Janji Adalah Utang, Utang Itu Wajib Dibayar

Sabtu, 24 Februari 2018 | 10:01 WIB
0
4281
Janji Adalah Utang, Utang Itu Wajib Dibayar

Sejak kecil saya menghafal hadits-hadits pendek. Salah satunya, Alwa’du dainun, janji adalah utang. Guru saya tidak menjelaskan soal sanad dan matan-nya, karena memang belum saatnya. Dijelaskan pun pasti saya tidak paham. Satu hal yang pasti, premis itu melekat di kepala saya. Saya takut berjanji kalau saya yakin tidak bisa saya penuhi.

Bahwa belakangan ada yang bilang itu hadits dhoif (lemah) itu soal lain. Hadits dhoif kan bukan hadits munkar, lagian soal janji tidak masuk golongan fadhoilul amal. Masih aman lah, jadi saya biarkan premis itu melekat di kepala saya.

Belakangan, ditambah lagi dengan pengetahuan ayat 34 surah Al Isra “dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”

Dan sebuah hadits : “Tanda-tanda orang munafik ada tiga; kalau berbicara dia berdusta, kalau berjanji dia ingkar, dan kalau diberi amanah (kepercayaan) dia berkhianat.”

Membuat saya semakin takut berjanji yang sekira saya tidak bisa saya penuhi.

Bahwa janji itu utang, berarti semakin banyak berjanji semakin banyak berutang. Kalau utang harta bisa saya cari atau berutang baru buat menutup utang lama. Tapi kalau janji yang kemudian saya tidak bisa penuhi karena memang saya tidak tahu solusinya, bagaimana cara membayarnya?

Saya membayangkan begini. Saya ikutan nyabup, nyagub, atau nyapres. Saya mengumbar seribu janji. Itu istilah. Seribu janji artinya banyak janji, walaupun tidak sampai seribu, katakanlah cuma seratus, tetap saja namanya seribu janji.

Membuat janji, seratus saja sudah kebanyakan. Kalau dulu ada istilah lagu kacangan karena saking seringnya mengeluarkan album baru, seratus janji bisa juga disebut janji kacangan. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana cara saya melunasinya?

Jangankan buat memenuhi janji, buat menulis seratus janji saja pusingnya tidak kepalang. Kalau pun misalnya seratus janji itu saya pahami cara melunasinya, belum tentu saya mudah mengingat daftar janjinya saat saya berkuasa nanti.

Kalau misalnya saya mau maju lagi pada periode berikutnya, saya harus mengingat lagi janji-janji yang belum saya lunasi. Wah, mending pura-pura lupa sajalah. Daftar janjinya entah sudah terselip dimana. Emangnya kerjaan saya cuma mengingat janji saja. Atau, bisa ngeles dengan cara klasik, kalau ada janji yang belum saya lunasi berikan saya kesempatan satu priode lagi.

[irp posts="3019" name="Jokowi, Tambahan Utang, dan Revolusi Mental yang Terabaikan"]

Saya kebayang begini. Kalau misalnya saya berutang padamu sampai sepuluh kali kemudian cuma saya bayar lima kali, lalu saya mau berutang lagi, apakah kamu mau memberi saya utang lagi? Lalu datang orang lain mau berutang, dalam catatanmu dia belum pernah berutang padamu. Siapa yang akan kau beri? Saya atau dia?

Kalau misalnya saya meyakinkanmu, utang baru ini akan saya gunakan untuk usaha baru buat melunasi utang lama. Siapa yang akan kuberi? Saya atau dia?

Saya tambah ngeri membayangkannya. Beruntung saya tidak pernah nyabup, nyagub atau nyapres. Ganteng-ganteng begini nggak ada bakat buat jadi bupati, gubernur, atau presiden. Ditambah lagi saya lebih takut utang janji ketimbang berutang pada luar negeri.

24022018

***

Editor: Pepih Nugraha