Mengintip Gerbang Pulau Reklamasi, Apa Gerangan Yang Terjadi?

Selasa, 27 Februari 2018 | 08:34 WIB
0
606
Mengintip Gerbang Pulau Reklamasi, Apa Gerangan Yang Terjadi?

Gara-gara kereta api dari Jogja saat ini selalu tiba kepagian, maka terdamparlah saya ke Pantai Indah Kapuk. Saya tergoda untuk melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana rupa tempat yang dianggap oleh para haters Ahok (dan Jokowi) sebagai pintu gerbang wilayah para aseng dari Cina daratan untuk menguasai Indonesia. Istilah yang meminjam lagu Nella Kharisma jelas hanya "waton serem".

Waton serem (asal seram) ini saat ini sudah menjadi kredo dari para haters untuk mendramatisasi segala sesuatu, seolah-olah besok pagi kita bangun tidur, lalu menemukan diri kita sudah jadi negara jajahan Tiongkok. Artinya aseng dan asing itu satu, musuhnya yang banyak. Ndilalah, saat ini Bus Ttransjakarta sudah menjangkau PIK, walau terus terang saya agak geli di mana gitu loh bedanya busway dengan bus biasa. Gak ada shelter-shelter khusus, penumpang boleh naik dan turun di manapun, apalagi jalur khusus untuk busway.

Mungkin ini yang disebut bus feeder, atau pengumpan untuk meluaskan jangkauan hingga ke titik-titik di batas terluar provinsi. Sejak memasuki Pluit dan sepanjang perjalanan hingga ke Pantai Indah Kapuk, sulit dipungkiri bahwa inilah kawasan terbesar pemukiman etnis Tionghoa. Apa yang bagi mereka disebut kawasan kepala naga, konon perutnya ada di Glodok, sedangkan ekornya di Kelapa gading. Sekali lagi semoga ini hanya istilah yang "waton serem".

Hingga memasuki kawasan Pantai Indah Kapuk, kita menemukan gedung perkantoran dan (mungkin) ibadah yang sungguh bikin hati bergidik. Sebuah gedung Buddha Tzu-Chi, yang menurut nalar saya bangunan kantor sekte agama termegah yang pernah saya lihat. Gedung yang dominan dengan cat warna kelabu ini menunjukkan persaudaraan sekte ini sangat kokoh dan menjadi bisa landmark dari kawasan ini.

Lalu tibalah saya di ujung perjalana busway ini, tepat di mulut jembatan menuju kawasan Pulau Reklamasi yang dijaga sangat ketat oleh para Satpam lokal, yang galaknya melebihi demonstrans pendukung FPI yang telat dikirimi nasi bungkus. Entah dibayar berapa, mereka selalu menatap curiga dan sama sekali tidak bersahabat, kepada setiap orang yang bahkan hanya sekedar berdiri dan menatap dari jauh ruko-ruko yang sudah dibangun di pulau pertama.

Hal-hal seperti inilah yang ladang mebuat fitnah dan kebencian itu sedemikian mudah menjalar di kalangan para pembenci Jokowi. Bahwa di sinilah jutaan orang China daratan akan ditempatkan dan dilindungi keberadaannya. Mereka ini dianggap sebagai ancaman serius kedaulatan nasional. Tak kurang dari Amien Rais mengatakan ini di banyak kesempatan sembari menunjuk hidung Jokowi sebagai aktor penjual kedaulatan negara. Saya hanya bilang sekali lagi "waton serem!".

[irp posts="4588" name="Jokowi dan JK Harus Hadiri Reuni Akbar 212, Tolak Proyek Reklamasi!"]

Dan tuduhan itu, akan semakin kuat bila melihat di ujung pantai mepet dengan jembatan itu terdapat sebuah gedung megah berkaca hijau, yang menurut desas desus di sinilah penampungan sementara para migran gelap dari Tiongkok. Dan tuduhan ini akan makin kuat, tatkala kita memasuki satu-satunya pasar yang ada di kawasan ini. Pasar yang disebut "Fresh Market".

Jujur mula-mula saya juga tesinggung dan terganggu nasionalisme saya. Emang loe orang mana, nama-namain pasar aja pakai bahasa asing. Kenapa juga tidak disebut Pasar Segar atau Kedai Bugar atau apalah yang "membumi". Dan kita akan semakin marah, bila melihat di salah satu warung-warung yang ada di sana yang pada nggaya pakai tulisan-tulisan Cina.

Sebenarnya sih hanya sebuah warung Bakmi Khek Aceh, namun semua menu dan harganya ditulis dalam bahasa Mandarin. Weh ini kok merdeka amat mereka? Di mana rasa hormat mereka pada negeri ini?

Dulu seorang petualang sekaligus penulis karya roman Belanda yang terkenal, Louis Couperus pada tahun 1890-an menuliskan kritiknya, bahwa baik orang Belanda maupun Tionghoa yang datang belakangan cenderung tidak suka beradaptasi dengan budaya lokal. Mereka tak mau lagi memakai kain kebaya dan sarung batik, rumahnya tak lagi bergaya Hindia yang beradaptasi dengan ikim tropis, mereka cenderung memaksakan gaya hidup yang dianggap lebih "global atau multinasional", yang sering justru dianggap memandang remeh budaya lokal.

Dan ini inilah horor ke sekian kalinya yang waton serem!

Perjalanan saya berakhir di salah satu warung Soto Mie Bogor yang ada di Fresh Market. Kok ada? Nyatanya ada dan laris. Penjualnyapun orang Sunda asli Bogor dengan gaya-gaya bahasa Betawi Ora (maksudnya Betawi tidak, Sunda pun bukan). Seporsi soto mie Bogor plus nasi putih yang enak, ternyata meredakan "kemarahan" saya.

Ternyata hukum alam itu tak terbantahkan "orang lapar mudah marah". Dan saya pikir, demikianlah pula mereka yang suka teriak "aseng-asing", mungkin mereka lagi lapar.

Nyatanya setelah itu, walau ke mana-mana jalan-jalan saya di seputar lingkungan itu terus dibuntuti para satpam, saya asyik saja menonton enci-enci tua pada nari entah apa, sambil bawa lampion. Biasa-biasa saja, malah makin enjoi dan cuek bebek.

Mungkin kredo dan postulatnya harus diganti, agar tidak melihat segala sesuatu jadi "waton serem" dan gampang menuding.

Dan bagi saya di hari itu "Soto Mie Bogor adalah Kunci!".

***

Editor: Pepih Nugraha