Uang dan Utang (1): Energi, Tambang dan Duit Yang Saling Berkait

Kamis, 8 Maret 2018 | 13:34 WIB
0
622

Dalam waktu yang tidak lama lagi, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu di Sulawesi Selatan akan diresmikan.

Bahwa PLTB itu "indah", menghasilkan listrik dari "hanya" dari angin sahaja, itu benar. Benar sekali. PLTB itu mengurangi emisi karbon, itu benar, walau tidak sepenuhnya benar.

Persoalannya adalah: uang yang timbul dari ditangkapnya angin menjadi energi itu terbang ke mana? Persoalan berikutnya bersifat teknikal. Membutuhkan pemahaman mendasar seputar kelistrikan.

Tulisan ini tidak saya tujukan pada orang-orang berpikiran pendek, tertutup, dan sedikit-sedikit melempar tuduhan nyinyir. Ada beberapa hal yang wajib dipahami dengan baik terlebih dahulu, hal mana, bukan tanggung jawab saya untuk mengajari, sehingga, jangan kalau gagal memahami hal tersebut, ujungnya di sini hanya bisa menuduh saya "nyinyir".

Apa itu energi, apa itu uang? Itu yang harus kita pahami secara mendasar terlebih dahulu. Lalu, di mana keterhubungan keduanya?

Jika selama ini anda menggunakan energi listrik dan paham bahwa anda harus membayar tagihan tiap bulan dengan sejumlah uang, itu baru pemahaman pada tingkat "primitif". Anda tidak memikirkan dari mana energi listrik itu ada dan ke mana uang pembayaran anda itu pergi. Anda juga tidak memikirkan apa yang membuat uang itu ada. Kalau anda (sekedar) memahami bahwa anda punya uang karena anda bekerja (menerima gaji) atau berdagang (mendapat untung), maka pemahaman tersebut masih dalam kategori "primitif".

Jikalah memang anda merasa yang penting listriknya ada, dan anda bisa bayar, maka sudahlah mempermasalahkannya, ya sudah. Anda tidak perlu buang-buang energi membaca tulisan ini dan, apalagi, berdiskusi tentangnya. Bagi saya, anda cukup menikmati kehidupan pribadi saja. Tunggu "jadwal" mendapat panggilan dariNYA, lalu beristirahatlah dalam damai. Anak-cucu Anda yang akan terus bekerja untuk bangsa lain. Disadari atau tidak. Kemungkinan besarnya malah: tidak.

Anda punya uang? Coba ambil selembar dari dompet. Lihat. Dari manakah uang itu? Di dalam uang itu terkandung NILAI. Katakanlah uang anda 10.000 Rupiah. NILAI-nya 10 ribu. Dari mana NILAI 10 ribu itu datang? Dari Bank Sentral yang menerbitkan mata uang tersebut. Dalam hal ini: Bank Indonesia. Dari mana halnya BI bisa memberi NILAI 10 ribu itu? Sekedar memiliki kewenangan mencetak lembar uang saja tidaklah cukup bagi BI untuk mencetak uang. Atau mengeluarkan perintah untuk mencetak (duit Rupiah itu ada juga yang dicetak di luar negeri, kan?).

Agar sebuah kertas polos ukuran -katakanlah- 5 kali 12 senti (yang nilainya mungkin hanya 100 rupiah) bisa dicetak menjadi lembaran uang berNILAI 100.000 Rupiah, harus ada ALASAN-nya. Jaman dahulu (bahkan sampai sekarang, dan di banyak Negara, kecuali pada satu atau beberapa Negara) ALASAN-nya adalah emas.

Emas bersifat: tidak teroksidasi oksigen (hingga sifatnya tahan karat, awet), jumlah yang dapat ditambang sangat terbatas, konduktor listrik yang sangat baik sehingga sangat pas untuk digunakan pada perangkat-perangkat genggam (hampir semua handphone ada emasnya), mudah memantulkan cahaya (berkilau, indah sebagai perhiasan). Sifat-sifat inilah yang membuat emas disebut "mulia". Logam Mulia. Dengan sifat kemuliaan itulah pada jaman dahulu kala emas diperlakukan sebagai alat (device, devisa) bayar.

Lama-kelamaan, sistemnya berubah sesuai kemampuan berpikir manusia. Daripada koin-koin emas itu susut (akibat gesekan, tertumbuk, tergores, dan lain sebagainya) dan membuatnya "berkurang" daya belinya, maka lebih baik emas itu disimpan. Sebagai gantinya, untuk tiap satuan emas yang disimpan, otoritas penyimpan menerbitkan nota tanda adanya emas yang disimpan.

Nota-nota itulah yang diperlakukan sebagai alat bayar yang berputar-putar di masyarakat. Notanya ada yang berbentuk koin. Ya, awalnya koin juga, tetapi dibuat dari logam yang bukan emas. Bukan logam mulia. Sehingga itu logam susut secara fisik bukanlah persoalan besar. Kalau ia remuk, tinggal ditarik dari peredaran, dan diganti dengan koin baru.

Seiring berubahnya kemampuan berpikir manusia, dibuatlah nota dalam bentuk kertas. Lebih mudah daripada membat uang koin, dan lebih leluasa membuat berbagai motif yang dirasa sulit untuk ditiru (mencegah dibuatnya nota palsu oleh yang bukan otoritas). Nota-nota itulah yang kita kenal jaman now sebagai UANG. Otoritasnya kita kenal sebagai Bank Sentral. Devisanya kita kenal sebagai emas.

Jadi, untuk tiap nilai Uang yang dicetak oleh sebuah Negara, ada devisa Emas yang disimpan (dicadangkan, reserved). Mata Uang yang dicetak melebihi jumlah emas yang dicadangkan, kalau KETAHUAN melebihi-nya tersebut, NILAI-nya akan TURUN.

Kalau tadinya selembar uang bertulis "1" bisa untuk membeli -sebagai contoh- 1 kilogram beras, saat KETAHUAN (baca: disadari oleh masyarakat) emas yang dicadangkan kurang, maka dengan selembar uang berNILAI "1" itu kita hanya bisa membeli 0,5 Kg beras. Daya beli TURUN.

Seiring berubahnya lagi kemampuan berpikir manusia (dan "kelihaian", termasuk "kelicikan"), ada BENDA selain Emas yang menjadi bisa atau dibisakan sebagai DEVISA. BENDA tersebut adalah UANG DOLLAR Amerika.

(Bersambung)

***

Editor: Pepih Nugraha