Yogyakarta Yang Nyaman
Masih ingat slogan "Yogya Berhati Nyaman"? Kalau ada pembaca pernah tinggal dan sekolah di Yogya pasti merasakan kenyamanan suasananya. Apalagi sebelum tahun 2000 an. Saya pernah merasakan tinggal di Yogya sekitar tahun 1990 antara 1990 sampai menjelang tahun 2000 an.
Kuliah di Yogyakarta dengan suasana kesenian yang kental banyak tontonan bersifat budaya, pameran seni ngobrol ngalor ngidul di HIK atau warung angkringan yang kebanyakan pedagangnya berasal dari Bayat Klaten atau di warung Indomie yang pedagangnya rata-rata orang Kuningan Jawa Barat.
Tapi agak susah menemukan warteg… atau pedagang ketoprak. Warteg itu mungkin hanya terkenal di Jakarta dan sekitarnya dan kalau makan ketoprak bisa-bisa orang Yogya dan Jawa Tengah bisa salah persepsi. Di sana ketoprak bukan makanan melainkan pertunjukan drama Jawa yang sering mengisahkan cerita-cerita babat Mataram atau cerita rekaan yang sudah turun temurun tumbuh menjadi seni tradisi.
Susah juga menemukan makanan semacam Hamburger atau makanan gado- gado karena di Yogyakarta terkenalnya dengan Lotek. Kalau hamburger dan makanan bule itu malah ketemunya ketika melancong di Bandung.
Yogyakarta ya identik dengan gudeg (sayuran nangka muda yang dibumbui dengan santan pewarna alami dari daun jati atau gula aren), tetelan daging suwir, Mie Yogya, soto yang nasi sama kuahnya dicampur bukan dipisah (saya sendiri masih bingung ketika tinggal di Jakarta, makan soto dan nasi dipisah, bingung nasinya dicampur kuah atau kuahnya dicampur di tempat nasi hahaha).
Saya nyaman di Yogyakarta karena hampir seluruh toleransi waktu untuk kuliah dimanfaatkan. Bahkan hampir saja DO kalau tidak ada pertolongan yang Kuasa. Hehehe. Habis ketika sudah bergaul dengan seniman teater, atau seniman lainnya dunia seperti tidak bergerak. Malampun dihabiskan untuk ngobrol sampai hampir pagi. Jangan tanya tentang internet tahun itu. Baru ada internet di ujung tahun 1990 an.
Yogyakarta nyaman kepada pemilik sepeda pancal, alias sepeda ontel, alias sepeda onta. Boleh dikenang dulu Ibu-ibu , bapak-bapak pekerja pabrik dan pelajar selalu mengayuh sepeda menuju kota Yogyakarta. Jalannya santai karena kontur tanah di Yogyakarta memang kebanyakan datar. Dari Jalan Bantul menuju Pojok Beteng Kulon, Pojok beteng Wetan penuh sepeda. Dari Arah Piyungan menuju Gedong Kuning, Gembira Loka sepeda itu berbondong-bondong datang hampir setiap pagi.
Mungkin terkecuali dari arah Kaliurang yang kendaraannya dulu semacam Elf. Motor yang banyak ya motor sepeda tahun 70 an. (di Yogya mobil itu dikenal dengan istilah montor, sedangkan sepeda motor ya motor atau istilah udik zaman dulu nyebut simpelnya Honda padahal merk motor Jepang). Yang punya mobil masih sedikit, dan trotoar masih dipenuhi pejalan kaki. Sepanjang Mrican masih penuh tempat foto copian. dengan toko legendaris waktu itu yaitu toko Merah.
Hapal Yogyakarta berkat jalan laki dan bersepeda
Saya benar hapal rute Yogyakarta. Kalau kalian mengetes bagaimana rute dari terminal Umbulharjo sampai ke Mrican atau kampus Sanata Dharma masih hapal jalannya? Umbul Harjo, Muja Muju, Pabrik Susu SGM melewat SMA 8 dekat kantor walikota ke kota melalui jalan Timoho, Ketemu kampus APMD IAIN Sunan Kalijaga… Lusur lewat jalan Kecil dari Jalan Solo dekat Gajah Wong menuju kampus Mrican.
Kenapa hapal, karena saya dulu pernah jalan kaki! Yogyakarta benar-benar nyaman untuk belajar. Meskipun perkelahian antar preman dulu yang saya ingat itu Joksin (alias Joko Sinting) menjadi ancaman ketidaknyamanan, tapi itu khan skala lokal, tidak mengurangi ketertarikan orang luar untuk belajar di Yogyakarta.
[irp posts="4648" name="Setelah Walk Out" di Jakarta, Ananda Sukarlan "Walk In" di Jogja"]
Saya masih suka jalan kaki dari Mrican menuju Malioboro jalan kaki, menikmati gerebeg keraton atau menimati suasa muludan (maulud Nabi). Aneka upacara ritual itu masih kental terasa entah sekarang). Di Malioboro masihkah Toko Liman yang banyak menjual peralatan kost–kosan atau seniman-seniman sering beli kain blacu kain kanvas mentahan dan di buat sendiri dengan dicampur cat tembok putih dan lem kayu. Segala karpet pelapis lantai ada. Pokoknya komplit lah.
Mengenai makan di sekitar kos-kosan selalu ada penjual nasi murah meriah yang pas untunk kantong mahasiswa. Di sekitar Kampus Sadhar ada warung Texas. Ingat khan. Kenyamanan Yogya benar benar terasa.
Anda juga masih ingat suara-suara marching band yang entah dari mana di sekitar Selokan Mataram bayangkan ada suara musik itu sekitar jam 4 pagi atau pas sore hari, tapi ketika ditelusuri suaranya tidak ketemu sumbernya.
Sultan Adalah Raja, sesembahan, panutan dan tempat berlindung warga Yogyakarta. Mendengar dan menyebut nama Sultan Hamengkubuwono IX rasanya ada kenyamanan tersendiri. Wajah teduhnya, merakyat dan disegani kawan dan lawan. Bahkan Belandapun amat takut dengan Sultan Yogya yang satu ini.
Cerita kesaktiannya seperti dongeng yang dipercaya baik yang bodoh maupun yang pintar, baik dosen, professor maupun pelajar serta tukang becak. Mitos Nyai Roro Kidul sudah menjadi rahasia umum dan orang Yogya percaya dengan mitos dan legenda tersebut. Jangan coba-coba ada pesawat lewat di atas keraton Yogyakarta karena ada cerita yang hadir dari mulut ke mulut bahwa tempat Sultan itu benar-benar wingit, atau angker, atau masih mengandung aura mistis yang susah dipikirkan dengan logika.
Coba cari apakah benar-benar ada perempatan yang simetris, Yang ada hanya di Jalur Pantai Selatan, Keraton Yogyakarta Monjali (monument Yogya Kembali menuju gunung Merapi. Karena jalan itu adalah alur kesatuan antara Laut Selatan Keraton dan Gunung Merapi yang masih diliputi tentang mitos. Maka terkenalah juru Kunci Keraton waktu itu yang hanya mengakui rajanya hanya Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang salah satu istrinya di percaya adalah Nyai Roro Kidul. Yogja yang penuh cerita mistis dengan ajran kejawen yang kental itu menampakkan harmoni kehidupan karena slogan manunggaling Kawulo lan Gusti.
Benarkah Yogyakarta sekarang adalah Yogyakarta Berhenti Nyaman?
Kini Yogyakarta yang bergerak menuju kota modern, penuh pendatang, penuh aneka jajanan kuliner dari berbagai budaya tampak semakin sibuk dan sumpek. Pergerakan ekonomi Yogyakarta memang mengagumkan, tempat wisata muncul di mana-mana, dan wisatawan membanjiri hotel dan restoran setiap pekan. Penerbangan menuju Yogya padat dan kemacetanpun tidak terelakkan. Yogyakarta yang relatif kecil bergerak cepat.
Sehabis gempa bumi 2006 Yogyakarta menggeliat, seperti naga yang bangun dari tidurnya. Meskipun masih nyaman dibandingkan dengan kota lain cuaca panas dan kecetan yang hampir mirim dengan Jakarta dan kota besar lainnya membuat Slogan Yogyakarta berhati nyaman perlu dipertanyakan. Benarkah masih nyaman?
[irp posts="5549" name="Hidup di Jogja Memang Istimewa"]
Apalagi akhir akhir ini Yogyakarta diterpa insiden intoleransi. Dari cerita tentang Baksos sebuah gereja katolik di bantul, sampai yang masih gress beritanya ketika seseorang yang katanya orang Banyuwangi dengan pedang mengamuk di gereja Santa Lidwina Stasi Bedog Paroki Kumetiran Sleman Yogyakarta. Romo Prier SJ Cukup parah terkena sabetan pedang pendekar salah jalan tersebut. Ada korban lainnya dari umat meskipun tidak separah Romo Prier yang terkenal sering menciptakan lagu-lagu rohani dan pernah menjadi Dosen ISI Yogyakarta.
Jangan nodai kenyamanan Yogyakarta dengan tindakan intoleran. Mari jaga Yogyakarta agar tetap sepeti arti Yogya sebenarnya yang berasal dari istilah ayodya yang berarti “Nyaman”
Yogya masih dirindukan sebagai tempat yang nyaman untuk wisata yang aman. Sekali lagi jangan nodai dengan kebiadaban aktor politik yang ingin mengaduk aduk kerukunan, kebinnekaan dan persatuan yang terjalin lama.
Sultan Ayolah bergerak, kembalikan Yogyakarta sebagai tempat menggali filosofi kehidupan, local genius dan kreasi seni yang mendunia. Kembalikan wibawa Yogyakarta seperti sedia kala, seperti ketika dunia mengakui bahwa Yogyakarta begitu disegani di dunia semasa Hamengkubuwono IX.
Ayo dab, Balik Yogya...aman kok Poya popo!
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews