Saya mulai gemar membaca sejak SD saat pihak sekolah memaksa berlangganan majalah Kuncung. Bosan dengan cerita yang itu-itu saja, saya mencoba membaca buku koleksi bapak saya yang lumayan banyak. Novel pertama yang saya baca serial Winnetou karya Karl May. Kisah suku Apache versus kulit putih Eropa. Saya seperti dibawa ke alam liar Amerika.
Setelah dewasa, saya baru tahu kalau Karl May penulis asal Jerman sewaktu menulis novel itu belum pernah menginjakan kaki ke Amerika yang menjadi setting lokasi cerita itu. Novel itu pertama kali ditulis tahun 1892, langsung meledak dan mendunia. Baru pada tahun 1908 dia mengunjungi utara Amerika. Berarti dia hanya mengandalkan bacaan, peta, dan semacamnya, selebihnya adalah imajinasi.
Saya juga melahap buku cerita silat Kho Ping Hoo yang berjilid-jilid itu. Ternyata saya juga “dibohongi “ oleh Koko Kho Ping Hoo yang dengan meyakinkan menggambarkan setting cerita di Cina. Dia mengaku sewaktu menulis cerita itu belum pernah menginjakan kaki di Cina.
[irp posts="9561" name="Kartu Kuning untuk Jokowi, Perlawanan Mahasiswa Edisi Fatamorgana"]
Tapi rupanya mengarang novel berbeda dengan menyampaikan aspirasi. Adian Napitupulu di acara Mata Najwa bertema kartu kuning mahasiswa, mengeritik Zaadit Taqwa dan kawan-kawan. “ Sebelum mengkritik gizi buruk, kalian harus ke Asmat! “ kata Adian. “"Cium aroma tubuhnya, cium keringatnya. Pahami penderitaan mereka, makan bersama mereka. “
Kurang lebih Adian bilang begini, “Untuk mengetahui tentang rakyat tidak cukup dari membaca buku. Seharusnya cium aroma tubuhnya , cium keringatnya, pahami penderitaan mereka, makan bersama mereka. Lalu baru kalian menjadi pemimpin yang lahir dari rahim rakyat itu sendiri. Kalau itu kalian lakukan sebelumnya, kartu kuningnya memiliki legitimasi sangat kuat.”
Apa harus seperti itu? Itu kan kata Adian. Beda lagi dengan pendapat mantan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) Faldo Maldini.
Seolah membela yuniornya, dia menulis di jejaring sosial, “ Apakah dibutuhkan mencium bau Adian Napitupulu untuk memahami pikiran, gagasan, dan pikirannya. Ada yang mau?" Pertanyaan yang rada kurang ajar memang. Siapa lagi yang mau …
Ucapan Faldo itu ditulis ulang di sini.
Faldo tidak berhenti pada pertanyaan itu, dia melanjutkan, “Apakah Harry Poeze pernah mencium bau Tan Malaka untuk memahami pikiran-pikiran Tan Malaka?”
"Banyak peneliti sejarah dan arkeologi yang punya pemahaman memdalam tentang masyarakat Majapahit, tanpa harus mencium bau tubuh Gajah Mada," ungkapnya.
"Sepertinya kita tidak perlu mencium bau Adian untuk memahami ada sesuatu yang membuatnya khawatir melihat kritik-kritik berkualitas dari mahasiswa," tutur penulis buku Menjaga Ideologi itu.
[irp posts="9883" name="Mereka Ini Anak UI Juga seperti Hariman Siregar dan Soe Hok Gie"]
Rezim dinilainya tampak makin serampangan berargumentasi, sebuah gejala anti kebenaran! "'Sebelum mengritik gizi buruk, kalian harus ke Asmat', pesan yang sebenarnya adalah 'hanya kami yang paham, kalian itu bodoh!'" ungkapnya.
Jadi… kalau Anda mau tahu apa yang ada dalam pikiran saya, cukup baca status-satus saya di Fesbuk, nggak perlu repot-repot datang hanya buat mencium keringat saya. Tapi kalau mau, bilang-bilang dulu, ya… biar saya sempat mandi kembang.
Iiiiih …
09022018
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews