Muslihat Hakim Sarmin (10) : Muslihat Obat

Senin, 26 Februari 2018 | 19:33 WIB
0
519
Muslihat Hakim Sarmin (10) : Muslihat Obat

Cerita bersambung ini diadaptasi dari naskah pertunjukan Agus Noor berjudul Hakim Sarmin

Sekertaris Pak Walikota sedang menyelesaikan laporan di mejanya yang terletak di depan pintu ruangan Pak Walikota ketika Pak Walikota membuka pintu ruangannya dengan muka membiru dan nafas terengah-engah. Dengan sigap sekertaris walikota berlari menghampiri Pak Walikota. Sekertaris membungkuk dan menopang tubuh Pak Walikota yang terus menunduk.

“Anda baik-baik saja, Pak Walikota?” tanya sekertaris.

Saat itu, Pak Panjaitan datang dan langsung menghampiri mereka berdua.

“Anda tidak apa-apa, Pak?” tanya Pak Panjaitan khawatir.

“Sepertinya asmaku kambuh...” jawab Pak Walikota dengan nafas putus-putus.

Pak Panjaitan kemudian membantu sekertaris untuk mendudukkan Pak Walikota di sofa. Sekertaris menyeka keringat Pak Walikota yang membasahi dahi dan wajahnya.

“Anda sudah minum obat, Pak Walikota?” tanya sekertaris.

Pak Walikota menggeleng lemah. Sekertaris menghembuskan nafas. Ia hendak beranjak mengambil obat milik pak walikota sebelum Pak Panjaitan memegang tangannya.

“Biar aku saja,” kata Pak Panjaitan beranjak ke meja Pak Walikota.

Sekertaris walikota masih mengipasi Pak Walikota ketika Pak Panjaitan datang membawa obat dan segelas air putih. Pak Walikota menerima obat dan air putih yang ditawarkan. Tepat saat itulah muncul Komandan Kuncoro masuk.

“Jangan minum obat itu!” teriak Komandan Kuncoro. “Jangan minum air yang dia berikan dan jangan memasukkan apa pun yang Pak Panjaitan berikan pada mulut Anda, Pak Walikota!”

Pak Panjaitan, Pak Walikota, dan sekertarisnya terlonjak mendengar perintah yang keras dan tegas itu. Pak Walikota makin tampak terengah dan mukanya membiru. Nampaknya, asma dan kekagetannya menyumbat jalan nafasnya. Sekertaris kemudian mengambil obat asma yang berupa inhaler untuk kondisi darurat dan menyerahkannya pada Pak Walikota.

“Apa maksudnya ini, Komandan Kuncoro?” tanya Pak Walikota ketika penyakitnya sudah teratasi.

“Dokter Putra memberikan obat pada Pak Panjaitan untuk membunuh Anda, Pak Walikota,” kata Komandan Kuncoro. “Percayalah padaku.”

“Percaya padamu?” ledek Pak Walikota. “Dirimu yang mengenakan kalung janur kuning yang simbol entah apa itu?”

“Aku... Aku... Aku akan menjelaskannya nanti, Pak Walikota...” kata Komandan Kuncoro tergagap-gagap. “Kita urus obat yang akan mencelakakan Pak Walikota ini dulu.”

Komandan Kuncoro menatap tajam Pak Panjaitan. Pak Panjaitan merasa salah tingkah di tatap sedemikian rupa oleh Komandan Kuncoro. Walaupun dia adalah pengacara yang sering bersilat lidah di pengadilan, Pak Panjaitan betul-betul tak kuasa mengelak dari tatapan mata Komandan Kuncoro.

“Katakan lah sambil angkat kepala Anda, Pak Panjaitan,” tantang Komandan Kuncoro. “Obat yang Anda berikan tadi adalah dari dr. Putra untuk mencelakai Pak Walikota.”

“Anda memfitnah saya, Komandan,” kata Pak Panjaitan mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk. Namun dia masih belum bisa menatap mata Komandan Kuncoro.

Komandan Kuncoro kemudian mengambil obat yang tadi diberikan Pak Panjaitan pada Pak Walikota di atas meja. Ia lalu menyodorkan obat itu pada Pak Panjaitan.

“Kalau memang obat ini tidak untuk mencelakai Pak Walikota, silakan diminum,” Kata Komandan Kuncoro tanpa melepaskan tatapan matanya dari Pak Panjaitan.

“Saya tak perlu obat, Komandan,” kata Pak Panjaitan. “Nafas saya masih bagus... Apakah Anda tidak khawatir kalau ternyata obat Pak Walikota bisa membuat saya sakit? Bukan karena ada racunnya tapi karena memang pernafasan saya bagus dan saya tidak butuh obat.”

“Saya rasa, kalau memang obat itu milik Pak Walikota, tak akan berpengaruh banyak pada Anda untuk sekali minum, Pak Panjaitan,” kata sekertaris walikota nimbrung. “Seharusnya itu hanya kortikosteroid... Tidak akan membunuh Anda dalam sekali minum.”

“Percayalah...” kata Pak Panjaitan merasa terpojok. “Tak ada racun dalam obat itu. Ingatlah, racun yang paling berbahaya adalah hati manusia yang penuh kebencian. Jelas kalian tidak menyukaiku karena aku adalah orang kepercayaan Pak Walikota.”

Sekertaris walikota melipat tangannya di depan dada. Sudah lama dia memang tidak mempercayai Pak Panjaitan. Menurutnya, Pak Panjaitan adalah orang yang terlalu banyak berbicara bahkan sering tidak masuk akal ucapannya. Berkali-kali sekertaris walikota meminta Pak Walikota untuk mengganti kuasa hukumnya namun tidak pernah ditanggapi.

Komandan Kuncoro kehabisan kesabaran mendengar perkataan Pak Panjaitan. Dia kemudian mengeluarkan pistol dan menodongkannya pada Pak Panjaitan.

“Minumlah obat itu,” katanya tegas.

Pak Panjaitan kini benar-benar ketakutan. Tak terasa keringat dingin keluar dari dahinya. Dia masih berusaha mencari cara untuk keluar dengan selamat.

“Apakah Anda perlu mengancam seperti itu Komandan?” tanya Pak Panjaitan berusaha untuk mengelak.

“Sebaiknya Anda meminum obat itu sebelum hitungan ketiga,” kata Komandan Kuncoro tidak terpengaruh dengan kata-kata Pak Panjaitan. “Satu... Dua...”

Dan tepat ketika hendak hitungan ketiga, muncullah dr. Putra di ruangan itu.

(Bersambung)

***

Cerita sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/02/25/muslihat-hakim-sarmin-9-agen-007/