Umrah Lampaui Batas: Pancasila, “Ya Lal Wathan”, hingga Vokal Grup

Kamis, 1 Maret 2018 | 17:07 WIB
0
857
Umrah Lampaui Batas: Pancasila, “Ya Lal Wathan”, hingga Vokal Grup

Beberapa hari ini, media diviralkan oleh beragam kejadian umrah yang dilakukan jamaah Indonesia yang sesungguhnya menjadi contoh nyata dari sebuah sikap “ghuluw” (berlebihan/melampaui batas) dalam beragama. Tidak saja mereka yang mengklaim dirinya sebagai kelompok moderat saja, ghuluw dalam beragama bisa menyasar siapapun orangnya atau apapun kelompoknya.

Diakui maupun tidak, kumandang lagu “Ya Lal Wathan” karangan KH Wahab Chasbullah, teriakan-teriakan Pancasila, bahkan konon ada juga jamaah Indonesia yang membuat video klip di sekitar Masjid Nabawi, Madinah di sela-sela ibadah umrah mereka.

Fenomena ini tampak aneh, karena ibadah yang seharusnya diatur “takaran” dan “hitungan”nya malah tampak dilebih-lebihkan, dan yang menyedihkan kalangan yang merasa sebagai kelompok moderat bahkan membela bukan melakukan kritik bahwa yang dijalankan kelompoknya adalah sikap berlebihan dalam agama (al-ghuluw fiddiin).

Saya jadi teringat, sebuah riwayat yang berasal dari Ibnu Abbas, di mana dirinya dalam satu perjalanan bersama Rasulullah hendak melaksanakan salah satu rukun haji, yaitu Jumrah Al-Aqabah. Rasulullah menyuruh sahabatnya mengambil beberapa kerikil untuk persiapan jumrah—saat itu dirinya di atas kendaraan. Maka, ketika Nabi meletakkan kerikil itu di tangannya, dirinya mengatakan:  “dengan perumpamaan semua ini, berhati-hatilah dengan sikapmu yang melampaui batas dalam hal agama, karena sungguh telah hancur orang-orang sebelum kalian karena bersikap berlebihan dalam hal agama” (HR. Nasai, Ibnu Manah, dan Ahmad. Disahihkan oleh Ibnu Huzaimah dan Ibnu Hibban).

Cerita di atas tentu saja pas dengan gambaran pelaksanaan jumrah yang hanya diwajibkan menggunakan batu kerikil dengan jumlah tujuh buah, bagaimana jika lebih? Atau malah dilebih-lebihkan? Inilah yang barangkali dimaksud oleh “ghuluw” atau sikap berlebihan dalam hal agama yang dilarang oleh Rasulullah.

Ini merupakam sebuah contoh kecil saja dari soal sikap berlebihan, karena sesungguhnya banyak hal yang “mutaradif” (memiliki kesamaan makna) dengan makna “ghuluw”, paling tidak para ulama menyebut kriteria lainnya, termasuk “at-thanathtu” (memfasih-fasihkan pembicaraan, memutar-balikannya) yang barangkali masuk ketika menambah-nambahkan kalimat doa dalam sai secara berlebihan, dengan syair hubbul wathan atau bahkan meneriakkan sila-sila dasar negara.

Sikap “ghuluw” dalam beragama jelas merusak, bahkan menghancurkan umat, karena ada semacam klaim kebenaran dirinya atas yang lain, sehingga yang muncul adalah kesan merasa paling suci dan paling benar. Padahal al-Quran jelas melarangnya, “fa laa tuzakku anfusakum huwa a’lamu bimanittaqa” (janganlah merasa dirimu paling suci Dia-lah yang Maha Tahu siapa diantara hamba-Nya yang paling bertaqwa).

[embed]https://youtu.be/kitUXsLelA4[/embed]

Bayangkan, jika persoalan mengumandangkan “Ya Lal Wathan” di Tanah Suci disaat sai, justru seperti dibela oleh mereka yang merasa bagian dari kelompok moderat, lalu dihubung-hubungkan dengan sejarah Hijaz dimana peran atas Kiai Wahab terhadap penguasa Arab tampak sangat berpengaruh. Bagi saya, berlaku sebuah kaidah: “Laisa kullu haqqin yanbaghi an yuqaala” (tidak setiap yang dianggap benar itu patut disampaikan), karena “likulli maqaalin maqaamun, wa likulli maqaamin maqaalun” (setiap ucapan ada konteks kapan harus disampaikan, dan setiap konteks membutuhkan ucapan yang sesuai dengannya).

Dalam konteks umrah yang melampaui batas dan bahkan menjadi viral di dunia maya, maka ungkapan kekecewaan pihak otoritas Arab Saudi atas jamaah umrah asal Indonesia sudah seharusnya disikapi secara serius oleh pemerintah, terutama pihak Kementrian Agama.

Bahkan yang menjadi tanda tanya, tak ada satupun klarifikasi atau pernyataan dari pihak pemerintah yang menyesalkan kejadian di Arab Saudi, padahal telah ditegur oleh otoritas di sana. Apakah ini terkait dengan latar belakang menteri agamanya yang punya afiliasi dengan ormas tertentu yang justru melakukan pembelaan terhadap umrah “berlebihan” ini? Wallahu a’lam.

Jadi, bagi yang merasa itu bukan bagian dari “ghuluw” maka sama halnya mereka telah berbuat sikap yang berlebihan dalam agama, pun mereka selama ini menganggap sebagai kelompok yang paling moderat dalam beragama. Sesuai dengan pengertian “ghuluw” sendiri yang bagi saya cukup komprehensif (jaami’ maani’), dimana yang dimaksud adalah “al-irtifaa’u fis syay’i, wa tajaawazu al-haddi fiihi” (merasa paling tinggi/paling benar dan bersikap melampaui batas).

Jika sebuah ibadah sudah ditetapkan syariatnya, baik ucapan dan tata caranya, lalu ditambahkan dan dibela sebagai perbuatan yang dianggap benar, lalu siapa yang sebenarnya melampaui batas?

Itulah kenapa kemudian, Ibnu Taimiyah menyebut dalam kitabnya “Iqtidlaaus Shirathi al-Mustaqim Li Mukhalafati Ashabi al-Jahim” bahwa mereka yang berlebihan dalam beragama umumnya juga berlebihan dalam banyak hal, termasuk memberikan pujian atau membenci secara berlebihan (ziyaadu fi hamdihi wa dzammihi).

Hal senada diungkapkan Ibnu Hajar Al-Asqallani dalam karyanya Fathul Bari, ketika mengomentari soal “ghuluw” dalam agama menyebutkan adanya “kekakuan” yang sedemikian akut (al-mubalaghatu fis syay’i) dan kecenderungan yang terlampau berlebihan dalam kaitannya dengan agama (at-tasydiid fiihi bitajawizi al-hadd) sehingga kemudian melampaui batas-batas ajaran agama secara wajar.

Dari sini kita tampak dapat melihat, betapa kelompok-kelompok yang dikenal berlebihan dalam sikap beragama akan tampak cenderung fanatik dan selalu mencari pembenaran bagi dirinya sendiri, enggan disebut sebagai kelompok yang memiliki cacat atau kelemahan. Padahal, siapapun, kelemahan dan kecacatan itu pasti ada dan bagaimana semua itu ditutupi dengan cara terus menerus mengkaji dan menggali kebenaran.

Kritik tentu saja harus diterima dan diperbaiki, karena bagaimanapun kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan kita sebagai manusia hanya berupaya terus meyempurnakan tanpa harus alergi dengan kritik. Jadi, bersikaplah wajar dalam beragama, tak perlu berlebihan apalagi melampaui batas, karena sikap berlebihan tentu akan merusak dan menghancurkan umat, bukannya memberi manfaat dan maslahat.

***

Editor: Pepih Nugraha