak-puncaknya ketika Amerika berhasil menanamkan pengaruh transaksi jual-beli MINYAK (petroleum) antar-negara di dunia menggunakan DOLLAR pada dekade 70-an lalu. Muncullah istilah baru: PETRODOLLAR.

Kondisi ini memungkinkan kuatnya kepercayaan terhadap mata uang dollar tanpa mengaitkannya dengan jumlah emas yang dicadangkan di gudang-gudang penyimpanan milik Bank Sentral Amerika (Federal Reserved, "the Fed").

Untuk lebih "hancurnya" lagi, pada awal dekade 70-an itu, pada era kepresidenan Richard Nixon, Amerika Serikat menyatakan tidak terikat pada sistem pencadangan emas (Sistem Bretton Woods). Bretton Woods adalah nama sebuah kampung di Amerika tempat Amerika menyelenggarakan sebuah konferensi tahun 1944 untuk membuat para pesertanya menyepakati sistem moneter dunia, yang di dalamnya meneguhkan sistem pencadangan emas, beberapa bulan sebelum Perang Dunia berakhir.

Itu berarti, walau tanpa pencadangan emas sekalipun, Amerika bisa sesuka hati mencetak UANG (Dollar). "Gilanya" di sini adalah: keseluruhan bola bumi mau tidak mau hanya bisa menurut, karena sistem perdagangan dunia kepalang mengikatkan diri pada mata uang Dollar. Pula, banyak Negara di dunia menjangkarkan mata uangnya pada mata uang dollar.

Kalau jangkar-nya terseret arus di bawah permukaan laut sana, segala yang terikat pada jangkar itu ikut "bergerak". Sering, 'kan, anda mendengar ungkapan "Cadangan devisa Indonesia saat ini berjumlah (sekian) Milyar Dollar?" Ya, itu berarti UANG RUPIAH yang anda pegang saat ini nilainya dijangkarkan ke UANG DOLLAR. Dalam hal ini, DOLLAR telah sama dengan EMAS, sama-sama diperlakukan sebagai DEVISA.

Sampai di sini jelas: Emas memiliki NILAI karena dia EMAS, logam mulia dengan berbagai kegunaan dan manfaat secara LANGSUNG. Sedangkan UANG memiliki NILAI karena dia "dijamin" dengan emas yang dicadangkan di Bank Sentral penerbit uang tersebut.

Ada sebuah MATA UANG di dunia yang keberadaannya saat ini dinyatakan TIDAK ada kaitannya dengan pencadangan emas oleh Bank Sentral penerbitnya, tetapi MATA UANG tersebut mengandalkan KEPERCAYAAN belaka yang dibentuk dan dipertahankan karena Negara tempat Bank Sentral itu berada/berlindung. MATA UANG itu adalah DOLLAR AMERIKA.

Ada pun DOLLAR AMERIKA itu oleh berbagai negara di dunia sudah kadung diperlakukan sebagai SETARA EMAS dengan menjadikannya sebagai DEVISA (alat) untuk menjamin NILAI mata uang masing-masing.

Apakah KEPERCAYAAN pada DOLLAR dapat selamanya terpelihara? Ternyata jawabannya adalah: TIDAK.

Pada tahun 2008 Amerika mengalami Krisis Ekonomi (lebih di atas lagi derajatnya dari Krisis Moneter). Krisis itu diawali dari macetnya kredit rumah kategori "subprime" (kategori "dhuafa" kalau menggunakan istilah kita di sini). Sederhananya begini. Pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah rezim George Bush junior membuat kebijakan populis berupa kemudahan memperoleh kredit untuk pembelian rumah bagi warganya.

Kemampuan mencicil-balik kredit tersebut dibijaki untuk tidak menjadi faktor signifikan layak-tidaknya seseorang memperoleh kredit. Sektor properti Amerika langsung "booming". Saham-saham perusahaan properti melonjak. Mengapa Pemerintah AS bisa percaya diri begitu? Karena MATA UANG-nya KUAT. Ibarat tidak melakukan "apa apa" sekali pun, perputaran UANG DOLLAR itu sendiri di luar negeri telah cukup membawa keuntungan bagi Amerika sebagai sang empunya MATA UANG.

Lalu datanglah masa di mana kredit-kredit macet melebihi tumpukan yang tak lagi dapat menopang operasi normal perbankan Amerika. Tak butuh berapa lama sahaja, problem kredit macet subprime itu mendapat "teman baru" berupa macetnya kredit barang-barang consumer pada perusahaan-perusahaan pembiayaan besar.

"Adira"nya Amerika, yaitu "Freddie Mac" dan "Fanny Mae" kolaps. Seketika, kelemahan terbesar sistem perekonomian Amerika yang mengandalkan KEPERCAYAAN terhadap DOLLAR terbuka lebar. Bahkan perusahaan otomotif legendaris kelas General Motors ikut kolaps. Industri otomotif Detroit ambruk. Tak berapa lama, bank-bank besar juga ambruk. JP Morgan ambruk, Lehman Brothers ambruk.

Akhirnya, Amerika Serikat yang selama ratusan tahun mengusung Kapitalisme dalam semalam berubah menjadi negara Sosialis (!) Mengapa? Pemerintah AS terpaksa harus menalangi (bailout) semua kerugian yang terjadi. Dalam arti kata, semua perusahaan swasta yang bangkrut (yang rata-rata adalah swasta kelas kakap) diambil-alih oleh Pemerintah.

Pemerintah menguasai cabang-cabang usaha, persis sama dengan (almarhum) Uni Soviet dahulu menguasai semua cabang usaha. Amerika mengalami Krisis Ekonomi. Tetapi, karena perekonomian Amerika paling banyak kaitannya dengan perekonomian negara-negara lain di muka bumi ini, maka Krisis Ekonomi Amerika ini dengan segera menjelma menjadi Krisis Ekonomi Dunia. Global Economic Crisis, GEC 2008.

Pemerintah AS harus mengeluarkan dana 700 Milyar Dollar untuk aksi bailout itu. Dari mana uang segede itu? Dari "sim sala bim". Uang fisiknya sebenarnya TIDAK ADA. Tetapi, bersama parlemennya, Pemerintah AS saling menyepakati bahwa NILAI 700 Milyar Dollar itu ADA. Tanpa emas yang dicadangkan, tanpa apa pun yang bisa menjamin KEHADIRAN NILAI 700 Milyar Dollar itu, pokoknya NILAI tersebut ADA.

Tetapi, bagaimana pun juga, harus ada ALASAN yang dihadirkan agar NILAI tersebut VALID dan dapat DIPERGUNAKAN. Caranya adalah: Amerika MENGAMBIL uang dari MASA DEPAN, alias: UTANG.

Siapa yang akan membayar UTANG tersebut? Rakyat Amerika sendiri (sebagian, melalui skema PAJAK dan penghapusan berbagai mata anggaran dalam APBN Amerika -yang berarti pengurangan layanan publik-). Sebagiannya lagi? Ditanggung oleh Rakyat negara lain di seantero bola bumi. Termasuk, disadari atau tidak, Rakyat Indonesia.

Sampai di sini sudah ada yang bisa "meraba" keterhubungannya dengan Energi Listrik di Indonesia? Syukur kalau sudah ada. Karena, penjelasannya nanti, pada edisi berikutnya tulisan ini. He he he...

(Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/03/08/uang-dan-utang-1-energi-tambang-dan-duit-yang-saling-berkait/