Jusuf Kalla Dukung Jokowi di Pilpres 2019 sebagai "Politik Mandi Bersih"

Selasa, 6 Maret 2018 | 17:31 WIB
0
1234
Jusuf Kalla Dukung Jokowi di Pilpres 2019 sebagai "Politik Mandi Bersih"

Jusuf Kalla (JK) menolak untuk maju lagi sebagai Cawapres di Pilpres 2019 mendatang tapi dia bisa saja mendukung Capres Jokowi demi mendapatkan tiga kemenangan, mengapa?

Sebagai politikus kawakan, JK punya daya magnet sangat kuat di dunia politik Indonesia, baik ketika masih dalam struktur partai maupun tidak. Dia sudah malang melintang sejak era Orde Baru hingga pasca Reformasi. Dari jabatan pengurus biasa di partai, DPP, ketua partai Golkar, menteri hingga Wakil Presiden pernah digenggamnya. Tak heran bila para lawan politik pun segan padanya.

Hal yang langka dari JK adalah pernah dua kali jadi wakil presiden pada periode yang berbeda dan bersama presiden yang berbeda pula. Pertama jadi wakil presiden ke 10 mendampingi Presiden SBY di periode 2004-2009. Ini adalah periode pertama SBY jadi presiden. Pada

periode kedua di 2009-2014 JK tersingkir karena SBY lebih memilih Prof. Dr. Boediono yang “lembut dan tidak suka menonjolkan diri”. Sementara JK yang tersingkir kemudian "hanya" aktif di kegiatan sosial yakni jadi ketua PMI (Palang Merah Indonesia) dan Ketua Dewan Masjid Indonesia. Pada masa itu pun dia tak lagi menduduki jabatan struktural penting (decision maker) di partai Golkar yang pernah membesarkannya.

Jabatan di lembaga sosial biasanya seperti pertanda "berakhirnya" masa emas seorang JK dari dunia Politik. Orang awam pun menganggap JK sudah tua dan sudah waktunya "ngurus cucu dan jalan-jalan menikmati masa tua".

Tapi siapa sangka setelah "menganggur 5 tahun" JK come back ke arena politik. Dia laksana pendekar tua yang turun gunung berbekal jurus beladiri yang masih ampuh. Dengan "daya sakti" nya yang masih belum redup, JK kemudian terpilih kembali jadi wakil presiden RI ke 12, pendamping Presiden Jokowi saat ini.

Perjalanan JK jadi wapres seperti ini belum ada dalam sejarah Indonesia. Mungkin hal yang sama sulit dilakukan tokoh politik lain. Umumnya seorang yang sudah pernah jadi Wapres pertama kali, kalau tidak berlanjut di periode berikutnya maka seterusnya akan “tenggelam dan dilupakan" para petarung generasi politikus terbaru. Tapi khusus untuk JK hal itu tak berlaku.

Peran Heroik JK Masa lalu

Perjalan karier politik JK penuh lika-liku, dari yang biasa-biasa saja hingga yang dramatik. Dari yang penuh kecaman hingga pujian nan heroik. Semua itu sudah dilaluinya. Pada masa internal partai Golkar kisruh hingga Pohon Beringin itu hampir tumbang, JK tampil menegakkannya.

Dalam persoalan kemanusian-kebangsaan, JK jadi sosok kunci perdamaian tiga konflik besar di Tanah Air. Mulai dari kerusuhan Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi Tengah) hingga konflik separatisme di Aceh. Di saat presiden Megawai (2001-2004) "hanya bisa menangis" dan SBY "maju-mundur cantik penuh ragu" melihat konflik berdarah di Ambon dan Poso, JK yang “Cuma” menteri tampil mendamaikan konflik tersebut.

Itulah sebagian dari catatan "kesaktian" JK yang membuat namanya harum dan disegani banyak orang. Namun di balik cerita sukses itu ada juga catatan sumbang tersemat pada kiprah politiknya.

Cacat Politis JK

Saat jadi wakil presiden era SBY, JK tampil dominan yang membuat suasana politik dalam negeri tidak nyaman. Di mata publik, timbul istilah matahari kembar pada pucuk pimpinan RI. Hal ini diperparah oleh elemen politis yang ‘ngomporin’ sehingga timbul kesan Presiden SBY gerah terhadap sepak terjang JK sebagai wakil presiden.

Latar belakang JK dari Golkar selaku partai besar, tua dan berpengalaman di pemerintahan dan politik menjadikan JK sangat percaya diri tampil diberbagai peristiwa penting. Gaya politik JK yang serba ingin cepat, ceplas-ceplos, familiar, dan egaliter dibandingkan Presiden SBY yang dianggap publik bergaya aristokratis-feodalistik, peragu dan tidak tegas. SBY yang berlatar belakang militer terbiasa dengan garis komando. Anak buah tak boleh lebih menonjol dari komandan. Perbandingan gaya SBY-JK itu jadi persoalan tersendiri dalam persepsi politik publik.

Gaya JK itu bikin nama SBY kalah pamor. SBY "kegerahan”, apalagi kompor pers dan elemen politik di sekelilingnya terus menyala melihat sepak terjang JK. Celakanya, JK tak mengubah sikap, walau dia mengetahui kondisi itu. Konon hal itulah yang menjadikan SBY tak lagi merasa cocok bersama JK untuk periode ke 2 pemilihan presiden.

Saat awal jadi wakil presiden era Jokowi sebagian publik pun mengkawatirkan “tabiat lama” JK ketika jadi wakil SBY akan terbawa saat mendampingi Jokowi. Dikuatirkan sepak terjang politik JK akan dominan dibanding Jokowi, terlebih Jokowi dianggap orang baru dalam pentas politik nasional. Jokowi bukan pengurus DPP PDI Perjuangan yang lama bermain di politik elit nasional. Jokowi “hanya” petugas partai yang dianggap lemah posisi tawarnya dalam pengambilan keputusan penting negeri ini.

Kekuatiran publik pun ternyata tidak keliru. Awal pemerintahan Jokowi berjalan persoalan lebih rumit. Sejumlah koalisi partai kalah Pilpres 2014 berebut kursi pimpinan dan pengaruh di parlemen yang mempengaruhi jalannya pemerintahan Jokowi/JK. Sementara itu, dalam memilih menteri diduga JK menempatkan orang-orangnya untuk pentingan tertentu terkait bisnisnya.

Persepsi publik muncul ; Jokowi tampak lemah dibandingkan JK. Beruntunglah semua itu sudah berlalu setelah Jokowi melakukan reshuflle kabinet dan orang-orang JK tersingkir. Kini mereka seolah mengambil sikap oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.

Hal paling dramatik dan tak bisa dilupakan publik adalah pada pemilihan gubernur DKI 2017 lalu. Drama itu menjadikan catatan politik JK menjadi “tidak bersih” di mata sebagian publik. Sebagai pendamping siapapun JK tidak loyal, tidak setia dan selalu punya agenda sendiri yang bikin gerah pasangan politiknya.

[irp posts="11323" name="Jusuf Kalla Wapres Lagi, Sekadar Redam Parpol Berebut Cawapres"]

Hal yang pertama adalah JK condong memilih Anies Baswedan yang diberhentikan Jokowi pada reshuffle kabinet sebelumnya. Sementara persepsi publik bahwa Jokowi berpihak pada Ahok yang pernah jadi wakilnya saat jadi gubernur DKI. Dalam hal “pilihan”, JK berbeda dengan Jokowi.

Hal kedua adalah Jk bersikap diam atau pura-pura tidak tahu terkait politisasi agama dan tempat ibadah untuk meraih jabatan DKI 1. Padahal JK saat itu menjabat ketua dewan masjid. Tidak ada aksi heroik demi kepentingan kebangsaan yang dilakukan JK layaknya yang pernah dia lakukan saat mendamaikan konflik di Ambon, Poso dan Aceh dahulu. JK dianggap turut berperan menjadikan Anies mendapatkan kursi gubernur DKI dengan cara politisasi SARA: agama dan ras.

Dalam dunia politik, berbeda pilihan dengan pasangan jabatan itu hal yang biasa. Namun itu “aneh” di mata publik awam. Kekompakannya dipertanyakan. Apalagi strategi “pembiaran” JK pada politisasi agama/tempat ibadah dan ras itu berdampak pada kelanjutan kehidupan berbangsa yang saat ini pada titik menghawatirkan usai pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2017. Secara tidak langsung, JK punya andil disini.

Sepak terjang JK pada pilgub DKI ini sangat menentukan persepsi politik publik tentang dirinya dikaitkan dengan ‘tabiat politiknya” dalam dua kali jadi wakil presiden, baik saat jadi mendampingi SBY maupun Jokowi.

Cap tidak loyal, suka main sendiri, suka menusuk kawan dari belakang, dan lain sebagainya bisa menjadi persepsi politik publik yang menjadikan catatan kurang baik bagi karier politik JK. Dalam politik, yang diingat publik adalah cacatnya bukan prestasi segudang yang pernah dibuat. Ini masalah rasa dan citra awam.

Strategi Politik Mandi Bersih

Dalam menutup kariernya sebagai capres dan politikus kawakan, tentunya JK ingin dikenang baik dan harum. Dengan begitu, dia bisa menikmati pensiun dengan tenang. Satu cara yang bisa ditempuh JK adalah menentukan arah dukungan politiknya pada Pipres 2019 nanti.

Memberikan dukungan politik pada Jokowi dalam pilpres nanti merupakan salah satu cara JK untuk menutup karienya dengan tenang. Beberapa pertimbangan bisa menjadi dasar keputusan pribadinya yakni :

Pertama , mendukung Jokowi sebagai pembuktian JK bukan kawan yang pecundang. Ini sebagai bentuk balas budi pada Jokowi. Selama JK melakukan sepak terjang politisnya dahulu, Jokowi tidak mengambil jarak secara frontal di ruang publik sehingga nama JK cukup tertolong tidak ambruk total di mata publik. Sikap toleran Jokowi ini perlu diapresiasi demi menjaga stabilitas pucuk pimpinan saat itu.

Kedua, hal yang mendukung JK adalah sikap politik resmi Golkar saat ini yang mendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Sebagai orang lama dan mantan petinggi Golkar, JK bisa menumpang arah perahu Golkar tersebut sehingga dukungannya pada Jokowi tampak sangat besar dan berlimpah ruah.

Dengan berlindung di perahu Golkar, teman-temannya yang berseberangan dengan Jokowi tidak bisa membantah karena sebagai orang Golkar wajib hukumnya mengamankan kebijakan partai. Hukum ini berlaku universal di semua partai. Jadi dengan mendukung Jokowi bisa menjadi legitimate sikap atau bentuk permisif di antara kawan dan lawan politik.

Ketiga, sebagai bentuk penghomatan pada partai Golkar yang pernah membesarkan dan dibesarkan JK. Sebagai orang tua di Golkar, JK balik dihormati dan jadi panutan para yuniornya karena mau menjaga kebijakan Golkar jaman Now.

[irp posts="11322" name="Seriuskah Jusuf Kalla Mencalonkan Diri Lagi sebagai Cawapres?"]

Dengan mendukung Jokowi, JK mendapatkan tiga kemenangan, pertama memenangkan hati Jokowi secara pribadi. Kedua, menjaga marwah diri pribadi dalam keluarga besar Golkar. Ketiga, mengunci Jokowi agar tak bisa mengklaim keberhasilan pemerintahan periode pertama dan selajutnya hanya milik Jokowi sendiri.

Ini juga sebagai bentuk pertanggungjawaban JK pada era pemerintahan Jokowi/JK. Perlu dipahami bahwa pemerintahan Presiden Jokowi saat ini tidak lepas dari peran JK selaku wakil presiden. JK mendukung Jokowi merupakan bentuk keberlanjutan kebijakan besar pembangunan Jokowi/JK walau kelak JK tak lagi jadi wakil presiden.

Bila JK memberikan dukungan politik pada Jokowi pada Pilpres 2019 merupakan strategi mandi bersih sebelum mengenakan baju pensiun. Sehingga badan segar dan baju pun nyaman dipakai.

Secara peraturan dan undang-undang, tak ada yang salah bila JK melakukan politik Mandi Bersih. Ini hanya soal citra saja yang ingin ditinggalkan di akhir jabatan. Bagaimanapun, JK secara manusiawi ingin dikenang secara harum bila usai pengabdian pada negara dan kembali “mengabdi” dalam keluar yang telah lama tak bisa sepenuhnya dia lakukan.

Menikmati masa pensiun dengan wangi, mengenakan baju baru sebagai kakek saat bermain dengan cucu tentu punya sensasi berbeda dibanding saat berlumuran intrik politik.

Kita boleh berharap JK juga mengisi masa pensiunnya dengan kembali menulis di Kompasiana atau PepNews! misalnya, tapi bukan di kanal politik yang riuh melainkan di kanal hiburan dengan menulis artikel humor politik dari pengalaman dan sense of humor yang dia miliki agar pembaca tak diperbudak oleh isu romantika politik yang menegangkan, sambil dia sesekali main game dari aplikasi yang diinstal para cucu nya.

Pak JK, saat jelang pensiun nanti, mendukung capres selain Jokowi itu berat. Pak JK tak akan kuat. Biar Fadli Zon saja.

Aah, pak JK... nikmatnya bermain dengan cucu usai mandi bersih...

Peb 5/03/2018

***

Editor: Pepih Nugraha