Muslihat Hakim Sarmin (3) : Pasien Baru

Minggu, 18 Februari 2018 | 07:39 WIB
0
443
Muslihat Hakim Sarmin (3) : Pasien Baru

Cerita bersambung ini diadaptasi dari naskah pertunjukan Agus Noor berjudul Hakim Sarmin

Beberapa saat kemudian, seorang perempuan yang mengenakan pakaian terusan berwarna putih-putih datang membawa map. Dia mengangguk pada Pak Walikota dan sekertaris sambil tersenyum lalu berdiri di dekat tempat duduk dr. Putra dan menyerahkan mapnya pada dr. Putra.

“Ini adalah Suster Tina,” kata dr. Putra memperkenalkan perempuan yang menghampiri mereka tadi. “Suster Tina adalah kepala perawat di Unit Khusus Hakim Pusat Rehabilitasi ini.”

Dr. Putra membuka map yang dibawakan oleh Suster Tina.

“Menurut laporan ini, semua kamar yang disediakan untuk Unit Khusus Hakim sudah penuh terisi,” kata dr. Putra. “Begitu kan, Suster Tina?”

“Betul, Dok,” kata Suster Tina mengiyakan pernyataan dr. Putra. “Perawat yang ada juga mulai kewalahan dengan banyaknya pasien yang ada. Kami butuh tambahan tenaga dan fasilitas.”

“Intinya, fasilitas Pusat Rehabilitas perlu ditambah,” kata dr. Putra menyampaikan kesimpulannya. “Saya tidak mau Pusat Rehabilitasi ini menjadi seperti lapas kita yang tak pernah diurus dengan baik. Karenanya, pembangunan Pusat Rehabilitasi ini supaya bisa menjadi lebih besar adalah keharusan.”

“Saat ini tidak mungkin, Dokter,” kata Pak Walikota. “Pemerintah sedang melakukan pengetatan anggaran.”

“DPRD juga belum tentu setuju...” gumam sekertaris.

Dr. Putra melihat Pak Walikota dan sekertarisnya dengan sinis.

“Bukannya setuju atau tidak setuju keluarnya uang anggaran itu hanya masalah berapa persen komisi yang bisa kalian dapatkan?” tanya dr. Putra.

Sekertaris walikota menghembuskan nafas agak keras. Pak Walikota menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Dr. Putra memperhatikan kedua tamunya dengan penuh selidik. Setelah terdiam beberapa saat, dr. Putra kemudian menoleh pada Suster Tina.

“Suster Tina, bukankah hari ini ada hakim yang datang untuk masuk sini?” tanya dr. Putra.

“Begitu yang saya dengar dari bagian registrasi, Dok,” jawab Suster Tina. “Tadi bagian registrasi menghubungi saya. Namun karena penuh sepertinya hakim tersebut dimasukkan ke bangsal sakit jiwa biasa.”

“Coba Suster cari tahu,” kata dr. Putra. “Kalau hakim itu ada, ajak ke ruang praktek saya.”

“Baik, Dok,” kata Suster Tina kemudian berlalu.

“Mari, kita pindah ke ruangan saya untuk bertemu dengan seseorang,” kata dr. Putra pada Pak Walikota dan sekertarisnya.

Pak Walikota dan sekertarisnya berdiri dan mengikuti dr. Putra yang sudah berjalan mendahului mereka. Keluar dari ruang aula, menyusuri lorong-lorong di rumah sakit, sampai pada di sebuah ruang dokter yang dilengkapi dengan sofa dan televisi yang dipisahkan dengan sekat kain dari ruang periksa. Dr. Putra kemudian meminta mereka duduk di sofa yang ada di ruangan itu.

Tak berapa lama, ada yang mengetuk pintu dan masuklah Suster Tina bersama dengan seorang pria gempal yang tinggi.

“Permisi, Dok, Pak, Bu,” sapa Suster Tina. “Ini adalah Hakim Ngatiman yang masuk pagi ini.”

Suster Tina memberikan map yang berisi rekam medis Hakim Ngatiman.

“Hakim Ngatiman,” panggil dr. Putra.

“Ya, Dok,” jawab Hakim Ngatiman.

“Di catatan ini, tadi pagi Anda diperiksa oleh dr. Jap,” kata dr. Putra. “Dan menurut catatan dari dr. Jap, sebenarnya Anda tidak perlu direhabilitasi.”

“Saya tertekan, Dokter,” teriak Hakim Ngatiman. “Kalau kalian ada di posisi saya, kalian pasti mengerti. Saya telah berusaha menjadi hakim yang baik. Namun saya merasa dihantui sepanjang hari. Saya merasa keputusan saya banyak yang keliru. Bukankah banyak keputusan benar yang malah dianggap keliru oleh orang banyak? Saya dianggap tidak memenuhi perasaan keadilan masyarakat. Kalian tahu, kebenaran dalam hukum bukan persoalan kebenaran banyak orang. Tapi kebenaran berdasarkan fakta dan bukti di pengadilan. Keadilan tidak bergantung pada kehendak banyak orang.”

“Itu artinya Anda hakim yang konsisten, kan?” tanya Pak Walikota.

“Apa artinya menjadi hakim yang konsisten bila saya diperlakukan tidak adil?” sanggah Hakim Ngatiman dengan cepat. “Saya juga semakin tertekan ketika teman-teman kolega saya banyak yang dituduh korupsi. Saya tahu, banyak yang meragukan pengadilan kita. Tapi itu bukan alasan untuk tidak mempercayai semua hakim. Saya tidak ingin mendapat tuduhan macam-macam yang malah menyebabkan saya masuk penjara. Saya tak sanggup menghadapi ini semua. Dokter, selamatkanlah saya...”

Hakim Ngatiman bersimpuh di kaki dr. Putra.

“Pak, sepertinya ketakutan Anda berlebihan,” kata dr. Putra sambil memegang pundak Hakim Ngatiman. “Anda sepertinya hanya butuh istirahat. Ambilah cuti dan pergi berlibur. Bersenang-senanglah barang beberapa hari.”

Hakim Ngatiman masih tertunduk di lantai dan menggelengkan kepalanya.

“Tidak Dokter, saya tidak berlebihan,” kata Hakim Ngatiman. “Saya hanya ingin disini. Biarlah saya dianggap gila daripada saya betul-betul menjadi gila.”

Dr. Putra menghembuskan nafasnya panjang.

“Pak, sebaiknya Anda pulang ke rumah saja,” kata dr. Putra. “Rumah sakit ini, hanya untuk yang benar-benar membutuhkan. Tempat kami terbatas.”

“Tidak, Dok,” kata Hakim Ngatiman. “Saya tidak mau pulang. Di rumah saya merasa cemas. Saya selalu merasa terancam di luar sana. Tolong saya, Dok...”

Dr. Putra memandang ke arah Walikota dan sekertarisnya. Walikota dan sekertarisnya saling berpandangan. Sepertinya, mau tak mau, dana tambahan itu harus ada.

(bersambung)

***

Cerita sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/02/17/muslihat-hakim-sarmin-2-dana-tambahan/