Di negeri "bukan dongeng" pernah ada sebuah kisah. Seorang pembantu istana yang kemudian menjadi Raja karena "dizolimi" oleh Sang Ratu.
Pembantu tersebut "dizolimi" karena dianggap telah melakukan manuver politik dalam tugasnya, yaitu mempengaruhi rakyat untuk memilihnya menjadi Raja dengan cara-cara kasat mata.
Pembantu itu diduga kuat akan mencalonkan diri sebagai Raja pada periode berikutnya untuk menggantikan Sang Ratu. Sang Ratu mungkin merasa "tersinggung". Merasa di "khianati" oleh pembantunya sendiri. Dalam adat kerajaan hal itu merupakan sesuatu yang tidak etis.
Sementara Sang Ratu masih ingin menduduki kursi utama istana lebih lama. Kursi tersebut "belum lama" didapatkannya dari Raja sebelumnya yang sering dianggap "nyeleneh" sehingga dilengserkan oleh majelis kerajaan. Kira-kira 3 tahun sebelum kemudian Sang Ratu menjadi orang nomor satu di istana. Jadi sangat wajar jika sang ratu masih ingin berkuasa pada periode berikutnya.
Sang ratupun "geram" dan secara perlahan mulai "mengucilkan" pembantu tersebut dengan tidak melibatkannya dalam pekerjaan-perkerjaan yang merupakan tugas pokok dan tanggung jawab sang pembantu.
[irp posts="10827" name="Ara Salah Baca"]
Pembantu tersebut kemudian berkirim surat kepada Sang Ratu meminta klarifikasi perihal tugas-tugasnya di istana. Tetapi karena tidak kunjung mendapat balasan, pembantu tersebut pun akhirnya mengirimkan surat pengunduran diri dan kemudian mengundurkan diri dengan judul lagu melankolis "Aku yang terzolimi"
Album tersebut pun mendapatkan sambutan yang meriah di pasaran. Laris-manis di blantika musik rakyat, bahkan "meledak", mencetak piringan emas dan platinum yang sangat banyak.
Terbukti album tersebut kemudian berhasil mengubah status pembantu menjadi Raja. Bahkan untuk 2 periode kemudian.
Kisah Inilah mungkin yang ingin diulangi Anies. Anies yang dulu merupakan seorang "pembantu" Jokowi dilengserkan dalam reshuffle karena dianggap tidak becus mengurusi "pendidikan dan kebudayaan" di negeri ini. Di sinilah "permusuhan" dimulai.
Kemudian nasib Anies tidaklah menjadi redup seperti anggapan banyak orang. Beliau kemudian berhasil menjadi orang nomor satu di DKI. Sebuah provinsi yang dianggap sebagai miniatur Indonesia. Sebuah provinsi yang paling dekat dengan istana dan gubernurnya pun dapat menyebrang dengan "tidak mudah" ke istana. Seperti yang pernah dilakukan Jokowi.
Entah kebetulan atau tidak, pihak Istana dianggap telah "menzolimi" Anies pada final Piala Presiden pada Sabtu malam 17 Februari 2018 yang lalu.
Sebuah video yang diunggah seorang nitizen, terlihat Paspamres menghalangi Anies untuk mendampingi Jokowi menyerahkan piala kemenangan kepada Sang Kampiun Persija Jakarta.
Sontak video ini menjadi viral. Mendapatkan tanggapan yang luas dari pengamat politik hingga masyarakat yang merem politik. Momen inipun dimanfaatkan oleh media massa dan elektronik untuk menaikkan "oplah"nya.
Meskipun pihak Paspampres telah melakukan klarifikasi bahwa mereka hanya melakukan tugas protokoler kepresidenan tetapi nampaknya hal itu tidak dapat mendiamkan masalah yang tak sederhana ini.
[irp posts="10912" name="Bey Machmudin Yang Terlalu Cepat Bereaksi, Blunder Yang Terjadi"]
Dan Maruarar Sirait sebagai Ketua Panitia secara kstria juga telah meminta maaf kepada Anies karena telah melakukan kesalahan besar, tidak mencantumkan nama Anies dalam rombongan penyerahan hadiah dan pemberi selamat mendampingi Jokowi kepada Persija.
Tetapi nampaknya hal tersebut pun tak juga berhasil meredam segala isu dan spekulasi. Terbukti hal tersebut masih terus ramai diperbincangkan di media massa dan media sosial. Juga terus dihubung-hubungkan dengan Pilpres 2019.
Akankah nama Anies akan terus meroket dan kemudian berhasil mengulangi kisah pembantu sebelumnya?
Kita tunggu perkembangan selanjutnya.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews