Pondok Pesantren Waria (4): Kurikulum Ponpes dengan 34 Ustad

Rabu, 7 Maret 2018 | 22:16 WIB
0
900
Pondok Pesantren Waria (4): Kurikulum Ponpes dengan 34 Ustad

Oleh: Novia Nurist Naini

Ponpes ini dahulunya diampu sekitar 34 ustad yang didatangkan langsung oleh Pondok Pesantren di Yogyakarta. Pembelajarannya dimulai dari membaca Al-Qur’an, mulai iqra’juz amma pada jam empat sore di hari Minggu. Diselangi salat magrib berjamaah, lalu ada kultum dari ustad. Setelah itu, salat Isya’ dan wirid bersama.

Kegiatan akhir adalah sharing bebas tentang apapun. Mulai dari fikih, akidah, bahkan masalah pribadi teman-teman. Sesi ini terbuka, melingkar. Siapapun bisa mendengar keluh kesah dan cerita yang dibagi. Diselingi canda tawa, lebih informal.

Ustad dengan sabar menjawab serta menjelaskan pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, dengan menyebutkan ayat Al Quran dan hadits, terkadang ditambahan menurut pendapat ulama’ dalam buku tertentu. Pertanyaan yang diajukan teman-teman cukup filosofis. Sederhana, tetapi kompleks. Selengkapnya ada di detail berikut.

Ustadz Alfan (Disamarkan)

Ustad Alfan adalah pemberi materi kajian di Pondok Pesantren Waria. Ustad Alfan berasal dari Medan dengan berlatar belakang sarjana dan melanjutkan kuliah S2 Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin di salah satu Universitas Islam di Yogyakarta. Usianya sekitar 30 tahunan.

Apa yang ia lakukan di pondok pesantren adalah bentuk sukarela yang tidak dihadiahi dengan uang. Tenaga dan waktu yang ia berikan selama ini adalah bentuk kepedulian seorang ustad Alfan yang turut serta dalam memberdayakan waria.

Motif ia melakukan volunteering ini adalah sebagai dedikasinya menjadi intelektual, untuk tidak hanya sekadar mengkritik keberadaan waria namun juga memberi jawaban konkret what’s next pada komunitas waria ini.

Pemikiran ustad Alfan ini dapat dikatakan unik. Dedikasi beliau untuk Pondok Pesantren Waria Al Fatah secara tersirat merupakan bentuk pengakuan atau rekognisi beliau terhadap adanya gender waria atau priawan atau LGBT ini. Dengan latar belakang keilmuan beliau, beliau memiliki pijakan hadits dan kajian sufi intelektual pembaharuan Islam yang menjadi alasan kuat mengapa beliau berada di posisi yang sekarang.

Waria, adalah bentuk terjemah dari salah satu aktor yang didapat dari tafsir Al Quran surat An Nur ayat 31. Tafsir ini, menurut beliau adalah ayat terkuat mengapa waria itu berhak hidup. Beliau juga menyangkal konstruksi yang selama ini dipergunakan sebagai senjata ulama’ kepada masyarakat bahwa waria adalah pembelot nabi Luth.

“Ayat-ayat Al Quran itu bukan bahasa biasa. Ada makna yang terungkap, dan tidak semua yang tersurat disana itu memiliki arti yang sebenarnya. Bisa jadi, arti dalam Al Quran adalah pemaknaan yang lain, yaitu pemaknaan yang sifatnya filosofis.”

Kami juga menelisik bagaimana pemikiran Ustadz Arif tentang jilbab.

“Jilbab itu fashion saja. Anda harus tau sejarah atau asbabun nuzul mengapa perempuan menggunakan jilbab. Jilbab terdahulu sebenarnya dipakai oleh wanita Yahudi, utamanya jilbab panjang. Lalu sekarang disimbolkan di masyarakat bahwa wanita yang taat agama adalah mereka yang memakai jilbab atau yang menggunakan jilbab yang sangat panjang. Makna jilbab kan identitas jaman dulu. Dulu perempuan Arab rentan keamanan makanya menggunakan jilbab. Sekarang, di Indonesia perempuan boleh saja bebas tidak mengenak jilbab, karena keamanan perempuan juga terjaga. Yang harus menundukkan kepala dan menjaga pandangan itu tidak hanya perempuan, tapi juga laki-laki.”

Ustadz ini mengatakan pada saya dan Thia, “Mbak-mbak ini kan pake jilbab karena fesyen kan?”

That time. That time. That, time.

Saya dan Thia diem aja. Membiarkan beliau memaparkan lebih jauh. Kalimat-kalimat yang beliau ucapkan membuat saya ingin cepat pulang dan membaca kajian tafsir ilmiah tentang persoalan ini. Tafsir mufassir yang berbeda-beda. Traveling ke Ponpes waria membuat saya menulis to-dobanyak. Ilmu yang cetek ini harus banyak sekali di-upgrade. Sadar diri umur dua puluh itu harusnya ilmunya udah 20.0.

“Islam itu sederhana. Islam itu menjembatani semua kalangan, termasuk sinkretisme budaya. Islam itu inklusif untuk siapa saja. Namun sayangnya pemikiran ini dijauhi kalangan Islam fundamentalis. Kalangan mereka hanya mengkritik tapi tidak memberi solusi konkret. Ada sesungguhnya kalangan Islam yang lebih dekat dengan budaya.”

(Bersambung)

***

Novia Nurist Naini, Creative Writer. UGM. Turns scientific research into popular feature, untuk Selasar.com, situs tanya-jawab berbagai pengetahuan dan pengalaman paling lengkap dan keren di Indonesia.

Laporan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/03/06/pondok-pesantren-waria-3-waria-pun-punya-sejarah/