Beragam isu politik hangat di negeri ini seringkali membuat orang jadi gatel untuk memberi kritik, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Secara lisan bisa dalam bentuk ungkapan langsung perkataan atau pun aksi tertentu di tempat tertentu pula.
Tulisan kritik dapat berupa kalimat pendek maupun panjang (artikel) di media online seperti media arus utama, medsos, atau platform blog dan lain sebagainya. Tak bisa dipungkiri bahwa kegatelan itu didasarkan keberpihakan atau pemikiran tertentu terhadap suatu kebijakan, keadaan/situasi maupun tokoh politik tertentu.
Membuat tulisan kritik itu “ngeri-ngeri sedap”. Kalau tak pandai-pandai mengontrol diri akan terjebak produksi penghinaan yang berujung pada proses hukum. Apalagi bila yang terkena kritik tersebut bertipe “berdarah panas dan bertelinga tipis”. Isi kritik dipahaminya bersifat negatif. dan merendahkan dirinya. Hal ini bisa membuatnya ngamuk kemudian bikin dunia terbalik! Si penulis kritik akan dibuatnya memakai celana di kepala.
Tulisan kritik dapat berupa sebuah sindiran (satire) dengan maksud ‘menampar’ pemikiran pembaca agar melihat sisi lain secara lebih kritis dan sedikit genit namun argumentatif tentang sesuatu hal. Tulisan Satire itu sekaligus sebuah hiburan yang menyegarkan.
Segatel-gatelnya penulis kritik hendaknya tidak terjebak penghinaan terhadap seseorang atau kelompok. Walau gatel bingit, tapi hati harus "Obbie Mesakh" biarpun tadinya ingin naturalisasi tapi ternyata hanya normalisasi. Jiwa harus tetap selembut salju walau tadinya ingin rumah lapis nyatanya dianggap rumah susun.
Tulisan bernada Satire berbeda dengan Penghinaan (hate speech). Satire adalah gaya bahasa untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Satire biasanya disampaikan dalam bentuk ironi, sarkasme dan parodi. Yang agak rawan adalah Satire yang sarkasme, bila tak pandai mengolah akan menjadi kalimat penghinaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Satire adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang. Sedangkan arti kata menghina adalah merendahkan, memandang rendah, memburukkan nama baik orang, menyinggung perasaan dengan memaki atau menistakan.
Penghinaan memuat ucapan kebencian (hate speech) yakni tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dengan bentuk provokasi, hasutan ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, agama, jenis binatang, dan lain-lain.
Salah satu contoh kasus hate speech di Indonesia adalah kasus ketika Luna Maya memaki infotainment lewat twitter akhir tahun 2009 ketika Luna menghadiri acara premier film “Sang Pemimpi” yang berlokasi di EX Plaza. Kalimat yang diucapkan Luna Maya pada saat itu adalah, “Jadi bingung kenapa manusia sekarang lebih kaya setan dibandingkan dengan setannya sendiri... apa yang disebut manusia udah jadi setan semua??”; “Infotainment derajatnya lbh HINA daripada PELACUR, PEMBUNUH!!!! May your soul burn in hell!!”. Luna Maya akhirnya dituntut oleh pihak PWI (Persatuan Wartawan Indonesia).
Selain itu ada contoh kasus lain, yaitu kasus Prita yang dituduh mencemarkan nama baik RS Omni Internasional lewat e-mail dan situs dengan judul "Penipuan OMNI Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang". Prita akhirnya dituntut oleh rumah sakit tersebut setelah isi e-mail tersebut tersebar di masyarakat.
Kalau dilihat dari dua contoh kasus terebut jelas bahwa ada satu labeling tertentu yang dialamatkan kepada pihak lain yang dihina tersebut, misalnya dengan kata Pelacur, Pembunuh, Penipu. Walaupun ada yang mendasari pernyataan itu namun hal itu mengandung unsur fitnah tertulis (libel) dan fitnah lisan (slander).
Pada kasus Luna Maya, dia mengatakan “Infotaiment derajatnya lbh HINA daripada PELACUR, PEMBUNUH”. Sedangkan pada kasus Prita, dia mengatakan rumah sakit tersebut penipu. Label itu bukan cuma sebagai perumpamaan, melainkan sesuatu yang dilekatkan agar orang lain mempercayainya.
Sepintas, memang cukup sulit membedakan ‘Menghina’ dengan ‘Menyindir’, apalagi orang atau pihak yang dituju sama-sama dibuat tidak nyaman dengan tingkat yang berbeda. Inilah yang membuatnya jadi “ ngeri-ngeri sedap”.
Dalam membuat tulisan Satire (sindiran) sebaiknya mengikuti apa yang terjadi sesuai issue--konteks asli sumber resmi (media mainstream), kemudian dalam penjelasannya diberikan muatan sebuah logika lain (logika kocar-kacir atau logika jungkir-balik) yang tidak keluar dari form issue tertulis dari sumber resmi tadi.
Perbedaan terbesar antara Satire dan Sarkasme adalah Satire secara umum bisa memacu orang lain atau masyarakat untuk mengedukasi dan memperbaiki diri, sedangkan Sarkasme yang secara natural berbentuk penghinaan tidak bermuatan edukasi dan justru membunuh karakter pihak lain.
Tulisan genre Satire mentertawakan perorangan, ide, atau institusi dengan tujuan menghibur sekaligus memberi informasi dan mengajak orang lain berpikir. Sementara Sarkasme memberi label orang atau pihak lain dengan hinaan tertentu dengan cara mengajak orang lain mempercayai labeling hina tersebut.
“Dasar kau penulis otak udang, pikiranmu seperti kecoak terjepit sandal, babi ngepet, setan mabuk, kecebong bunting! Aku jijik dan mau muntah baca tulisanmu yang bau busuk. Percuma muka ganteng kayak Brad Pitt, sekolah tinggi sampai ke langit, tapi tulisanmu kurang ajar kayak orang idot!”
Nah, kalau paragraf diatas itu termasuk Satire atau Sarkasme (penghinaan)? Bagi yang bisa menjawab dengan benar akan saya beri hadiah kartu kuning plus sepeda. Sedangkan bagi yang jawabannya salah akan saya kirim ke tanah Asmad dengan biaya sendiri untuk dinormalisasikan.
Heu heu heu....
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews