Secara factual ada delapan partai yang mengucapkan janjinya mendukung pencalonan Joko Widodo (Jokowi) untuk maju dalam Pemilihan Presiden 2019. Lima di antaranya adalah partai yang sudah lama eksis, yakni, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Tiga partai lainnya adalah partai yang “baru” seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). PKPI satu-satunya partai yang tidak diperkenankan mengikuti Pemilu karena tidak lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dengan dukungan lima partai tersebut, Jokowi dipastikan memiliki modal untuk maju sebagai calon presiden 2019. Undang-Undang Pemilu yang baru disahkan mengisyaratkan Presidential Threshold (PT) atau syarat parpol/gabungan parpol hanya bisa mengusung calon presiden jika memilki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya. Untuk Pemilu Presiden 2019, hasil Pemilu 2014 lah yang menjadi dasarnya.
[irp posts="11840" name="Pak Prabowo, Bisa Nyenyakkah Tidurmu Malam Ini?"]
Gerakan “beramai-ramai” partai politik pengusung Jokowi menjadi calon Presiden 2019, merupakan langkah politik yang sangat taktis dan strategis. Dalam catatan saya, gerakan ini sejatinya bukan hanya untuk memenangkan Jokowi semata, tapi untuk menaikan perolehan suara partai “pengusung” dengan menggunakan lebel atau nama Jokowi. Sejumlah baliho dipamerkan di sudut-sudut jalan dengan tagline “Jokowi Presidenku, (….) Partaiku” membuktikan bahwa nama Jokowi dijadikan “objek” untuk menaikkan simpati pemilih terhadap partai tersebut.
Jika meneliti profile sejumlah partai pengusung tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa partai-partai tersebut merupakan partai-partai nasionalis-religius. Simpati pemilih, terhadap partai-partai yang beraliran nasionalis religius ini cenderung stagnan dan bahkan menurun. Kalaupun satu atau dua dari partai pengusung itu memperoleh peningkatan suara, maka partai pengusung lainnya praktis akan menurun.
Dengan demikian, kelima partai pengusung ini, saling cakar untuk mendapatkan “kue” suara pemilih”. Belum lagi “kue” itu dicakar sedikit-sedikit oleh partai pendatang baru yang juga mengusung Jokowi sebagai calon presiden.
Pada Pemilu 2014, sejumlah argumentasi menyebutkan, simpati pemilih terhadap partai politik tidak berbanding lurus dengan simpati pemilih kepada calon presiden. Namun di tahun 2019 ini, diprediksi, simpati pemilih terhadap partai politik berbanding lurus dengan simpati pemilih terhadap calon presiden. “Jika perolehan suara partai pendukung stagnan, maka perolehan suara calon presiden Jokowi juga stagnan. Namun jika perolehan suara menurun, maka perolehan suara calon presiden yang didukungnya pun menurun”.
Sejumlah riset dan data yang dikumpulkan dari berbagai sumber --dan kemudian diolah menunjukkan adanya antipati dan penurunan simpati terhadap partai-partai yang beraliran nasionalis religius. Penurunan ini selain disebabkan, karena tingkah laku para kader dan politisinya (seperti terlibat dalam kasus korupsi), juga karena sikap dan kebijakan partai-partai ini berseberangan dengan isu-isu mendasar yang beredar di kalangan ummat muslim.
Ketidakmampuan menjelaskan secara jernih dan tuntas tentang “penggadaian aset-aset negara”, utang luar negeri, LGBT, Rohingya, Palestina, isu bangkitnya PKI, isu ketidakberpihakan kepada ummat Islam, penodaan agama, terorisme, kasus ujaran kebencian dan penganiayaan sejumlah ulama, serta lebel “pencitraan semata”, menjadikan akumulasi “kebencian” yang memungkinkan pemilih beralih ke lain hati.
[irp posts="12128" name="Jokowi Terjebak Politik Sendiri, Pamornya Makin Hari Makin Redup"]
Proses perubahan prilaku pemilih saat ini, sebagian besar disebabkan hadirnya informasi-informasi liar yang beredar di masyarakat. Infromasi-informasi liar ini merasuk ke dalam hati para pemillih. Perubahan sikap pemilih ini jumlahnya sangat signifikan, karena berbagai isu yang berkembang itu didekatkan dengan nilai-nilai agama yang dianut. Apakah ini sah? Jawabnya adalah sah.
Akhirnya, disadari atau tidak, bahwa tingkat religiuslitas masyarakat Indonesia kini sangat meningkat. Kedekatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa menjadi ukuran yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Ukuran itu pulalah yang kemudian dikaitkan dengan kehendak untuk memilih pemimpin yang agamis atau Islami.
Stigma yang berkembang saat ini adalah, partai-partai pendukung Jokowi tidak dalam posisi pilihan utama, sehingga kemudian munculah tagline “Selamat Datang Presiden Baru 2019”. Tagline ini sudah terpublikasi sejak tahun lalu.
Tapi waktu masih panjang. Masih ada waktu untuk menebar kebaikan dan kebajikan yang tulus. Karena hari-hari itu adalah Kerja… Kerja… Kerja.
***
Catatan sebelumnya:
http://pepnews.com/2018/02/16/catatan-serius-untuk-presiden-3-terjebak-dalam-isu-remeh-temeh/
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews