Muslihat Hakim Sarmin (5): Kecemasan Walikota

Rabu, 21 Februari 2018 | 06:15 WIB
0
469
Muslihat Hakim Sarmin (5): Kecemasan Walikota

Cerita bersambung ini diadaptasi dari naskah pertunjukan Agus Noor berjudul Hakim Sarmin

“Saya tidak bermaksud membuat Anda cemas, Pak Walikota,” kata sekertaris walikota.

Saat itu, Walikota dan sekertarisnya tengah berbincang tentang Pusat Rehabilitasi dr. Putra yang meminta dana tambahan. Sekertaris walikota yang cantik itu berusaha mempermainkan perasaan Pak Walikota yang terlihat tua dan lelah.

“Anda dengar sendiri kemarin dia bisa meminta jatahnya secara terang-terangan seperti itu,” tambah sekertaris walikota mencibir dr. Putra. “Desas desus itu ada. Masalah, kalau dibiarkan saja bisa membesar dan nantinya akan sulit untuk diatasi.”

“Intinya, kamu yakin kalau dr. Putra memanfaatkan semua ini untuk kepentingannya sendiri?” tanya Pak Walikota mulai terpengaruh dengan sekertarisnya.

“Itu yang saya dengar,” kata sekertarisnya. “Proyek rehabilitasi itu hanyalah kamuflase dari rencana besar dr. Putra. Pusat Rehabilitasi khusus untu hakim itu adalah semacam kamp konsentrasi untuk menguasai para hakim agar dr. Putra bisa mengatur semua keputusan hukum. Siapa yang menguasai hukum, dia yang akan menentukan kebenaran. Dan siapa yang menentukan kebenaran, adalah orang yang paling berkuasa.”

“Bukankah aku yang berkuasa?” tanya Pak Walikota dengan heran. “Aku kan pimpinan tertinggi di kota ini."

“Kekuasaan bukan sekedar masalah kedudukan dan jabatan, Pak,” kata sekertaris. “Tapi siapa yang punya kemampuan menentukan keadaan. Makanya kan ada istilah ‘presiden boneka’. Presiden boneka boleh memiliki kedudukan dan jabatan. Namun dia tidak punya wewenang menentukan keadaan. Siapa yang menentukan keadaan? Ya, dalangnya. Dalam kondisi kita sekarang, siapa yang bisa menentukan benar atau salahnya seseorang di hadapan undang-undang? Hakim Kan? Dan siapa  yang menguasai hakim? Rencananya ya dokter Putra itu..."

“Kamu tau itu semua darimana?” tanya Pak Walikota.

Sang Sekertaris baru akan membuka mulutnya ketika ada seseorang mengetuk pintu. Ia lalu membuka pintu ruang kerja Pak Walikota di muka pintu, berdiri Komandan Kuncoro, Seorang komandan keamanan kota, dan Pak Panjaitan, pengacara pribadi walikota. Mereka berdua kemudian dipersilakan masuk dan duduk di sofa yang tersedia.

“Selamat siang, Pak Walikota,” sapa Komandan Kuncoro dan Pak Panjaitan bersamaan.

Walikota mengangguk.

Mereka kemudian berbincang-bincang ringan sebagai pembuka sampai pada akhirnya, Pak Panjaitan menyinggung masalah hakim dan Pusat Rehabilitasi.

“Dalam konteks ini, saya hanya bisa berbicara dari aspek hukum,” kata Pak Panjaitan. “Berdasarkan Undang-undang tentang hakim, ditegaskan bahwa kekuasaan hakim adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Bagaimana jika hakim ini ternyata tidak merdeka? Mereka tertekan dan ketakutan. Lebih berbahaya lagi bila ketakutan itu sengaja diciptakan. Kemerdekaan hakim adalah hal yang penting, Pak Walikota.”

Pak Walikota dan sekertarisnya kemudian jadi teringat pada Hakim Ngatiman yang mereka lihat di ruang dr. Putra tempo hari.

“Apakah hakim-hakim kita tidak merdeka, Pak Panjaitan?” tanya Walikota.

“Saya tidak bilang begitu,” kata Pak Panjaitan mencoba bersikap diplomatis. “Namun sepertinya, hakim-hakim ini seperti ada yang mengendalikan.”

“Apakah yang Anda maksud adalah dr. Putra?” tanya sekertaris to the point.

“Saya tidak mau bicara nama,” kata Pak Panjaitan masih bersikap diplomatis. “Saya hanya berbicara fakta. Sejak Pusat Rehabilitasi itu membuka unit khusus hakim, hampir semua hakim masuk kesana. Kita hanya punya beberapa hakim yang tidak direhabilitasi dan tidak dalam daftar tunggu masuk rehabilitasi.”

“Nah, itulah yang membawa saya kesini juga,” potong Komandan Kuncoro. “Saya ingin melapor bahwa hakim yang tidak direhabilitasi dan masuk daftar tunggu masuk rehabilitasi ada 4 orang. Namun mereka menghilang dalam 3 hari ini. Pagi ini saya mendapat laporan bahwa Hakim Bagus, salah satu dari 4 hakim itu, ditemukan tak bernyawa di depan rumahnya.”

Tiba-tiba suasana menjadi mencekam. Sekertaris walikota merasakan bulu kuduknya berdiri. Pak Walikota terhuyung dan menahan dadanya yang sesak. Segera sekertaris mengeluarkan botol obat asma milik Pak Walikota yang berbentuk tabung huruf L. Pak Walikota langsung menghisapnya.

“Saya sudah membentuk tim khusus, saat ini,” kata Komandan Kuncoro. “Sebagian dari mereka sedang mencari jejak 3 hakim yang masih dinyatakan hilang dan sebuah tim kecil sedang melakukan otopsi pada jenazah Hakim Bagus.”

“Sepertinya kita berurusan dengan seorang psikopat,” gumam sekertaris.

“Nampaknya lebih dari itu,” kata Pak Panjaitan. “Ini sepertinya kita menghadapi bahaya makar.”

“Apakah dugaan makar tidak berlebihan, Pak Panjaitan?” tanya Pak Walikota.

“Saat ini kita tidak lagi punya hakim yang netral. Semuanya mau masuk rehabilitasi,” kata Pak Panjaitan memaparkan argumentasinya. “Bayangkan bila orang-orang tahu akan keadaan ini. Aparatur hukum tidak berfungsi karena vakumnya pengadilan akibat tidak adanya hakim. Apa yang kira-kira akan terjadi?”

Semuanya terdiam. Mereka membayangkan kekacauan yang akan terjadi karena hukum yang tidak dijalankan. Para pencuri tidak akan takut dihukum lagi. Kekerasan akan terjadi dimana-mana. Yang sedang berperkara tidak akan jelas statusnya. Korupsi akan merajalela. Kesalahan apapun tidak akan dipenjara.

“Sebagai penasehat hukum Anda, Pak Walikota, saya hanya bisa mengingatkan,” kata Pak Panjaitan memberi peringatan. “Pemerintah yang tidak bisa menjalankan hukum, adalah pemerintah yang di ambang kejatuhan.”

Pak Walikota semakin terdiam. Sekertaris melihat Pak Walikota dengan prihatin sedangkan Komandan Kuncoro juga tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka terdiam selama beberapa lama sampai akhirnya Pak Walikota sendiri yang memecah kesunyian.

“Komandan Kuncoro,” panggil Pak Walikota.

“Siap, Pak,” sambut Komandan Kuncoro.

“Sebagai komandan Keamanan, Anda harus segera bertindak,” titah Pak Walikota. “Lakukan apa yang perlu dilakukan. Saya harap semua ini bisa cepat diatasi dengan seksama dan cepat.”

(Bersambung)

***

Cerita sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/02/19/muslihat-hakim-sarmin-4-mufakat-gelap/