Tulisan ini hanya memotret kebiasaan di tengah masyarakat kita yang kerap mengucapan kata atau kalimat yang islami, kalimat yang mulia, suci, religi, yang diucapkan karena kebiasaan sehari-hari. Jadi jauh lah bermaksud mengajari atau semacamnya. Saya bukan ustadz, tidak pula bergelar kyai. Cuma membagi pengalaman pribadi. Itu saja.
I.
Beberapa hari lalu saya menonton tayangan 86 di NET TV. Preman kota Bandung ditangkap oleh tim Prabu. Pada saat diinterogasi, berkali-kali preman yang badannya dipenuhi tato itu menyangkal sambil berkali-kali bersumpah, "Demi Allah, demi Rasulullah saya tidak tahu". Lafaz Allah dan Rasulullah diucapkan dengan cukup fasih. Setelah temannya tertangkap, barulah dia mengaku.
Bagi yang emosian barangkali menganggap acara 86 sengaja menampilkan preman “mantan santri,” atau dianggap rekayasa. Tapi nggak kok. Tidak nampak ada rekayasa. Lagi pula di luar televisi ucapan sumpah seperti itu sudah lumrah . Preman jalanan itu barangkali memang sudah terbiasa berbohong mengatasnamakan Allah dan Rasul. Padahal sumpah dalam Islam hanya demi Allah saja tanpa membawa-bawa Rasul.
Nggak usah jauh-jauhlah. Saya kasih contoh perilaku buruk saya Jaman old . Saya juga pernah bersumpah seperti itu. Karena kepepet, saya nekad berbohong dengan bersumpah, "Demi Allah". Saya tahu ucapan itu tidak punya konsekwensi apa-apa karena saya ucapkan tidak dengan sungguh-sungguh, dalam hati malah saya mohon ampun kepada Allah. Harap jangan ditiru perilaku buruk ini.
[irp posts="11181" name="Mengapa Haedar Larang Pekik Allahu Akbar" di Internal Muhammadiyah?"]
Tapi kalau disuruh bersumpah dengan cara Islam, menggunakan huruf “qasam” saya nggak bakal berani. Sebagaimana kita tahu, huruf qasam (sumpah) ada tiga: “Wau,” “Ba,” “Ta.” Bunyi sumpahnya, “Wallahi, Billahi, Tallahi. “ Melafalkannya tidak bisa diganti dengan terjemahan ke dalam bahasa lain, misalnya "Demi Allah".
Namanya saja huruf qasam (huruf sumpah) yang punya kekhususan. Ketiga huruf itu punya terjemahan yang sama, tapi pengucapannya berbeda. Terjemahan hanya untuk pemahaman saja. Belum lagi syarat bersumpah dan konsekwensinya jika melanggar sumpah yang cukup rumit untuk ditulis dalam tulisan sederhana ini.
II.
Kalimat mulia yang populer diucapkan di tengah masyarakat yang sudah menjadi kebiasaan umum di antaranya:
Ucapan salam, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ucapan berjanji, Inysa Allah
Tasbih, Subhanallah.
Tahmid, Alhamdulillah.
Tahlil, La ilaha Illallah.
Takbir, Allahu Akbar.
Istighfar, Astaghfirullahalazim.
Saat terkejut, Masya Allah.
Saat berduka, Innalilahi wainna ilaihi roji’un.
dan lain sebagainya.
Kalimat-kalimat itu bukan hanya diucapkan oleh muslim, tapi ada juga non muslim yang mengucapkan. Misalnya, Salam, Tahmid, dan Insya Allah. Anehnya, banyak muslim yang apabila berjanji tidak mendahului dengan “Insya Allah,” tapi malah non muslim ada yang mengucapkan itu. Padahal berjanji dengan mengucapkan “Inysa Allah” itu wajib, perintah itu terdapat dalam Alqur’an.
Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah.” ( QS Alkahfi, ayat 23-24 )
Karena faktor kebiasaan pula terkadang kalimat itu diucapkan sambil lalu saja, tidak dari dalam hati, atau kurang tepat penempatannya. Bahkan ada yang berubah pelafalannya, Misalnya,” Astaghfirullahalazim” menjadi “Astagafirullah,” bahkan berubah menjadi “ Astajim. “
III.
Setiap 10 November kita memperingati Hari Pahlawan. Bicara Hari Pahlawan, tidak bisa dilepaskan dari sosok Bung Tomo. Bicara Bung Tomo, tidak bisa dilepaskan dari pidato heroiknya yang dimulai dengan basmallah, diakhiri dengan takbir, dan ditutup dengan kata merdeka.
[caption id="attachment_11351" align="alignleft" width="540"] Bung Tomo (Foto: Facebook.com)[/caption]
Entah kenapa jaman now setiap memperingati Hari Pahlawan hanya berhenti pada sosok Bung Tomo tanpa menyertai pidato heroiknya. Apakah karena ada kalimat basmalah dan takbirnya, atau sebab apa? Entahlah. Tapi yang pasti, kata para sejarawan, kalimat takbir itu mampu membakar semangat arek-arek Suroboyo melawan tentara Inggris. Kalimat takbir yang diucapkan dengan suara lantang dan kepalan tangan.
Entahlah, apakah terinspirasi oleh pidato heroik Bung Tomo atau perjuangan Rasul dan para sahabat dan kaum muslimin di medan perang, demonstrasi yang memperjuangkan agama yang dihina juga diramaikan oleh kalimat takbir. Bahkan Presiden yang hadir saat aksi dua satu dua juga ikut mengepalkan tangan sambil meneriakkan, Allahu Akbar! Walaupun banyak yang lebih tertarik payung Presiden ketimbang takbirnya, itu soal lain.
Setelah itu, takbir berlanjut memenuhi media sosial. Upaya perlawanan takbir di medsos pun dikumandangkan dengan pelesatan “Take beer.”
Beberapa hari belakangan ini ada upaya sebuah ormas Islam yang ingin mengembalikan takbir pada tempat yang "semestinya". Takbir tidak boleh diucapkan untuk tujuan politis, tidak boleh diucapkan sambil mengepalkan tangan dan semangat 45. Harus diucapkan dengan khidmat pada tempat-tempat tertentu.
Tentu saja imbauan itu tidak mengikat bagi muslim di luar ormas itu. Bagi saya sih, sepanjang takbir tidak diucapkan untuk tujuan menghina atau tindak kejahatan seperti yang dilakukan oleh para teroris, ya oke sajalah. Kalau soal kepalan tangan, takbirnya Bung Tomo sampai saat ini juga tidak ada yang mempermasalahkan.
Bagi Ormas Islam yang ingin mengembalikan takbir ke tempat dan cara tertentu juga bagus. Upaya “sakralisasi” takbir yang sudah kadung “surplus.” Konsekwensinya, semakin “sakral” takbir, semakin kurang ajar yang mempelesetkannya menjadi “take beer.”
Layak kita tunggu , apa upaya Ormas Islam itu terhadap para “penghina” takbir?
26022018
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews