Mengungkap Kemungkinan Jokowi vs Kotak Kosong pada Pilpres 2019

Rabu, 28 Februari 2018 | 20:25 WIB
0
391
Mengungkap Kemungkinan Jokowi vs Kotak Kosong pada Pilpres 2019

Hampir semua Lembaga survei telah mengumumkan hasil survei tentang elektabilitas calon Presiden, Jokowi selalu berada di tingkat teratas namun masih di bawah 50 persen, disusul oleh Prabowo di urutan kedua. Hanya hasil survei dari Polltracking yang elektabiltas Jokowi mencapai lebih dari 50 persen.

Jokowi didukung 8 partai di mana PDIP menjadi partai kedelapan yang mengusung Jokowi sebagai capres 2019. Sebelumnya ada Partai Nasdem, Hanura, Golkar, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Pembangunan, Perindo, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Di antara delapan partai pendukung Jokowi, hanya PKPI yang dinyatakan tak lolos Pemilu 2019 oleh KPU.

[irp posts="11257" name="Percayalah, Elektabilitas Prabowo Subianto Akan Semakin Turun"]

Meski sementara Prabowo adalah kans kuat untuk bersaing di pilpres 2019 sampai hari ini pun belum secara resmi mencalonkan atau dicalonkan sebagai calon presiden 2019 termasuk partainya sendiri Gerindra. Padahal berkaca pada pengalaman Susilo Bambang Yudhono saat ingin maju periode kedua jelang Pilpres 2009, elektabilitasnya mencapai 60 persen.

Jokowi justru konsisten di angka 40 persen, padahal setahun sebelum pemilu, menunjukkan kemungkinan masih ada kesempatan bagi calon lain untuk bisa mengalahkan Jokowi. Ingat pilgub DKI di mana seorang Ahok dengan elektabilitas tertinggi hingga menjelang pemilihan dan koalisi gemuknya tidak mampu memenangi pilgub DKI.

Itulah politik seperti permainan bola belum tentu unggulan menjadi pemenang karena selalu ada strategi politik yang dilakukan dari masing- masing tim untuk memenangkan pertandingan. Pilpres 2019 bila hanya diikuti dua calon Jokowi vs Prabowo ini pertandingan "el clasico" yang sangat seru untuk dinikmati.

Menikmati sebuah pertandingan "el clasico" di sebuah pertandingan sepakbola selalu ada fanatisme yang kadang berlebihan, bahkan benturan kekerasan pun kerap terjadi hingga kecurangan terkadang menjadi sebuah tindakan yang lumrah demi memenangkan sebuah pertandingan.

Begitupun jika nantinya pilpres 2019 kembali terjadi hanya dua calon antara Jokowi vs Prabowo menjadi sebuah pesta demokrasi "el clasico" yang banyak dinanti, itulah demokrasi suara terbanyak yang harus kita pahami.

Namun jika sebagian besar partai hanya ingin mencari aman dengan mendukung Jokowi dan Prabowo hanya didukung Partai Gerindra maka Jokowi pada akhirnya akan melawan kotak kosong!

Ini adalah kemunduran dalam proses demokrasi karena ketidakberanian sedikitpun dari partai untuk menjadi oposisi, apakah mendirikan partai hanya bertujuan untuk mencapai jabatan dan kekuasaan? Bukankah demokrasi yang baik harus selalu ada oposisi?

Percuma demokrasi dibangun jika tidak ada penyeimbang/oposisi bagi penguasa karena bila itu terjadi kita akan kembali ke masa orba  di mana partai hanya hiasan belaka untuk memenuhi syarat bahwa Indonesia biar disebut negara demokrasi.

[irp posts="11355" name="Pesan Politik di Balik Kacak Pinggangnya Anies di Depan Jokowi"]

Partai Golkar sendiri yang tidak terbiasa menjadi oposisi hingga hengkang meninggalkan koalisi oposisi, memanglah berat untuk berani menjadi oposisi bagi sebuah partai, tapi apakah partai hanya dibentuk untuk ikut mendompleng kepada kekuasaan supaya dapat jatah jabatan? Atau jangan-jangan partai-partai terpengaruh dengan elektabilitas hasil survei sementara calon presiden, dikira hasil survei itu sangat dipercayainya melebihi percayanya kepada takdir?

Elektabilitas Jokowi yang belum mencapai 60 persen masih banyak kemungkinan terjadi, seharusnya partai politik itu mampu mengatur strategi untuk memenangkan sebuah pesta demokrasi bukan mencari alibi karena tak mampu mengkaderisasi.

Bangun negeri ini dengan demokrasi sesuai tujuan reformasi tanpa takut untuk menjadi oposisi, karena pemerintah dan oposisi sama-sama membangun untuk kemajuan demokrasi.

Mending jadi penjilat karena jelas statusnya...

***

Editor: Pepih Nugraha