Manusia memang mahluk yang berharap. Hidupnya didorong oleh harapan. Orang bisa bangun tidur, dan kemudian siap beraktivitas, juga karena punya harapan akan hidup yang lebih baik. Ketika kesulitan menerpa, harapan pula yang mampu menyelamatkan manusia.
Namun, harapan juga memiliki paradoks. Ia tidak hanya daya dorong kehidupan, tetapi juga sumber kehancuran, terutama harapan yang tak terwujud. Ketika harapan besar terhempas oleh gejolak kehidupan, patah hati, kebencian dan konflik adalah buahnya. Ini terjadi di banyak tingkat, mulai dari tingkat pribadi sampai dengan hubungan antar bangsa.
Yang diperlukan disini adalah kejernihan di dalam memahami harapan. Darimana datangnya harapan? Apa inti dari harapan? Bagaimana mengelola harapan, supaya ia bisa menjadi daya dorong kehidupan, dan bukan sumber kekecewaan?
Harapan: Ciptaan Masyarakat
Sedari kecil, kita hidup di dalam lingkungan sosial. Kita menjalani pendidikan di dalam sekolah yang didirikan oleh masyarakat. Kita menelan, seringkali tanpa sikap kritis, apa yang diajarkan. Kita pun mempercayai dan menghidupi nilai-nilai yang ada di masyarakat kita.
Segala pola pikir dan pola perilaku yang kita punya adalah bentukan masyarakat kita. Perubahan tentu mungkin. Namun, itu seperti menambah program baru di program yang sudah ada sebelumnya. Yang terbentuk adalah semacam percampuran antara nilai-nilai lama dan nilai-nilai baru.
Harapan juga sama. Ia adalah bentukan lingkungan sosial kita. Orang yang lahir di keluarga pedagang cenderung berharap menjadi pedagang besar. Orang yang lahir di keluarga akademisi pun cenderung berharap menjadi seorang pemikir besar. Harapan, pendek kata, adalah hasil dari programming sosial.
Jika orang tak menyadari ini, dan mengira harapan yang ia punya adalah harapannya sendiri, maka ia akan terjebak dalam ilusi. Ia mengira dirinya bebas, padahal tetap terpenjara di dalam dunia sosial. Ia hidup seperti robot, tunduk pada pengakuan dan penolakan dari dunia sosial. Hidup seperti ini amat rentan pada kekecewaan, patah hati, stress, depresi dan konflik.
Mengelola Harapan
Jika harapan adalah “sampah” dari lingkungan sosial, maka pilihlah sampah yang baik. Ada empat hal yang kiranya bisa dilakukan. Pertama, dari semua harapan yang ada, pilihlah harapan yang bergerak melampaui kepentingan diri kita semata. Pilihlah dan hiduplah dengan harapan yang mampu membawa kebaikan tidak hanya untuk hidup manusia, tetapi untuk alam semesta.
Dua, kita juga mesti paham dengan keadaan. Jangan memiliki harapan yang terlalu tinggi, cukup bisa berguna untuk banyak orang, dan bisa diwujudkan dengan kerja sama. Tentu saja, kita juga perlu meningkatkan kemampuan, supaya harapan kita bisa menjangkau kebaikan yang lebih tinggi dan lebih luas. Itulah gunanya belajar untuk pengembangan diri, yakni supaya kemampuan kita untuk mewujudkan harapan bisa meningkat.
Tiga, harapan seringkali terhempas di tengah jalan, walaupun harapan itu baik dan cukup realistis. Disini diperlukan kesabaran. Dalam arti ini, kesabaran adalah kemampuan untuk bertahan mengejar harapan, walaupun beragam tantangan datang menghadang. Tanpa kesabaran, harapan apapun tak akan terwujud, walaupun didukung oleh kecerdasan dan modal yang besar.
Empat, walaupun begitu, kita tetap harus tahu, kapan harus berhenti berharap. Berhenti disini bukanlah tanda kekalahan, melainkan tanda kebijaksanaan. Apa yang punya awal haruslah memiliki akhir. Inilah hukum alam semesta yang tak tergoyahkan.
Paradoks harapan adalah ciri dari harapan itu sendiri. Ia bisa dihindari, asal orang bisa berharap dengan sadar, yakni sadar akan kenyataan dan keterbatasan, tanpa jatuh ke dalam sikap putus asa. Harapan lahir dari hubungan dengan lingkungan sosial yang ada. Ia bisa memenjara, tetapi juga bisa membebaskan, jika dikelola dengan tepat.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews