Apakah Politik "Penzoliman" Akan Melambungkan Nama Anies?

Rabu, 21 Februari 2018 | 16:16 WIB
0
471
Apakah Politik "Penzoliman" Akan Melambungkan Nama Anies?

Di negeri "bukan dongeng" pernah ada sebuah kisah. Seorang pembantu istana yang kemudian menjadi Raja karena "dizolimi" oleh Sang Ratu.

Pembantu tersebut "dizolimi" karena dianggap telah melakukan manuver politik dalam tugasnya, yaitu mempengaruhi rakyat untuk memilihnya menjadi Raja dengan cara-cara kasat mata.

Pembantu itu diduga kuat akan mencalonkan diri sebagai Raja pada periode berikutnya untuk menggantikan Sang Ratu. Sang Ratu mungkin merasa "tersinggung". Merasa di "khianati" oleh pembantunya sendiri. Dalam adat kerajaan hal itu merupakan sesuatu yang tidak etis.

Sementara Sang Ratu masih ingin menduduki kursi utama istana lebih lama. Kursi tersebut "belum lama" didapatkannya dari Raja sebelumnya yang sering dianggap "nyeleneh" sehingga dilengserkan oleh majelis kerajaan. Kira-kira 3 tahun sebelum kemudian Sang Ratu menjadi orang nomor satu di istana. Jadi sangat wajar jika sang ratu masih ingin berkuasa pada periode berikutnya.

Sang ratupun "geram" dan secara perlahan mulai "mengucilkan" pembantu tersebut dengan tidak melibatkannya dalam pekerjaan-perkerjaan yang merupakan tugas pokok dan tanggung jawab sang pembantu.

[irp posts="10827" name="Ara Salah Baca"]

Pembantu tersebut kemudian berkirim surat kepada Sang Ratu meminta klarifikasi perihal tugas-tugasnya di istana. Tetapi karena tidak kunjung mendapat balasan, pembantu tersebut pun akhirnya mengirimkan surat pengunduran diri dan kemudian mengundurkan diri dengan judul lagu melankolis "Aku yang terzolimi"

Album tersebut pun mendapatkan sambutan yang meriah di pasaran. Laris-manis di blantika musik rakyat, bahkan "meledak", mencetak piringan emas dan platinum yang sangat banyak.

Terbukti album tersebut kemudian berhasil mengubah status pembantu menjadi Raja. Bahkan untuk 2 periode kemudian.

Kisah Inilah mungkin yang ingin diulangi Anies. Anies yang dulu merupakan seorang "pembantu" Jokowi dilengserkan dalam reshuffle karena dianggap tidak becus mengurusi "pendidikan dan kebudayaan" di negeri ini. Di sinilah "permusuhan" dimulai.

Kemudian nasib Anies tidaklah menjadi redup seperti anggapan banyak orang. Beliau kemudian berhasil menjadi orang nomor satu di DKI. Sebuah provinsi yang dianggap sebagai miniatur Indonesia. Sebuah provinsi yang paling dekat dengan istana dan gubernurnya pun dapat menyebrang dengan "tidak mudah" ke istana. Seperti yang pernah dilakukan Jokowi.

Entah kebetulan atau tidak, pihak Istana dianggap telah "menzolimi" Anies pada final Piala Presiden pada Sabtu malam 17 Februari 2018 yang lalu.

Sebuah video yang diunggah seorang nitizen, terlihat Paspamres menghalangi Anies untuk mendampingi Jokowi menyerahkan piala kemenangan kepada Sang Kampiun Persija Jakarta.

Sontak video ini menjadi viral. Mendapatkan tanggapan yang luas dari pengamat politik hingga masyarakat yang merem politik. Momen inipun dimanfaatkan oleh media massa dan elektronik untuk menaikkan "oplah"nya.

Meskipun pihak Paspampres telah melakukan klarifikasi bahwa mereka hanya melakukan tugas protokoler kepresidenan tetapi nampaknya hal itu tidak dapat mendiamkan masalah yang tak sederhana ini.

[irp posts="10912" name="Bey Machmudin Yang Terlalu Cepat Bereaksi, Blunder Yang Terjadi"]

Dan Maruarar Sirait sebagai Ketua Panitia secara kstria juga telah meminta maaf kepada Anies karena telah melakukan kesalahan besar, tidak mencantumkan nama Anies dalam rombongan penyerahan hadiah dan pemberi selamat mendampingi Jokowi kepada Persija.

Tetapi nampaknya hal tersebut pun tak juga berhasil meredam segala isu dan spekulasi. Terbukti hal tersebut masih terus ramai diperbincangkan di media massa dan media sosial. Juga terus dihubung-hubungkan dengan Pilpres 2019.

Akankah nama Anies akan terus meroket dan kemudian berhasil mengulangi kisah pembantu sebelumnya?

Kita tunggu perkembangan selanjutnya.

***

Editor: Pepih Nugraha