Muslihat Hakim Sarmin (4): Mufakat Gelap

Senin, 19 Februari 2018 | 20:30 WIB
0
426
Muslihat Hakim Sarmin (4): Mufakat Gelap

Cerita bersambung ini diadaptasi dari naskah pertunjukan Agus Noor berjudul Hakim Sarmin

Para pasien hakim itu bergerak menyerupai zombie yang berjalan, mengepung Hakim Ngatiman yang terlihat ketakutan. Sepertinya, hal yang mengerikan akan terjadi. Para pasien itu, seolah-olah akan merajang dan mencabik Hakim Ngatiman. Setiap pagi, para pasien Hakim dikumpulkan di aula terbatas untuk mengikuti kegiatan bersama.

“Cukup,” teriak Hakim Sarmin yang sejak tadi sibuk menyendiri tidak ikut mengeroyok Hakim Ngatiman.

Para pasien hakim itu kemudian berubah bersikap wajar, tidak lagi terlihat seperti orang gila. Mereka rileks. Tinggal Hakim Ngatiman yang masih bengong dan gemetaran seperti orang yang terkena guncangan jiwa.

“Udah,” kata hakim yang berkacamata bingkai kotak, bernama Hakim Lupin, sambil mencolek Hakim Ngatiman. “Cukup acting-nya...”

Hakim Ngatiman langsung santai dan rileks. Ia merasa lega. Setelah menarik nafas panjang dan menghembuskannya beberapa kali, Hakim Ngatiman kemudian mendekati Hakim Sarmin dan menjabat tangannya. Hakim Sarmin pun menyambut Hakim Ngatiman dalam rangkulan layaknya sahabat yang sudah lama tidak bertemu.

“Apa kabar, Pak Ngatiman?” tanya Hakim Sarmin.

Alhamdulillah, saya baik Pak Sarmin,” jawab Hakim Ngatiman.

“Bagaimana dengan kawan-kawan di luar sana?” tanya Hakim Sarmin.

“Saya berhasil meyakinkan kawan-kawan kita,” jawab Hakim Ngatiman lagi. “Tapi masih ada segelintir kawan yang belum memahami apa yang sebenarnya ingin diperjuangkan oleh Hakim Sarmin.”

“Itu biasa dalam revolusi, Pak Ngatiman,” kata Hakim Sarmin sambil menerawang. “Selalu ada pecundang yang tidak memahami perjuangan. Mereka tidak mengerti, bahwa saya melakukan semua ini demi bangsa dan negara.”

Sementara Hakim Sarmin dan Hakim Ngatiman berbincang, para hakim yang lain mulai mendengarkan dan menyimak kata-kata Hakim Sarmin. Suasana aula itu, kini mirip dengan rapat gelap pergerakan.

“Sejak awal saya sudah menyadari,” kata Hakim Sarmin. “Perjuangan ini tidak mudah. Saya tidak hanya dihujat oleh orang banyak tapi juga oleh kawan-kawan saya sendiri. Saya korbankan semua yang saya miliki. Reputasi, karir, dan nama baik saya. Ketika saya dianggap gila dan dimasukkan dalam Pusat Rehabilitasi ini, awalnya saya merasa marah karena diperlakukan secara tidak adil. Namun saya harus ikhlas dan legowo. Ini adalah cara untuk melakukan revolusi keadilan. Dengan dianggap gila, saya memperoleh kesempatan untuk memperjuangkan keadilan sejati.”

Hakim Sarmin kini tak hanya berbicara pada Hakim Ngatiman. Hakim Sarmin seperti berorasi pada seluruh Hakim yang ada.

“Revolusi mental tanpa revolusi hukum adalah omong kosong. Hukum adalah ruh dari revolusi. Kita harus membangkitkan ruh dalam revolusi yang saya cita-citakan. Revolusi ini akan memberikan keadilan kepada setiap orang. Itu sebabnya, revolusi mental tidak hanya butuh kerja. Kita butuh bergerak!” kata Hakim Sarmin dengan tegas.

Para hakim mendengarkan Hakim Sarmin dengan khusyuk sehingga tidak menyadari bahwa ada yang diam-diam memandangi para hakim itu.

“Tapi bagaimana kalau masyarakat benar-benar menganggap kita gila?” tanya Hakim Ngatiman.

“Begini, bray,” kata Hakim Sarmin sambil merangkul Hakim Ngatiman. “Kalau ada hakim yang gila, pasti karena dia hidup di tengah masyarakat yang gila. Hukum itu cerminan masyarakatnya. Kalau hakimnya gila, sudah pasti masyarakatnya lebih gila lagi. Namun kita tidak akan bisa membangun masyarakat yang baik tanpa hukum yang baik. Inilah yang kita perjuangkan dalam revolusi kita.”

Di tengah kuliah Hakim Sarmin, tiba-tiba seorang hakim berteriak, “OTeTe....”

Langsung para hakim itu serempak menjadi pasien yang berperilaku ganjil dengan tingkah polahnya sendiri-sendiri. Tak berapa lama, muncul seorang suster muda yang menyeret-nyeret Suster Tina.

“Ini ada apa Suster Imelda?” tanya Suster Tina dengan nada tidak senang. “Saya sedang sibuk...”

“Sus, saya gak bohong,” kata Suster Imelda melepaskan tangan Suster Tina. “Saya melihat sendiri. Hakim-hakim ini sedang melakukan rapat gelap. Saya yakin mereka tidak gila. Demi Tuhan, Sus...”

“Tidak usah membawa nama Tuhan, Suster Imelda,” kata Suster Tina memperingatkan. “Cuma ngurusin orang gila aja kok pake bawa-bawa Tuhan segala... Kamu lihat sekarang, Sus...”

“Tapi Sus,” rengek Suster Imelda.

Suster Tina hanya menggelengkan kepala pertanda dia tidak mau diganggu lagi dan pergi meninggalkan Suster Imelda yang masih terpaku memperhatikan tingkah para pasien hakim. Tak berapa lama, seorang perawat yang lain datang menghampiri Suster Imelda.

“Suster Imelda,” panggil perawat itu sambil menepuk bahu Suster Imelda. “Kamu kenapa? Ayo kita siapkan obat-obat pasien ini.”

“Suster Nora, saya melihat pasien-pasien ini tadi sedang rapat,” kata Suster Imelda. “Aku rasa, ada hal mengerikan yang akan terjadi.”

Suster Nora menggelengkan kepalanya.

“Tampaknya, dirimu terlalu banyak lembur,” kata Suster Nora prihatin. “Nanti aku bantu bilang ke Suster Tina untuk tidak memberimu jam lembur lagi, ya,...”

“Suster Nora gak percaya sama aku?” tanya Suster Imelda.

Suster Nora menggelengkan kepalanya dan menarik lengan Suster Imelda.

“Sebaiknya, kamu mengurangi membaca novel thriller,” kata Suster Nora. “Gak baik buat perawat di poliklinik spesialis jiwa macam kita.”

Sepeninggalan Suster Imelda dan Suster Nora, Hakim Sarmin memberi wejangannya.

“Mulai sekarang kita harus lebih hati-hati,” kata Hakim Sarmin. “Revolusi yang akan kita gerakkan tidak boleh gagal. Semua harus siap dengan tanggung jawab kita masing-masing. Tunggu komando saya dan kita akan segera bergerak. Sandi yang akan kita gunakan adalah janur kuning.”

“Bagaimana dengan suster-suster itu, Pak?” tanya Hakim Lupin.

“Lakukan apa yang harus dilakukan,” jawab Hakim Sarmin.

“Lalu dr. Putra?” tanya Hakim Ngatiman.

“Saya yang akan mengurusnya,” jawab Hakim Sarmin sambil bersedekap. “Kita harus kuasai tempat ini terlebih dahulu. Fajar baru keadilan telah tiba. Para hakim yang ada harus bermulia dan bermartabat. Harus berjuang demi bangsa dan negara!”

(bersambung)

***

Cerita sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/02/18/muslihat-hakim-sarmin-3-pasien-baru/