Menonton ILC tadi malam yang mengangkat tema Moeslem Cyber Army (MCA), ada beberapa poin yang menurut saya sangat menarik.
Saya tidak akan mengupas pepesan kosong ala Raja Juli Antoni yang selama ini saya anggap contoh intelektual muda kaum milenial, tapi jujur saja saya kecewa karena ternyata kapasitas debatnya masih dan bahkan di bawah kualitas Ketua Osis SMP.
Penjelasan normatif dari Kepolisian kita juga saya anggap wajar, mereka hanya petugas hukum yang menjalankan tugas sesuai peritah Undang-undang.
Saya justru merasa jadi tenang, karena kalau saya tidak salah memaknai yang disampaikan Para Jenderal perwakilan Polri kita, selama ini yang diproses hukum adalah akun-akun yang dianggap menyebarkan hoax, bukan Penulis-penulis atau Penggerutu Media Sosial seperti saya yang sering menumpahkan isi pikiran, gagasan sampai kekesalan hati yang terukur dalam bentuk tulisan ke wall Fesbuk.
Menarik juga penjelasan dan permintaan Bung Mustofa Nahrawardaya, agar setiap "kejahatan", yang di proses Kepolisian kita seperti MCA Family ini tidak melibatkan apalagi menonjolkan identitas publik, misalnya Islam.
Sama seperti kasus terorisme yang selama ini seakan dilekatkan kepada Islam, penyebutan Muslim Cyber Army kepada 14 orang terduga penyebar hoax secara terus-menerus seakan menjadi "brainwashing", semua Muslim Cyber Army adalah tukang Hoax.
Padahal ada puluhan juta kaum muslimin di media sosial menjadi Muslim Cyber Army yang justru berusaha meluruskan hoax yang disebarkan sekelompok Islamphobia atau para anti ulama tertentu.
Mereka tidak pernah sama sekali ofensif membuat isu apalagi hoax. Mereka hanya defensif, bergerak meluruskan kalau ada isu atau hoax yang sebarkan dan dianggap merugikan atau menghina Islam.
Saya sama sekali tidak paham "Closing Statement", dari Prof. Mahfud MD yang tidak keberatan dengan labelisasi hoax kepada MCA dan menurut saya merugikan Netizen Muslim seperti saya karena akan dianggap penyebar hoax.
Terakhir yang paling menarik walaupun saya yakin banyak yang tidak terlalu memperhatikan adalah ungkapan keresahan hati dan jiwa Bang Fadli Zon. Beliau mengatakan kurang lebih yang menurut saya maksudnya, "Jangan sampai proses hukum terhadap penyebar hoax dari pendukung pemerintah yang selama ini terkesan tidak tersentuh baru bisa diproses kalau Pak Prabowo memenangkan Pilpres 2019".
Justru inilah yang saya takutkan selama ini, yaitu "politik balas dendam".
Saya selama ini berteriak-teriak di Media Sosial agar UU ITE direvisi, jangan sampai menjadi pasal karet yang bisa ditarik-ulur tergantung kepentingan dan sudah pasti menguntungkan pihak berkuasa untuk membungkam paling tidak menakut-nakuti rakyat dan pihak oposisi bersuara.
Berulangkali saya di-bully, dicaci-maki umumnya oleh netizen yang membela rezim berkuasa, bagi mereka Pemerintah tidak boleh dikritik apalagi dihujat atau dihina. Padahal perbedaan kritikan, hujatan atau hinaan sangat relatif, tergantung sudut dan posisi orang yang menafsirkan.
Pertanyaanya: kalau misalnya Rezim berganti di 2019 nanti, bukankah yang akan menjadi korban adalah rakyat yang mendukung rezim sekarang karena otomotis kemungkinan besar mereka akan berganti jadi pihak yang mengkritik?
Saya tidak rela rakyat dari pihak manapun, mau Prabower, Jokower, SBY-mania, Suhartois, Muslim, Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu atau apapun identitas dan pilihannya ditangkap dan dipenjara hanya gara-gara masalah politik.
Saya sepakat UU ITE digunakan untuk menjerat fitnah atau hoax terhadap Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA). Tapi tidak untuk sekedar kritikan, keluhan maupun anggap saja hujatan kepada para Pejabat Pemerintahan dan Pejabat Negara.
Karena sederhana saja: KALAU ALERGI DIHUJAT JANGAN JADI PEJABAT!!
Jadilah pengusaha, karena kalau dihujat oleh karyawan anda, tinggal pecat karyawan yang anda gaji. Tapi kalau jadi pejabat, anda dipilih dan digaji oleh rakyat.
Wajar saja anda akan dihujat kalau anda berkhianat atau bersikap jahat terhadap rakyat.
Salam Damai Indonesiaku.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews