Yogyakarta Berhenti Nyaman

Senin, 12 Februari 2018 | 05:58 WIB
0
878
Yogyakarta Berhenti Nyaman

Yogyakarta Yang Nyaman

Masih ingat slogan "Yogya Berhati Nyaman"? Kalau ada pembaca pernah tinggal  dan sekolah di Yogya pasti merasakan  kenyamanan suasananya. Apalagi sebelum tahun 2000 an. Saya pernah merasakan tinggal di Yogya sekitar tahun 1990 antara 1990 sampai menjelang tahun 2000 an.

Kuliah di Yogyakarta dengan suasana kesenian yang kental banyak tontonan bersifat budaya, pameran seni ngobrol ngalor ngidul di HIK atau warung angkringan yang kebanyakan pedagangnya berasal dari Bayat Klaten atau di warung  Indomie yang pedagangnya rata-rata orang Kuningan Jawa Barat.

Tapi agak susah menemukan warteg… atau pedagang ketoprak. Warteg itu mungkin hanya terkenal di Jakarta dan sekitarnya dan kalau makan ketoprak bisa-bisa orang Yogya dan Jawa Tengah bisa salah persepsi. Di sana ketoprak bukan makanan melainkan pertunjukan drama Jawa yang sering mengisahkan cerita-cerita babat Mataram atau cerita rekaan yang sudah turun temurun tumbuh menjadi seni tradisi.

Susah juga menemukan makanan semacam Hamburger atau makanan gado- gado karena di Yogyakarta terkenalnya dengan Lotek. Kalau hamburger dan makanan bule itu malah ketemunya ketika melancong di Bandung.

Yogyakarta ya identik dengan gudeg (sayuran nangka muda yang dibumbui dengan santan pewarna alami dari daun jati atau gula aren), tetelan  daging suwir, Mie Yogya,  soto yang nasi sama kuahnya dicampur bukan dipisah (saya sendiri masih bingung ketika tinggal di Jakarta, makan soto dan nasi dipisah, bingung nasinya dicampur kuah atau kuahnya dicampur di tempat nasi hahaha).

Saya nyaman di Yogyakarta karena  hampir seluruh toleransi waktu untuk kuliah dimanfaatkan. Bahkan hampir saja DO kalau tidak ada pertolongan yang Kuasa.  Hehehe. Habis ketika sudah  bergaul dengan seniman teater, atau seniman  lainnya dunia seperti tidak bergerak. Malampun dihabiskan untuk ngobrol sampai hampir pagi. Jangan tanya tentang internet tahun itu. Baru ada internet di ujung tahun 1990 an.

Yogyakarta nyaman kepada pemilik sepeda pancal, alias sepeda ontel, alias sepeda onta. Boleh dikenang dulu Ibu-ibu , bapak-bapak pekerja pabrik dan pelajar selalu mengayuh sepeda menuju kota Yogyakarta. Jalannya santai karena kontur tanah di Yogyakarta memang kebanyakan datar. Dari Jalan Bantul menuju Pojok Beteng Kulon, Pojok beteng Wetan  penuh sepeda. Dari Arah Piyungan menuju Gedong Kuning, Gembira Loka sepeda itu berbondong-bondong datang hampir setiap pagi.

Mungkin terkecuali dari arah Kaliurang yang kendaraannya dulu semacam Elf. Motor yang banyak ya motor sepeda tahun 70 an. (di Yogya mobil itu dikenal dengan istilah montor, sedangkan sepeda motor ya motor atau istilah udik zaman dulu nyebut simpelnya Honda padahal merk motor Jepang). Yang punya mobil masih sedikit, dan trotoar masih dipenuhi pejalan kaki. Sepanjang Mrican masih penuh tempat foto copian. dengan toko legendaris waktu itu yaitu toko Merah.

Hapal Yogyakarta berkat jalan laki dan bersepeda

Saya benar hapal rute Yogyakarta. Kalau kalian mengetes bagaimana rute dari terminal Umbulharjo sampai ke Mrican atau kampus Sanata Dharma masih hapal jalannya? Umbul Harjo, Muja Muju, Pabrik Susu SGM melewat SMA 8 dekat kantor walikota ke kota melalui jalan Timoho, Ketemu kampus APMD IAIN Sunan Kalijaga… Lusur lewat jalan Kecil dari Jalan Solo dekat Gajah Wong menuju kampus Mrican.

Kenapa hapal, karena saya dulu pernah jalan kaki! Yogyakarta benar-benar nyaman untuk belajar. Meskipun perkelahian antar preman dulu yang saya ingat itu Joksin (alias Joko Sinting)  menjadi ancaman ketidaknyamanan, tapi itu khan skala lokal, tidak mengurangi ketertarikan orang luar untuk belajar  di Yogyakarta.

[irp posts="4648" name="Setelah Walk Out" di Jakarta, Ananda Sukarlan "Walk In" di Jogja"]

Saya masih suka jalan kaki dari Mrican menuju  Malioboro jalan kaki, menikmati gerebeg keraton  atau menimati suasa muludan (maulud Nabi). Aneka upacara ritual itu masih kental terasa entah sekarang). Di Malioboro masihkah Toko Liman yang banyak menjual peralatan kost–kosan atau seniman-seniman sering beli kain blacu kain kanvas mentahan dan di buat sendiri dengan dicampur cat tembok putih dan lem kayu. Segala karpet pelapis lantai ada. Pokoknya komplit  lah.

Mengenai makan di sekitar kos-kosan selalu ada penjual nasi murah meriah yang pas untunk kantong mahasiswa. Di sekitar Kampus Sadhar ada warung Texas. Ingat khan.  Kenyamanan Yogya benar benar terasa.

Anda juga masih ingat suara-suara marching band yang entah dari mana di sekitar Selokan Mataram bayangkan ada suara musik itu sekitar jam 4 pagi atau pas sore hari, tapi ketika ditelusuri suaranya tidak ketemu sumbernya.

Sultan Adalah Raja, sesembahan, panutan dan tempat berlindung warga Yogyakarta. Mendengar dan menyebut nama Sultan Hamengkubuwono IX rasanya ada kenyamanan tersendiri. Wajah teduhnya, merakyat dan disegani kawan dan lawan. Bahkan Belandapun amat takut dengan Sultan Yogya yang satu ini.

Cerita kesaktiannya seperti dongeng yang dipercaya baik yang bodoh maupun yang pintar, baik dosen, professor maupun pelajar serta tukang becak. Mitos Nyai Roro Kidul sudah menjadi rahasia umum dan orang Yogya percaya dengan mitos dan legenda tersebut. Jangan coba-coba ada pesawat lewat di atas keraton Yogyakarta karena ada cerita yang hadir dari mulut ke mulut bahwa tempat Sultan itu benar-benar  wingit, atau angker, atau masih mengandung aura mistis yang susah dipikirkan dengan logika.

Coba cari apakah benar-benar ada perempatan yang simetris, Yang ada hanya di Jalur Pantai Selatan, Keraton Yogyakarta Monjali (monument Yogya Kembali  menuju gunung Merapi. Karena jalan itu adalah alur kesatuan antara Laut Selatan Keraton dan Gunung Merapi yang masih diliputi tentang mitos. Maka terkenalah juru Kunci Keraton waktu itu yang hanya mengakui rajanya hanya Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang salah satu istrinya di percaya adalah Nyai Roro Kidul. Yogja yang penuh cerita mistis dengan ajran kejawen  yang kental itu menampakkan harmoni kehidupan karena slogan manunggaling Kawulo lan Gusti.

Benarkah Yogyakarta sekarang adalah Yogyakarta Berhenti Nyaman?

Kini Yogyakarta yang bergerak menuju kota modern, penuh pendatang, penuh aneka jajanan kuliner dari berbagai budaya tampak semakin sibuk dan sumpek. Pergerakan ekonomi Yogyakarta memang mengagumkan, tempat wisata   muncul di mana-mana, dan wisatawan membanjiri hotel dan restoran  setiap pekan. Penerbangan menuju Yogya padat dan kemacetanpun tidak terelakkan. Yogyakarta yang relatif kecil bergerak cepat.

Sehabis gempa bumi 2006 Yogyakarta menggeliat, seperti naga yang bangun dari tidurnya. Meskipun masih nyaman dibandingkan dengan kota lain cuaca panas dan kecetan yang hampir mirim dengan Jakarta dan kota besar lainnya membuat Slogan Yogyakarta berhati nyaman perlu dipertanyakan. Benarkah masih nyaman?

[irp posts="5549" name="Hidup di Jogja Memang Istimewa"]

Apalagi akhir akhir ini Yogyakarta diterpa insiden intoleransi. Dari cerita tentang Baksos sebuah gereja katolik di bantul, sampai yang masih gress beritanya ketika seseorang yang katanya orang Banyuwangi dengan pedang mengamuk di gereja Santa Lidwina Stasi Bedog Paroki Kumetiran Sleman Yogyakarta. Romo  Prier SJ Cukup parah terkena sabetan pedang pendekar salah jalan tersebut. Ada korban lainnya dari umat meskipun tidak separah Romo Prier yang terkenal sering menciptakan lagu-lagu rohani dan pernah menjadi Dosen ISI Yogyakarta.

Jangan nodai kenyamanan Yogyakarta dengan tindakan intoleran. Mari jaga Yogyakarta agar tetap sepeti arti Yogya sebenarnya  yang berasal dari istilah ayodya yang berarti “Nyaman”

Yogya masih dirindukan sebagai tempat yang nyaman untuk  wisata yang aman. Sekali lagi jangan nodai dengan kebiadaban aktor politik yang ingin mengaduk aduk  kerukunan, kebinnekaan dan persatuan yang terjalin lama.

Sultan Ayolah bergerak, kembalikan Yogyakarta sebagai tempat menggali filosofi kehidupan, local genius dan kreasi seni yang mendunia. Kembalikan wibawa Yogyakarta seperti sedia kala, seperti ketika dunia mengakui bahwa Yogyakarta begitu disegani di dunia semasa Hamengkubuwono IX.

Ayo dab, Balik Yogya...aman kok Poya popo!

***

Editor: Pepih Nugraha