Kecuali Spongebob, Jokowi Maupun Prabowo Butuh Pencitraan

Rabu, 28 Februari 2018 | 15:06 WIB
0
516
Kecuali Spongebob, Jokowi Maupun Prabowo Butuh Pencitraan

Jokowi melakukan pencitraan itu ya wajar, sebagaimana Prabowo melakukannya. Politisi itu butuh citra, nama baik, dan panggung. Kalau nggak butuh pencitraan, itu bukan politisi, tapi Spongebob.

Soal pencitraan, setiap kubu punya tim pemoles. Dulu, saat aktif di militer, Jenderal SBY nyaris tidak pernah tampil di muka publik. Lalu, ketika menjadi menteri, beliau dikenal sebagai menteri berlatarbelakang militer yang santun. Tak hanya itu, SBY dipoles sebagai tokoh penutur yang baik disertai gestur dan intonasi yang pas.

Di kubu Jokowi dan Prabowo, sama. Pola komunikasi Jokowi itu keunggulannya terletak pada wajah dan sikapnya yang biasa, terlalu biasa. Sedangkan Prabowo tampil dengan segala kegagahan atributif yang megah, disertai dengan fashion dan orasi ala Bung Karno. Apakah salah? Ya nggak. Politisi gitu lhoh. Mereka bahkan membayar mahal para konsultan di bidang poles memoles ini.

Dalam ranah kajian sosial, ada teori Dramaturgi. Erving Goffman, pencetus teori ini, menjelaskan pada dasarnya keseharian manusia terbagi menjadi dua: panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage).

Sebagaimana drama (ya, nama teori ini saja dramaturgi), manusia akan tampil "tidak apa adanya" saat tampil di panggung. Mereka memoles diri dengan citra, identitas, simbol, dan imaji yang menegaskan bahwa mereka wow, layak dikagumi dan cintai.

Sedangkan di panggung belakang, di dunia keseharian mereka tampil apa adanya. Politisi, misalnya, di front stage mereka memermak diri dengan citranya masing-masing. SBY yang militer-santun, Prabowo yang gagah-tegas, dan Jokowi yang merakyat. Ini adalah citra yang dibangun ketika mereka ada di depan sorot kamera dan dunia media.

Di backstage (panggung belakang) dan di dunia keseharian, mereka adalah pria, yang kalau bokongnya gatel ya nggak sungkan menggaruk sepenuh hati, yang kalau pengen ngupil ya melakukannya dengan serius dan penghayatan yang tidak dibuat-buat, dan kalau lagi mendengarkan Cak Lontong melawak, mereka tak akan jaim berbahak-bahak sampai menangis.

[irp posts="492" name="Melihat Jokowi, Prabowo, dan SBY Bertarung di Pilpres 2019"]

Dari sini saya jadi ingat tim fotografer Kompas yang sampai rapat serius membahas satu hal: perlukah menampilkan wajah Pak Harto secara manusiawi di era 1980-an itu? Sebab, di era angkernya kekuasaan Pak Harto itu, sang penguasa ingin tampil tanpa cela di koran. Fotonya harus resmi, seizin tim kepresidenan, dan biasanya melewati sensor kepala jurnalis istana (orang militer) yang hanya bisa satu kosakata bahasa Inggris di hadapan pewarta asing, yaitu "follow me!"

Kesimpulannya: Kompas memuat foto Pak Harto dengan gestur tubuh manusiawi dan ekspresi wajah biasa. Untungnya, tidak ada gejolak setelah itu. Aman. Padahal jika sang penguasa murka, ia bisa marah besar kepada si wartawan itu. Pak Harto sangat sadar kamera dan paham pengaruh media dalam pemolesan citranya sebagai Bapak Pembangunan.

**

Di kalangan selebritis, pencitraan berkaitan dengan job dan fee. Syahrini memoles citra sebagai pesohor glamor. Dia butuh panggung wow dengan segala kemewahannya agar yang memberinya job juga memiliki selera yang sama. Ada rupa, ada harga. Tentu, ini berbeda strateginya dengan grup Qosidah, misalnya.

Karena itu, pencitraan selalu berkaitan dengan marketing. Dulu, Lehman Brothers melakukan strategi pencitraan yang luar biasa disertai dengan taktik menutupi kebobrokan dan kerapuhan sistem di dalamnya. Demikian berhasilnya pencitraan itu, ketika Lehman Brothers tersangkut skandal nyaris semua orang melongo. Tidak percaya. Sebab, bagi para klien, perusahaan jasa sekuritas keuangan dan saham ini adalah wujud raksasa ekonomi yang tentakelnya menggurita di berbagai sektor usaha.

Oke, sudah paham kan mengapa pencitraan itu penting bagi politisi dan pengusaha. Bahkan, ada juga pengusaha pemula yang rela utang bank ratusan juta sekadar untuk pelesir ke luar negeri, foto-foto di sana, sekadar menggombal ke calon relasinya kalau dia sukses, tajir dan bisa ke luar negeri. Padahal itu tidak ada kaitannya dengan kredibilitas dirinya dan produk yang dia pasarkan. Ya, namanya juga usaha pencitraan.

Nggak usah heboh lah. Wong kita saja pake pencitraan di Fesbuk. Dari foto, status, hingga tautan. Semua, disadari atau tidak bagian dari citra diri. Karena itu, nggak heran jika seorang bos perusahaan membuka lowongan bagi tim marketing, yang ditanya pertama kali adalah: "Sudah menikah?''

Jika calon pegawai menjawab belum, dengan nada kocak si bos melanjutkan, "Yaelaaaah, memasarkan diri sendiri aja belum bisa, bagaimana anda akan memasarkan produk kami?"

Glek...

***

Editor: Pepih Nugraha