Ijazah Nangkep Maling

Selasa, 13 Februari 2018 | 07:35 WIB
0
439
Ijazah Nangkep Maling

Semenjak bang Jamil jadi hansip di kampung kami, kampung ini jadi aman tentram. Sampai hari ini bang Jamil sudah lima kali nangkep maling, atas jasanya itu oleh pak RW dia diberi hadiah sepeda BMX dan memang dengan hadiah itu bang Jamil jadi tambah rajin keliling.

Kata orang, dulunya bang Jamil ini termasuk orang golongan hitam tapi sekeluarnya dari penjara Bang Jamil insaf dan oleh Pak RW diangkat menjadi keamanan kampung kami. Harap maklum saya baru beberapa bulan tinggal di kampung ini.

Tapi akhir-akhir ini bang Jamil sering mengeluh kepada saya, bukan lantaran gajinya sering telat, tapi bini mudanya (eh, jangan bilang siapa-siapa kalau bang Jamil punya bini dua) menuntut dibelikan Televisi berwarna.

“Mil, mata gue udah sepet ngliat TV hitam putih, beliin yang ada warnanya donk.  Kalu gak kontan, yak kredit kek. Bilang sana sama Pak RW,” begitu kata istrinya seperti yang dituturkan bang Jamil kepada saya.

“Dia sangka, TV berwarna itu murah, kan harganya berkali  lipat dari TV hitam putih,” umpat bang Jamil, saya cuma senyum saja, tak baik mencampuri dapur orang.

Tapi dasar bang Jamil sayang sama bini, ya… dia usaha juga. Hingga pada suatu malam ketika saya sedang ngobrol dengan pak RW di pos jaga, Bang Jamil datang. Kali ini dia tidak pakai seragam hansip. Perlu juga diketahui, Bang Jamil walaupun bukan giliran jaga, dia selalu memakai pakain seragam.

“Tumben Mil ‘nggak pakai seragam?” Tanya Pak RW, bang Jamil tidak langsung menjawab, dia duduk di depan kami, mengerluarkan rokok dan menghisapnya.

“Eh, ada apa ini Mil. Kok murung bener?” Tanya Pak RW lagi.

“Begini Pak RW,” Bang Jamil mulai buka suara. Tapi kelihatannya agak ragu-ragu.

“Saya tadi habis ngelamar pekerjaan, Pak”, lanjutnya pelan.

“Di mana?”

“Di pabrik tenun, katanya dia butuh keamanan satu lagi.”

“Lantas?”

“Itulah Pak, di sana saya ditanyain Ijazah segala, saya kan ‘nggak pernah punya Ijazah, SD aja cuman sampai kelas empat.”

“Terus bagaimana?”

“Saya bilang Ijazah memang saya ‘nggak punya, tapi kalau perkara ngamanin pabrik, bapak ‘nggak usah ragu-ragu lagi deh. Kalau nggak percaya tanya saja sama Pak RW saya.”

“Terus apa jawabnya?”

“Kayanya sih dia ragu sama saya, Pak. Dia ‘nggak percaya kalau saya bisa jadi keamanan.”

Memang Bang Jamil tidak ada potongan jagoan. Badannya kecil, wajahnya pucat. Tapi kalau baru dikeroyok tiga orang saja, jangan mimpi menang lawan dia.

“Waduh, bagaimana, ya?” Pak RW menggaruk-garuk janggutnya.

“Begini Pak, saya datang menghadap Bapak, maksud saya mau minta Ijazah.”

Pak RW berhenti menggaruk-garuk,” Ah, ‘nggak salah ngomong Mil. Ijazah yang mana?”

“Maksud saya minta dibuatkan Ijazah.”

“Eh, Bang Jamil, Pak RW bukannya kepala sekolah, mana bisa dia bikin Ijazah?” Saya jadi ikut-ikutan nimbrung. Soalnya Pak RW masih bengong mendengar permintaan itu.

“Bukan Ijazah sekolahan, Pak. Tapi Ijazah nangkep maling.”

Saya dan Pak RW kontan tertawa bareng. Mana ada Ijazah nangkep maling?

“Bang Jamil ini bercanda atau serius?” tanya saya sambil tertawa.

“Serius, Pak. Kalau bisa sih ijazahnya yang teken Pak Lurah. Pabrik itu kan berada di daerah kekuasaannya Pak Lurah. Siapa tahu…. ?”

Setelah berfikir sejenak, akhirnya Pak RW ambil keputusan, “Mungkin maksud Pak Jamil semacam piagam penghargaan, ya?”

“Iya kali Pak.”

”Baiklah, tapi saya ‘nggak janji, ya? Besok saya akan ke kantor kelurahan menghadap Lurah. Hasilnya nanti akan saya kabarkan, ya… namanya juga usaha.”

“Aduh terima kasih Pak, terima kasih nih sebelumnya. Saya permisi dulu Pak. Maklum dari tadi belum pulang. Permisi Pak…!”

 

“Pulang ke rumah yang mana Mil?” Tanya Pak RW sambil senyum bercanda. Bang Jamil tertawa penuh arti. “Ah, Bapak ini kayak ‘nggak tahu saja. Permisi Pak...”

 

Saya dan Pak Rw menghadap Pak Lurah. Pak Lurah menanggapi persoalan ini dengan serius. “Untuk warga yang berbakti semacam Bang Jamil itu, Pak RW tidak perlu khawatir, akan saya bantu sepenuhnya. Bukan hanya surat keterangan, atau piagam, besok dia akan saya antar ke pabrik itu, kebetulan saya kenal baik dengan pemilik pabrik itu. Pokonya Bang Jamil besok suruh menghadap saya. Maaf ya, saya ada rapat di Kecamatan nih…”

“Wah…terimakasih pak. Saya bangga sekali punya Bapak masyarakat seperti Bapak. Eh, ngomong-ngomong Bapak bakal kena mutasi, ya? Siapa gantinya, Pak? Dari hasil bisik-bisik, para ketua RW akan mempertahankan Bapak. Kami berencana akan membuat resolusi kepada Bapak Camat.”

“Ah… itu kan urusan orang atas, kalau saya sih sebagai pegawai negri, ditempatkan di mana saja ya… tidak masalah. Sudah ya…… nanti saya ketinggalan rapat nih. Pak RW kan tahu sendiri Bapak Camat kita yang baru ini disiplinnya ketat. Maklum, namanya juga baru….”

Besoknya saya, Pak RW dan Bang Jamil datang ke kantor Kelurahan, di mulut gang, kami berpapasan dengan Pak Lurah yang sedang mengendarai mobilnya.

“Eh, kebetulan ayo naik,” ajak Pak Lurah sambil membukakan pintu mobilnya. Setelah kami semua naik, Pak Lurah bertanya, “Bang Jamil melamar pekerjaan di pabrik tenun depan Pom bensin itu, ya?”

“Eh, iya Pak betul,” jawab Bang Jamil hormat.

“Kebetulan kalau begitu, sekarang kita semua ke pabrik itu.”

“Aduh….. terima kasih nih Pak, atas segala bantuannya, saya jadi merepotkan Bapak.” Bang Jamil Nampak terharu atas kebaikan hait Pak Lurah

“Tadi saya ditelpon, katanya pabrik itu kebakaran. Makanya sekarang kita ramai-ramai lihat ke sana.”

Saya lirik Bang Jamil mukanya pucat. Kasihan betul dia, mungkin bagi pembaca, mendengar kalimat terakhir Pak Lurah itu akan menertawakan Bang Jamil, atau paling tidak tersenyum. Dan tadinya saya bermaksud akan mengakhiri cerita sampai di sini. Tapi berhubung menertawakan penderitaan orang lain itu tidak baik, maka cerita ini  saya lanjutkan...

Sesampainya di pabrik yang kebakaran itu, kami semua turun. Kami lihat di situ ada dua mobil pemadam kebakaran dan nampaknya api sudah dapat dikuasai. Hanya dua orang petugas pemadam kebakaran sedang berusaha menyelamatkan seseorang yang terkurung api di pabrik itu.

Tanpa pikir panjang, Bang Jamil menerobos masuk ke dalam pabrik itu dan tidak lama kemudian dia keluar membawa orang naas itu bersama dua orang petugas pemadam kebakaran.

Tidak lama kemudian, api dapat dipadamkan. Hanya bagian belakang pabrik saja yang terbakar. Dan atas usul Pak Lurah dan atas jasa Bang Jamil menyelamatkan karyawan pabrik yang naas itu, dia diterima bekerja di pabrik tenun itu, tanpa ditanya lagi soal Ijazah.

Nah, untuk para pembaca, sekarang sudah boleh tertawa sepuas-puasnya, ‘Nggak dosa kok.

Dimuat Tabloid IDOLA, 5 Nopember 1990.

***