NU, Dulu, Kini dan Esok; 92 Tahun Nahdlatul Ulama

Kamis, 8 Februari 2018 | 17:30 WIB
0
1446
NU, Dulu, Kini dan Esok; 92 Tahun Nahdlatul Ulama

"NU adalah think tank (dapur pemikiran) dari para pendiri Bangsa".

Nahdlatul Ulama organisasi terbesar, benarkah? Pada masa Gus Dur pernah diadakan survey oleh beberapa lembaga termasuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan mempresentasekan data warga NU di Indonesia sebanyak 42% sedangkan Muhammadiyah 15%. Apa makna semua ini?

Penulis bermaksud meletupkan kembali bahwa NU bukan organisasi sembarang, NU memiliki aset besar dan tanggung jawab yang sangat besar juga bagi NKRI dan Bangsa ini. Sejak berdirinya NU 31 Januari 1926, NU tergolong organisasi muda yang lahir setelah Muhammadiyah dan Persatuan Islam (PERSIS), tapi hebatnya NU mampu memiliki massa yang lebih banyak dari pada yang lainnya.

Sikap Ulama NU yang akomodatif dan selalu menyerukan Islam Wasathiyah (moderasi Islam) mampu membawa bahtera Nahdlatul Ulama di tengah kerumunan bangsa, dari kalangan elit sampai kalangan alit NU mempunyai aset-aset penting, meskipun berpuluh-puluh tahun ditindas pada masa Orde Baru.

NU ini besar karena lahir atas respon internasional, semangat para pendiri NU untuk menjaga tradisi dan khazanah keislaman yang teramat fundamental ini, membangun mindset warga NU agar senantiasa menjaga agama, dan bangsa. Kenapa NU dikatakan lahir atas respon internasional? Lha iya, andaikan saja waktu itu Ibn Saud tidak menaklukan Hijaz (Makkah dan Madinah) tidak mungkin akan berdirinya NU.

Apa hubungan Ibn Saud dan NU? Ibn Saud adalah Raja Nejed (Najdi) yang berpaham konservatif, gagasannya adalah purifikasi Islam (pemurnian ajaran). Pemahaman ini yang menjadi sebuah knowledge yang dilegitimasi oleh regime of truth (rezim kebenaran) Kerajaan Saud. Implikasi dari ini, terjadi genosida besar-besaran pembantaian ulama-ulama Ahlus Sunnah dan eksodus para Ulama yang menetap di Haramain untuk kembali ke negaranya masing-masing termasuk Indonesia.

[irp posts="6880" name="Sepengetahuanku tentang Nahdlatul Ulama"]

Kejadian yang memperihatinkan tersebut terjadi pada tahun 1924-1925. Yang penulis heran, ke mana negara-negara muslim waktu itu, apakah telah ditaklukan oleh imperium Britania dengan kekuatan Inggris pada masa itu, kita ketahuai pada tahun 1922, Imperium Britania mencakup populasi sekitar 458 juta orang, kurang lebih seperlima populasi dunia pada waktu itu dan ini dikatakan sebagai imperium paling besar.

Indonesia waktu itu masih dalam kondisi terjajah, namun Indonesia berani membentuk komite Hijaz (panitia kecil) yang dipimpin oleh organisatoris ulung KH. Abdul Wahab Chasbullah, untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Ibn Saud agar Makam Rasulullah dan Para Sahabat tidak dibongkar hanya dengan alasa Bid’ah, Churafat.

Sudah sejak dulu NU berdakwah dengan cara halus, tidak perlu frontal, sporadis, dan anarkis, gejolak besar yang merugikan ummat Islam saja NU lalui dengan hubungan diplomatik, dan ini terjadi ketika Gus Dur jadi Presiden ingin menjalin hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel, tujuan Gus Dur hanya satu menghilangkan penjajahan di atas dunia dengan cara yang halus.

Seiring kurun waktu berjalan, hari ini usia Nahdlatul Ulama hampir menuju satu Abad, di umur yang cukup tua 92 tahun ini, kiprah NU untuk bangsa tidak bisa disepelekan bahkan tidak bisa digantikan dengan material apa pun, dan yang paling penting dari NU adalah menyerahkan dirinya untuk bangsa, berkonsisten sampai hari kiamat untuk menjaga kebhinekaan dan kesatuan.

Ketika kita bicara NU, bukan bicara teori Barat tentang Islam, bukan juga bicara gerakan Islam di Timur Tengah, tapi bicara NU adalah bicara think tank (dapur pemikiran) dari para pendiri Bangsa. Islam selalu diasumsikan sebagai pemahaman yang menyatukan agama dan negara seperti dalam definisi umum (al-Din wa al-Daulah) Islam dan Negara, Islam adalah Negara.

Saya kira, seorang Profesor Yahudi Inggris-Amerika bernama Bernard Lewis telah keliru mengasumsikan negara yang berdaulat dan masyarakatnya mayoritas muslim, di situlah Islam sebagai Negara, terkecuali Republik Turki. Asumsi seperti ini, kiranya keliru betul bagi seorang Profesor Lewis. Profesor tidak melihat Indonesia dan kebhinekaannya.

NU dan Islam Kultural

Menjadi “lebih Palestina” ketimbang Palestina yang dibelanya. Menimbulkan kesan kejiwaan yang neurotik, seakan menutup diri bahwa ada pihak lainnya yang tebahak-bahak memanfaatkan kondisi tersebut.

Di Indonesia, Islam tidak dijadikan kesatuan  homogen din (agama) yang meliputi semua daulah, bahkan semua suku, bahasa, budaya, dan lainnya terakomodasi oleh masyarkat Islam itu sendiri. Muncul lah think tank tadi bahwa Islam bukan hanya din al-syari’ah (agama hukum), din al-‘aqidah (agama akidah), din al-daulah (agama negara), din al-siyasah (agama politik), tapi Islam di Indonesia adalah din al-‘ilmi (agama ilmu), din al-tsaqafah (agama budaya), dan din al-hadlarah (agama peradaban).

[irp posts="8874" name="Islam Nusantara Ala Nahdlatul Ulama, Sebuah Kritik Historis"]

Alhasil Islam hadir di Indonesia dengan wajah sumringah, relaks dan penuh senyuman, selalu berinovasi demi kebaikan dan kemajuan bangsa.

Wajah Islam Indonesia saat ini terasa begitu menegangkan. Sebagian dari kita, negeri ini, saudara kita menjadi begitu radikal, memberangus sesamanya, memberangus keluarganya, memberangus sesama anak bangsa. Menjadi “lebih Palestina” ketibang Palestina yang dibelanya. Menimbulkan kesan kejiwaan yang neurotik, seakan menutup diri bahwa ada pihak lainnya yang tebahak-bahak memanfaatkan kondisi tersebut.

Gangguan kejiwaan ini, dihadapi oleh Nahdlatul Ulama dengan relaks, mampu mengatur ritme permainan, alon-alon tapi pasti. Kelekatan Islam kultural dalam tubuh NU selalu menampilkan Islam dengan pendekatan-pendekatan budaya, tidak dengan kekuasaan, kekuatan, represi, tipuan, atau koersi senjata.

Dalam kasus Indonesia, itulah Islam yang menerobos dunia Jawa, Minang, Melayu, Makassar, dan seterusnya. Yang diterima karena ia (Islam) mendekati kita dengan menggunakan bahasa, etika, moral, serta simbol-simbol yang juga kita punya.

Srategi dakwah NU ini memiliki objektif merebut hati dan simpati, bukan merebut kuasa dalam arti kedudukan, uang, senjata, dan melulu politik. NU dulu, kini, dan esok akan tetap sama. Bukankah, dengan Islam sebagai agama dan ekspresi budaya lebih indah?

Sumber tulisan: rikaldikri.com

***