Demi Pemerataan, Saya Ingin Pemerintah Berani Hapus Kapitalisme Kroni

Jumat, 9 Maret 2018 | 08:40 WIB
0
855
Demi Pemerataan, Saya Ingin Pemerintah Berani Hapus Kapitalisme Kroni

Selamat pagi, Saudara-saudaraku sekalian...

Perkenankan dalam kesempatan ini saya menyoroti persoalan cukup krusial negeri ini, yaitu soal ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi nasional yang dalam pandangan saya sudah mencapai taraf mengkhawatirkan. Angkanya mencapai 49,3 persen. Angka ini ironis, di mana 1 persen orang kaya di negeri ini menguasai 49 persen total kekayaan negara.

Saya melihat, terciptanya segelintir orang kaya di Indonesia tak lepas dari lemahnya pemerintah dalam memberantas kapitalisme kroni atau apa yang dikenal dalam khasanah ilmu ekonomi pembangunan disebut “Crony Capitalism”.

Persoalan "Crony Capitalism" atau kapitalisme kroni itu tanggung jawab sekaligus beban pemerintah, siapapun yang menjadi presiden atau kepala negaranya. Mungkin ini semacam "beban warisan" dari rezim terdahulu, tetapi bukan berarti penguasa tinggal diam. Sudah saatnya Pak Jokowi, Presiden bangsa dan negara ini, menghapus ketimpangan dan kesenjangan ekonomi dengan tidak lagi menggelar karpet merah kepada segelintir konglomerat yang menguasai hampir setengah total kekayaan negara kita.

Izinkan saya mengutip angka yang pernah dikeluarkan World Bank di mana lembaga itu menempatkan Indonesia pada peringkat 7 “Crony Capitalism” paling tinggi di dunia. Artinya, Indonesia sudah sangat parah kalau melihat di seluruh dunia ini ada 196 negara. Angka Bank Dunia itu menunjukkan, hampir dua pertiga harta kekayaan konglomerat Indonesia didapat dari hasil bisnis yang terkolaborasi dengan penguasa.

Sekadar mengingatkan kembali, kapitalisme kroni atau “Crony Capitalism” itu merupakan istilah di dunia ekonomi untuk menyebut harta kekayaan konglomerat yang kesuksesan bisnisnya didapat dari kolaborasi atau hubungan dekat antara pengusaha dan penguasa.

Apa yang diklaim pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi itu patut dicermati kalau tidak mau dikatakan patut dikritik. Pasalnya, "keberhasilan" dari pertumbuhan ekonomi itu hanya dinikmati oleh 20 persen penduduk terkaya di Indonesia, sedangkan 20 persen penduduk Indonesia tidak mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ini.

Data lain yang juga saya dapatkan dari Bank Dunia itu, sebanyak 304 perusahaan besar di Indonesia menguasai 26 juta hektar konsesi hutan. Persoalan kesenjangan sangat kontras dengan 23,7 juta petani Indonesia yang memiliki luas tanah lebih kecil dibanding yang dimiliki para konglomerat, yakni 21,5 juta hektar lahan.

Bagi saya, fokus pemerintah haruslah ditujukan kepada lebih dari 13 juta petani yang tidak memiliki lahan pertanian atau perkebunan yang bisa mereka garap itu. Bagaimana mungkin dari 23 juta petani kita, 13 juta di antaranya tidak memiliki lahan. Ini bukan persoalan kecil.

Saya berkesimpulan, meski kesimpulan ini bisa saja salah, bahwa masih tumbuh suburnya kapitalisme kroni di Indonesia tidak lepas dari prilaku koruptif selain rendahnya integritas atau moralitas bangsa.

Tidak dapat dipungkiri, pemberian konsesi dan fasilitas luar biasa terhadap konglomerat itu tidak lepas dari faktor kesejarahan di mana pada masa lalu, pada rezim sebelumnya, konsesi lahan hanya diberikan kepada kroni-kroni penguasa. Demikian juga kesempatan dalam mengelola kekayaan alam selalu jatuh kepada orang dekat, keluarga, kerabat dan kroni penguasa.

Akibatnya ketika rezim berganti, konsesi lahan masih dimiliki konglomerat besar karena masa konsensinya belum habis. Di sisi lain, eksploitasi sumber daya alam yang terbatas mengakibatkan kerusakan lingkungan parah. Tetapi itu bukan harga mati. Tidak ada "sejarah" yang tidak bisa diubah kalau semua itu terkait nasib bangsa dan negara ini, soal keberlangsungan berbangsa dan bernegara.

Bagi saya, jika ada kemauan politik (political will) dari pemerintah, regulasi pemberian konsensi itu bisa saja ditinjau-ulang melalui regulasi baru. Apa susahnya pemerintah berembug dengan DPR untuk "mengoreksi" jalannya sejarah yang keliru, yang nyatanya telah menciptakan jurang kesenjangan yang menganga lebar; segelintir konglomerat kaya di satu sisi dan petani/pengusaha seadanya di sisi lain.

Selain wajib memproteksi para petani dan pengusaha gurem ini, pemerintah juga bisa menciptakan garapan baru bagi 13  juta petani yang belum memiliki lahan ini. Pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam hal ini kepala daerah yang seenaknya memberi konsesi lahan kepada pengusaha tertentu yang tidak sesuai aturan, juga jangan sampai kendor.

Jakarta, 9 Maret 2018

***

Editor: Pepih Nugraha