Lolos dari Maut (9): Selang 500 Juta Rupiah di Pembuluh Saya

Minggu, 18 Februari 2018 | 07:05 WIB
0
755
Lolos dari Maut (9): Selang 500 Juta Rupiah di Pembuluh Saya

 

Soal masih datang-perginya panas, mungkin terjadi infeksi. Di satu atau beberapa titik di  sepanjang saluran darah utama saya yang tercabik-cabik tanpa ketahuan selama 15 hari itu. Untuk memastikannya, tiap hari dilakukan pengambilan darah.

Kalau pun bukan infeksi siapa tahu flu. Atau ada virus tertentu. Misalnya virus Australia yang lagi mewabah. Atau virus dari Arab Saudi.

Hasil test darah itu ternyata bagus: semuanya nihil.

Dilakukan juga USG. Untuk melihat seluruh saluran darah yang sudah dipasangi stent. Juga tidak ditemukan pertanda infeksi.

Kesimpulan terakhir: ada pembengkakan di beberapa tempat di sepanjang saluran yang distent. Ini wajar mengingat saat stent dipasang luka-luka akibat retasan darah sudah berumur 15 hari. Darah sudah mengalir zig-zag di antara dinding dalam dan dinding luar aorta.

Setelah diberi obat  untuk mengatasi pembengkaan temperatur saya stabil. Lalu boleh meninggalkan rumah sakit lagi. Sudah mulai bisa makan di restoran. Sudah bisa undang anak jenius Surabaya yang lagi di Singapura, Audry, untuk makan siang. Dengan selera makan sekedarnya. Liur masih pahit.

Saya juga mulai bisa bercanda dengan Robert Lai. Dialah yang selalu mengatakan bahwa dia akan mati lebih dulu. Kini ganti saya yang bilang: dengan sakit saya yang terakhir ini hampir pasti sayalah yang akan mati lebih dulu.

[caption id="attachment_10698" align="alignleft" width="491"] Selang di jantung (Foto: Disway.id)[/caption]

Tiga hari sekali saya kontrol ke klinik Dokter Benjamin. Saat itulah saya ingat bahwa dia punya contoh barang yang dipasang di aorta saya.

Saya ulangi permintaan untuk melihat wujud stent yang dipasang di tubuh saya itu.

“Apakah dokter benar-benar  punya contoh material stent yang dimasukkan ke saluran darah saya?”

“Punya,” katanya sambil membuka laci di belakang tempat duduknya.

Dia pun mengambil barang itu. Menyerahkannya ke saya.

Ya …. Allah! Jauh beda dengan yang saya bayangkan! Saya pikir mirip stent yang dipasang di jantung! Ternyata sama sekali beda.

Yang ini lebih mirip selang pemadam kebakaran! Yang diberi pelindung rangkaian kawat di luarnya. Rangkaian kawat itu bisa dipenyet tapi tidak penyet. Setelah dipenyet pun dia akan balik ke posisi seperti selang. Ini penting. Agar saat stent dimasukkan  posisinya dalam keadaan terpenyet.

Setelah benda pengantarnya ditarik, rangkaian kawat itu mengembang menjadi seperti selang. Fungsinya pun berubah: menjadi dinding terdalam saluran darah.

Dengan demikian darah yang sejak 15 hari sebelumnya lebih banyak mengalir di sela-sela dinding (false lumn) kembali mengalir di tengah-tengah selang baru ini.

“Ini hanya contoh. Aslinya, yang dipasang di badan Anda, tiga kali lebih besar dari ini,” kata dokter Benjamin.

Selang yang dipasang di saluran darah utama saya itu panjangnya sekitar setengah meter.

Tapi tidak semua sama. Bagian paling atas, sepanjang 20 cm, berupa selang khusus. Terbuat dari bahan poleyster khusus. Tipis sekali. Warna putih. Semula saya pikir itu kain. Atau kertas. Ternyata bukan. Itu poleyster tipis. Di luarnya ada rangkaian kawat yang dijahitkan ke poleyster itu. Desain stent ini dari Amerika tapi dibuat di Australia.

Pada dasarnya kerangka rangkaian kawat itu yang berfungsi menormalkan bentuk saluran darah. Tapi lapisan poleyster diperlukan karena kondisi bagian atas aorta saya sudah menua. Sudah keras. Mudah retak.

Dengan lapisan poleyster itu darah saya yang bertekanan tinggi tidak bisa lagi menyentuh langsung dinding saluran darah yang sudah menua itu. Aliran darah itu akan menghantam poleyster yang melapisinya. Kuat.

Baru di bagian di bawahnya stent yang dipasang tanpa poleyster. Hanya rangkaian kawat yang menyerupai selang. Darah yang mengalir tetap langsung bersentuhan dengan dinding saluran darah. Tapi tidak berbahaya. Bagian bawah saluran darah saya masih belum menua.

Saya bisa membayangkan bagaimana dokter Benjamin Chua  memasukkan selang begitu besar dan panjang ke saluran utama darah saya. Teknologi kedokteran sudah begitu majunya.

Tentu saya bertanya berapa harga “selang” sepanjang 50 cm itu. “Selangnya” saja. Tidak termasuk rumah sakit dan dokternya.

Jawabnya: sekitar Rp 500 juta. Berarti, barang itu, tiap 1 meter seharga Rp 1 miliar.

Rasanya inilah selang termahal.

Padahal seluruh saluran darah seorang manusia panjangnya sekitar 200 km. Besar dan kecil. Berarti total harga saluran darah manusia itu  400.000 x Rp 500 juta = Rp200 triliun.

Itulah nilai pemberian Tuhan ke manusia. Hanya dalam bentuk saluran darah. Belum yang lain.

Itu pun baru harga palsunya. Belum harga yang asli pemberian Tuhan.

(Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya:

 

 

http://pepnews.com/2018/02/17/lolos-dari-maut-8-tergoda-lanzhou-lamian-satu-satunya/