Fenomena Muslim Cyber Army dan Bentuk Fanatisme Beragama

Rabu, 28 Februari 2018 | 21:48 WIB
0
510
Fenomena Muslim Cyber Army dan Bentuk Fanatisme Beragama

Ada banyak indikasi kelompok penyebar hoax dan berita-berita provokatif di media sosial (medsos), namun yang seringkali dikenal oleh para pegiat medsos adalah kelompok yang menamakan dirinya “Muslim Cyber Army” (MCA). Entah ada kepentingan apa kelompok ini menyematkan kata “muslim” di belakangnya, karena saya meragukan jika memang mereka memahami konsekuensi atas kata “muslim” yang dimaksud.

Saya justru khawatir, mereka sengaja menyematkan kata “muslim” sebagai bagian dari teknik jualan berita hoax yang mereka sebarkan, karena dengan cara ini, masyarakat “muslim” Indonesia akan lebih percaya karena latar belakang keagamaan mereka yang relatif mayoritas muslim.

Istilah “muslim” tentu saja mengacu pada sebuah entitas primordial penganut agama Islam, yang sebenarnya identitas ini hanya diungkit pada masa-masa awal Islam ketika solidaritas sosial-keagamaan ini mulai terbangun. Selanjutnya, identitas “muslim” diubah lebih berwajah sosio-kultural dengan terminologi “mu’min”.

Oleh karena itu, hampir dipastikan seluruh artikulasi Islam yang dipadukan dengan realitas keumatan dan kebangsaan tidak lagi dipahami secara terbatas bahkan primordialistik, tetapi lebih luas menjadi ikatan-ikatan solidaritas berdasarkan keimanan.

Seluruh seruan yang terdapat dalam ayat Al-Quran-pun diganti dengan menyebut “yaa ayyuha alladziina aamanuu” (wahai orang-orang beriman) yang tentu saja menghindari cara pandang yang primordialistik, tetapi iman dalam pandangan “holistik”.

Saya justru semakin bertanya-tanya dengan istilah “muslim” dalam MCA, apakah mereka mewakili sebuah kelompok tertentu yang memang dipersiapkan dalam menciptakan “kekacauan” atau “kegilaan” dalam hal beragama? Karena jika yang dimaksud adalah Muslim keseluruhan itu sangatlah tidak mungkin, karena Muslim tentu saja anti hoax, dan tak pernah ada toleransi dalam penyebaran fitnah, berita bohong, apalagi membangun opini yang provokatif.

Hal ini jelas ditegaskan dalam sebuah ayat Al-Quran, “Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan” (QS. 49: 6).

Hanya mereka yang beriman rasanya yang memahami secara baik, bagaimana sikap tabayyun itu diaplikasikan dalam dunia teknologi yang semakin dipersempit oleh isu-isu hoax yang semakin merusak. Jadi, bisa saja mereka mengaku “muslim” padahal dalam banyak hal belum sampai pada tahap “mu’min”. Ya, kemungkinan besar merekalah yang disebut sebagai orang-orang yang imannya belum sampai kedalam hati mereka, karena mereka baru sekadar “tunduk” (islam), tetapi belum sampai beriman.

“Kami telah beriman”. katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 11:14).

Saya kira aparat keamanan harus lebih detil mengungkap kasus-kasus penyebar berita palsu dan fitnah ini, karena jika tidak, sama saja dengan membiarkan masyarakat ini dijadikan ajang adu domba oleh pihak-pihak tertentu yang memang sengaja ingin mendapatkan keuntungan-keuntungan secara politis. Bukan mustahil, jika salah dalam menelisik kelompok-kelompok penyebar ujaran kebencian, yang ada malah aparat yang dituduh sebagai pihak yang tak adil dan berat sebelah.

Ini sudah menjadi semacam “teori konvensional” di ranah medsos, ketika aparat sukses mengungkap dan menangkap para pelaku ujaran kebencian dan penyebar hoax, maka akibatnya adalah kritikan bertubi-tubi dari netizen karena yang digarap oleh aparat hanyalah kelompok yang terindikasi “muslim” seakan sengaja mendiskreditkan agama tertentu.

Saya kira, banyak sekali kasus yang terindikasi menjadi pemicu bagi nuansa “politik kebencian” yang semakin abadi ditengah masyarakat. Fenomena “orang gila” sebagai penyerang dan pembunuh ulama-pun hingga kini belum ada kejelasannya, karena baru seputar praduga-praduga atau pernyataan yang belum sama sekali menyentuh inti persoalan. Lamanya proses pengungkapan ini, tentu saja menjadi “gerah” sebagian orang dan tentu saja menjadi lahan empuk bagi penyemaian berita-berita palsu yang kemudian disebarkan kepada masyarakat.

Bisa jadi ini bukan ulah sekelompok, tapi ulah pribadi-pribad yang memang memiliki indikasi “kegilaan” dalam agama. Bukankah aparat sering menyebut ada aksi “lone wolf” dalam kasus penyerangan tempat ibadah? Tidak menutup kemungkinan bahwa serangkaian kasus heboh juga memiliki kemiripan dengan aksi-aksi semacam itu yang didorong oleh kegilaan dalam agama.

[irp posts="8438" name="Hoax Sudah Ada dan Terjadi pada Zaman Baheula"]

Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin juga nampaknya mengeluarkan pernyataan yang cukup “keras” perihal kekacauan yang diakibatkan ulah orang gila ini. “Harus diselidiki mana yang gila benar, apa mana yang nggak, sehingga membuat semua orang ikut 'gila' juga itu. Jadi supaya ditelitilah, diberi penjelasan,” ujar Ma'ruf  sebagaimana dikutip laman Detik.com 28 Februari 2018.

Kenyataan banyak pihak yang ikut “gila” dalam merespon isu-isu yang semakin liar ini, memang semestinya secara cepat diantisipasi aparat, tidak terkesan tebang-pilih dalam mengambil mana kasus yang dikira ‘menjual’ dan mana yang tidak. Kenyataan soal fenomena “orang gila” ini sudah sangat mengkhawatirkan, hingga salah satu dosen UIII-pun diciduk aparat karena menyebarkan informasi hoax seputar fenomena orang gila ini.

Kekhawatiran Kiai Ma’ruf bukanlah tanpa dasar, karena ini menyangkut keseriusan aparat yang hingga detik ini masih saja belum mengungkap apa maksud dari “kegilaan” yang melatarbelakangi pelaku kekerasan kepada para pemuka agama. Terlebih, ungkapan Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal Moeldoko yakin otak dibalik pelaku penyerangan terhadap ulama ini segera terungkap.

Bahkan dengan meyakinkan, dirinya sudah memahami betul modus operandi yang mengatasnamakan orang gila penyerang ulama ini yang dikaitkan dengan peristiwa “ninja” atau “dukun santet” yang sempat ramai pada medio tahun 1990-an. Pada akhirnya, isu “ninja” pun pada akhirnya tak pernah mengungkap dengan jelas, siapa aktor intelektual dibalik pembunuhan para kiai dan ulama yang marak di pulau Jawa.

Sulit untuk tidak dikatakan, bahwa seluruh rangkaian aksi kekerasan yang dimulai dari ujaran kebencian, fitnah, kebohongan hingga informasi-informasi yang bernuansa provokatif sangat erat kaitannya dengan dunia politik. Pun, ketika terjadi aksi kekerasan yang pada awalnya menyasar para dukun santet yang berimbas pada kiai dan guru ngaji di Jawa Timur, lekat dengan nuansa politik.

Itulah kenapa, kasus ini seakan “malu-malu” terkuak secara nyata di depan publik, karena jelas ada motif-motif politik yang tak mungkin diungkap secara jelas oleh aparat. Ini bukan murni kejadian kriminal biasa, tapi terkait banyak hal, terutama bagaimana para aktor bergerak di belakangnya.

Inilah yang kemudian diungkap Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid, sebagai realitas “politik kebencian” yang disponsori oleh aktor negara dan non negara.

***

Editor: Pepih Nugraha