Manusia Tak Akan Mampu Membeli Waktu 1 Detik Yang Berlalu

Jumat, 2 Maret 2018 | 17:01 WIB
0
691
Manusia Tak Akan Mampu Membeli Waktu 1 Detik Yang Berlalu

Sesungguhnya, jatah waktu untuk kita sangat terbatas. Kalau mau dimatematikkan. 25 persen hidup kita dihabiskan untuk tidur, yakni 6 jam setiap hari. Ketika tertidur, tidak ada yang dapat dilakukan. Kemudian ada waktu untuk mandi dan bersih bersih diri, plus menghabiskan waktu berjam jam untuk transportasi pulang pergi. Belum lagi bila menemukan kemacetan di perjalanan.

Tapi  sayang sekali, walaupun kita berpacu dengan waktu, banyak orang entah sadar ataupun tidak menghabiskan waktunya untuk hal-hal tidak berguna. Bahkan terkadang justru merugikan diri sendiri dan orang lain. Antara lain:

 

 

  • Sibuk mencari kesalahan orang lain

 

 

  • Duduk menonton berjam jam

 

 

  • Duduk melamun dikursi goyang

 

 

  • Bangun kesiangan,masih ditambah tidur siang

 

 

  • Ngerumpi membicarakan kekurangan orang lain

 

 

  • dan hal hal lain yang sama sekali tidak ada manfaatnya

 

 

Tidak Ada Orang Yang Tahu Berapa Tahun Jatah Untuk Dirinya

Tidak ada manusia yang tahu berapa jatah waktu yang sesungguhnya bagi dirinya. Karena kematian bisa mendatangi siapapun tanpa perlu minta izin dan tanpa memandang suku bangsa, budaya dan agama. Buktinya ada orang kaya yang meninggal dalam usia muda dan ada juga orang miskin yang meninggal. Bukti tak terbantahkan bahwa kita tidak tahu jatah sejati untuk diri kita dan orang lain.

Belum lagi gangguan kesehatan yang mengerogoti tubuh, baik secara phisik maupun batin atau malah kedua duanya. Tapi herannya cukup banyak orang yang duduk murung dan melamun berjam jam untuk sesuatu yang tidak jelas. Atau membiarkan dirinya hanyut dalam nostalgia masa lalu yang penuh berkelimpahan. Semakin orang terbelenggu oleh masa lalu, semakin tenggelam menjerumuskan dirinya masuk kejurang frustasi.

Time is  Life

Waktu bukan hanya berarti uang, tapi lebih mendalam lagi, waktu adalah hidup. Setiap orang yang kehabisan waktu berarti tugasnya di dunia ini sudah selesai. Karena itu perlu kita sadar diri untuk mengisi setiap detik dari waktu yang diberikan kepada kita untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat. Baik bagi diri sendiri, maupun untuk keluarga dan orang banyak. Pengertian bermanfaat, tidak musti bermakna uang atau dalam bentuk materi.

Saling menyapa dan memberikan perhatian yang tulus, kita sudah mengisi hidup menjadi bermakna. Kita tidak mungkin dapat membagi bagi materi kepada semua orang, tapi yang dapat dilakukan adalah memberikan perhatian dan berupaya meringankan penderitaan orang lain, sesuai dengan kemampuan yang ada dalam diri kita.

Membayangkan Pensiun Duduk Dikursi Goyang? No,way!

Sebuah paradigma yang keliru, namun masih menjadi panutan banyak orang adalah:"bahwa pensiun berarti duduk santai dikursi goyang" Padahl pensiun adalah dari pekerjaan rutin yang dilakukan. Atas jasa pengabdian, maka perusahaan memberikan pensiun. Artinya walaupun tidak masuk kerja lagi, tapi tetap menerima gaji, sesuai dengan aturan yang berlaku di masing-masing perusahaan. Tapi jelas bahwa pensiun bukanlah berarti menghabiskan sisa hidup dengan makan tidur dan duduk di kursi goyang. Melamun tak tentu ujung pangkal, tanpa berusaha mengisi hidup dengan hal-hal yang bermanfaat.

Padahal pensiun justru memberikan kebebasan bagi diri kita untuk dapat berbuat lebih banyak untuk hal-hal yang bersifat sosial. Di samping memberikan keuntungan bagi diri kita, yakni jauh dari kepikunan dan kejenuhan hidup, sekaligus menjadikan hidup kita bermanfaat. Tidak hanya bagi diri sendiri dan keluarga, tapi juga untuk orang lain.

Seperti kata pribahasa: "The beauty of life not depend on how happy my life, but how happy the others, because of me" Bahwa keindahan hidup tidaklah semata-mata, betapa bahagianya hidup saya, tetapi seberapa banyak orang lain yang dapat berbahagia karena sesuatu yang saya lakukan."

Hidup adalah sebuah pilihan dan setiap orang berhak menentukan jalan hidupnya masing-masing. Tulisan ini hanya merupakan sebuah masukan yang diharapkan ada manfaatnya.

***

Editor: Pepih Nugraha