Profesor adalah jabatan tertinggi dalam dunia akedemik. Untuk menjadi profesor tidaklah mudah, mereka harus mengikuti tahapan yang berjenjang, dari seorang dosen, menjadi dekan fakultas dan sederet turan atau ketentuan-ketentuan yang harus ditempuh. Dan itu butuh proses yang bertahun-tahun serta menjadi kebanggaan bagi mereka yang memperoleh gelar profesor atau guru besar.
Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan,Teknologi dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron menyatakan, ”Profesor yang diterima seseorang adalah jabatan tertinggi akademik, namun profesor juga masih terus menerus meriset dan membuat jurnal publikasi."
Jadi, menjadi seorang profesor harus menulis di jurnal internasioanal dan mempublikasikannya, bahkan ada ketentuan di tiga jurnal internasional. Ini ketentuan yang harus dipenuhi bagi yang menyandang gelar guru besar atau profesor.
Bahkan dalam redaksional Sabtu pagi di Metro TV juga di ulas soal peran profesor dalam dunia pendidikan karena berdasarkan data dari 5.000 lebih profesor di Indonesia hanya setengahnya yang melakukan riset atau menulis di jurnal Internasional atau publikasi.
Berarti masih banyak profesor atau dosen-dosen yang belum melakukan menulis di jurnal internasional yang menjadi syarat tetap menjadi profesor.
Seperti kata Ali Ghufron, ”Apa bedanya dosen diluar negeri dengan dosen di dalam negeri, yaitu Indonesia? Jawabannya rata-rata sama, karena dosen di sini banyak yang mengajar tetapi kurang meriset atau meneliti dan menulis di jurnal internasioanal,” katanya.
Untuk itu setiap kampus atau Universitas tentu harus menghasilkan profesor-profesor yang berkualitas dan mumpuni untuk menjawab tantangan di era globalisasi. Profesor-profesor kita harus siap bersaing dengan profesor-profesor luar negeri yang semakin rajin menghasilkan karya dalam dunia pendidikan, kedokteran, teknologi atau lingkungan. Mereka juga rajin melakukan penelitian atau riset di negara kita.
Apalagi tunjangan seoang profesor adalah tiga kali gaji pokok, artinya pemerintah mengeluarkan uang untuk menggaji profesor yang tidak sedikit. Sedangkan profesor-profesor tadi jarang atau tidak pernah lagi melakukan riset, penelitian dan menulis di jurnal internasioanal.
Memang syaratnya berat yaitu harus menulis di jurnal internasional dengan standar dan ketentuan yang sudah ditetapkan. Dan ini juga menjadi tantangan para profesor atau dosen untuk tetap berkarya sekalipun sudah tidak mudah lagi yang kadang tidak produktif lagi.
Tentu profesor-profesor kita juga ingin bertaraf internasional bukan bertaraf lokal saja, dan akan bersaing dengan ribuan profesor dari luar negeri.
Sedangkan ketika pemerintah lewat Kemendikti yang akan membolehkan Universitas Internasional membuka cabang di Indonesia, mereka para guru besar atau kalangan akademik menolaknya, tetapi giliran disuruh menulis di jurnal internasional mereka pada beralasan yang macam-macam. Dunia pendidikan kita tidak bisa berleha-leha lagi kalau tidak mau kalah atau ketinggalan dengan negara tetangga.
Jangan sampai profesor kita sibuk bikin status di dunia medsos yang kadang-kadang suka menulis atau sarapan berita hoaks, kita ketahui bersama banyak profesor kita yang suka berkomentar-komentar atau menulis sesuatu yang mencerahkan atau meluruskan sesuatu yang tidak benar, tetapi ada juga yang malah kadang bikin pernyataan kontroversi.
Pemerintah lewat Menristek-Dikti akan menertibkan profesor-profesor yang tidak menulis publikasi di jurnal internasional, jadi mewajibkan profesor-profesor untuk menulis di jurnal internasioanal dan ada sanksi bagi yang tidak menulis di jurnal publikasi yaitu akan memotong tunjangan gajinya. Bukan menulis di dunia medsos yang cukup bikin status pendek. Atau mematenkan hasil karya temuannya dari riset atau penelitian.
Inilah tantangan dunia pendidikan kita; kalau mau bersaing dengan luar negeri, harus banyak melakukan riset dan penelitian,dan memerlukan biaya yang tidak sedikit untuk itu pemerintah juga harus menambah anggaran riset kita, jangan pelit atau tanggung kalau negara kita ingin maju dan mengejar ketertinggalan.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews