Mencari Dongeng

Jumat, 2 Maret 2018 | 05:54 WIB
0
1002
Mencari Dongeng

Dia menyukai dongeng, dan berharap suatu hari akan ada dongeng tentang dia.

Ibunya membaca sebuah kisah setiap malam, sambil mengepulkan asap dari berbatang-batang rokok. Kenangan masa kecilnya terus bertahan meski ibunya sudah tak ada lagi. Memorinya penuh terisi dengan kisah peri dan putri.

Dia tidak pernah mengenal ayahnya dan tidak memiliki saudara kandung, jadi dia tinggal sendiri. Sebagai seorang yatim piatu—seperti banyak pahlawan muda yang putus asa dalam dongeng—dia dia bertanya-tanya kapan dongeng tentang dirinya akan terwujud.

Hidupnya selalu dalam kekurangan, maka dia bekerja di sebuah tambang batu bara. Setiap kali turun ke perut bumi, dia merasakannya bagai berada dalam penjara bawah tanah atau labirin. Sebagai pahlawan, tugasnya adalah menyelamatkan putri raja.

Hari-harinya panjang, gelap dan dekil. Di malam hari, dia dan teman-temannya minum dan merokok di sebuah kedai kecil yang muram, sebelum keesokan harinya bangun dan kembali mengulang kejadian di hari kemarin.

Tapi kemudian, tambang batubara itu ditutup dan dia mendapat gaji terakhir. Matahari terbenam saat dia kembali ke kota dengan amplop tipis terselip di sakunya. Dia tak tahu harus berbuat apa, maka dia pergi ke kedai kecil yang suram itu. Beberapa lelaki lain sudah ada di sana. Mereka duduk diam dan minum sebelum satu demi satu menghilang. Dia yang terakhir. Sebelum melangkah keluar menuju malam yang dingin, dia membeli sebungkus rokok dan sekotak korek api, dan menyalakan rokok pertamanya.

"Hei, punya korek api?" adalah kata-kata pertama yang diucapkan putri itu kepadanya.

"Tentu," jawabnya sambil tersenyum.

Dia pindah ke tempat sang putri untuk menghemat uang sewa. Putri tinggal di sebuah apartemen kecil di kompleks rusunawa. Satu-satunya jendela apartemen mengarah pada bangunan rusunawa tetangga.

Sang putri berbagi tempat tinggal dengan dua orang gadis lain. Ketiga putri ini berganti nama lebih sering dari pada berganti pakaian. Ketiganya menghilang di malam hari untuk bekerja dan muncul kembali beberapa saat sebelum matahari muncul di ufuk timur.

Terkadang dia harus keluar dari apartemen jika salah satu dari mereka membawa klien ke tempat mereka, tapi ini jarang terjadi.

Dia merasa lebih baik dari pada berada di dalam tambang batu bara. Di sini terdapat cahaya dan kehangatan. Sepanjang hari, dia memeluk sang putri sambil menunggu datangnya malam. Dia menceritakan dongeng yang diketahuinya, dan terkadang dia dan putri bermain kejar-kejaran di sekeliling tempat tidur. Lalu mereka berdua akan tertawa terbahak-bahak

Dia membayangkan mereka hidup bahagia selamanya di puri nan megah ini. Dia membayangkan mengenakan jubah kerajaan, berpesta makanan mewah diiringi mandolin dan suling. Dia membayangkan banyak hal, tapi dia tidak membayangkan kebahagiaan.

Dia dan putri bahagia.

Namun, kemudian sang putri jatuh sakit, sakit yang amat parah. Sangat.

Dia berpikir, pasti ada penyihir jahat telah mengutuknya. Kedua gadis lain kemudian pergi dan tak kembali. Dia tak pernah melihat mereka lagi. Sang putri tak lagi pergi bekerja dan mereka berdua tak lagi tertawa. Malam semakin panjang dan hari semakin gelap. Dan, bagaikan pahlawan yang putus asa, akhirnya dia membawa putri ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan.

Namun, di sana tidak ada yang membantu. Dokter mengangkat bahu dan perawat menatap jijik seakan sang putri sampah, membaringkannya di ranjang bangsal dan membiarkan cahaya hidupnya memudar. Rumah sakit itu menyebarkan aroma kesedihan dan kematian bagai gua penyihir jahat. Dia bisa merasakan hantu-hantu bergentayangan dan mendengar suara melolong. Sungguh mengerikan.

Untuk kedua kalinya dalam hidupnya, dia sendirian.

Dalam keputusasaannya, dia kembali ke kedai kecil yang suram. Ada beberapa penambang tua di sana. Sebagian telah mendapat pekerjaan lain, tapi lebih banyak lagi yang tidak. Salah satunya seorang sopir truk yang mengenalkannya pada atasannya. Entah mengapa, atasan supir truk itu memberinya pekerjaan sebagai pengendara truk.

Dia belum pernah pergi meninggalkan batas kota pertambangan. Dia belum pernah melewati batas kota barang satu depa pun, tapi tiba-tiba dia harus membawa truk untuk dikendarai ke tempat jauh dengan panduan satelit yang menentukan kemana dia harus berbelok dan apa yang harus dilakukan. Sebuah kartu ajaib dari perusahaan menjadi alat pembayar kamar yang hangat setiap malam. Dia terbelalak saat dunia mengalir di sisinya seperti dalam dongeng-dongeng yang dikisahkan ibunya. Dia bepergian. Dia melihat dunia.

Dari tanah tinggi ke kota-kota yang tak berujung, jalan layang dan terowongan bawah tanah, penginapan dan bar, kota dan kota. Ada begitu banyak tempat!

Dia melihat sawah dengan hamparan padi menguning, jagung bergelombang seperti samudra berwarna emas berkilau dijaga oleh naga yang tak tampak. Dia melihat pencakar langit yang berkilap menjulang tinggi bagai menara kristal istana peri yang menembus awan. Dia melihat orang-orang yang aneh yang menurutnya mereka telah disihir oleh para bajang atau menghadiri jamuan makan malam di istana Ratu Bidadari.

Dia melihat danau-danau yang indah, hotel-hotel dan mal besar di tengah gurun, sehingga dia yakin bahwa ada raksasa yang bekerja membangun tempat-tempat itu. Dia melihat begitu banyak. Ada begitu banyak hal yang tak diketahuinya di dunia ini!

Setiap kali dia menyalakan sebatang rokok, dia teringat ibunya. Dan setiap kali dia melewati blok rumah susun yang jorok, dia memikirkan sang putri. Setiap kali, dia berharap ibunya dan putri berada di sisinya untuk melihat apa yang dilihatnya.

Tahun-tahun berlalu tidak begitu baik baginya. Meski melihat dunia dari jendela truknya, perjalanan jarak jauh dan jam kerja yang panjang akhirnya memangsa raganya. Sebelum dia menyadarinya, umurnya sudah lima puluh dan matanya mulai rabun. Perusahaan truk telah tumbuh besar dan memberi asuransi kesehatan bagi karyawannya. Maka, ketika dia gagal dalam ujian perpanjangan surat izin mengemudi dan tes kesehatan lainnya, dia dimasukkan ke fasilitas perawatan dan mendapat uang pensiun sedikit.

Pada hari pertama di fasilitas itu, dia duduk di kamarnya yang kecil dan polos. Kamarnya berbau aneh, sepertinya bau bahan kimia yang beracun. Mungkin juga bau karbol atau obat. Warna-warna terang melapisi dinding. Jendela tunggal di ruang makan merangkap dapur menghadap ke bagian lain bangunan tua itu.

Dia mendesah dan menyeret kakinya berjalan ke luar. Dia membawa bungkus rokoknya, tapi melupakan pemantik api. Ingatannya tak lebih baik dari penglihatannya.

Di luar, ada seorang wanita sebaya—sangat mungkin sesama penghuni fasilitas yang membosankan ini—sedang merokok di bangku taman, membelakanginya. Maka dia sengaja batuk-batuk untuk mendapatkan perhatian.

"Punya korek api?"

Wanita itu berbalik dengan anggun layaknya putri yang cantik. Wajah yang menarik, meski tampak jelas gurat duka di matanya. Dia menemukan laut dan langit mendung dan badai jauh di batas cakrawala.

Wanita itu tersenyum.

"Tentu," jawabnya, nada suaranya hangat. Gurat duka memudar sirna.

Dia balas tersenyum. Kehangatan kembali mengalir dalam hidupnya.

Saat itulah dia membayangkan bahwa dia benar-benar sedang berada dalam sebuah dongeng. Kisahnya campur aduk antara kekunoan dan modern bertemakan perjuangan, kehilangan dan cinta. Dia membayangkan bahwa ini adalah awal dari sebuah akhir, jenis epilog yang hanya bisa dinikmati dalam dongeng, di mana mereka semua hidup bahagia selamanya.

Moral cerita: akhirnya dia menemukan dongengnya, dan begitulah seharusnya dongeng tentang dongeng.

Bandung, 2 Maret 2018

***