Mural, Grafitti dan Aksi Vandalisme Generasi Micin

Senin, 5 Februari 2018 | 10:03 WIB
0
1245
Mural, Grafitti dan Aksi Vandalisme Generasi Micin

Selalu ada cerita tentang keunikan yang jarang ditemukan di negeri lain(mungkin). Dalam tiga artikel di PepNews yang punya  motto "ga penting tapi perlu" saya agak menghindari politik. Ya meskipun ada sedikit nyerempetnya sih tapi karena di PepNews saya hanya akan wisata lucu-lucuan maka sengaja tidak menyentuh politik, entah mungkin nanti bila tulisan yang biasa tidak laku … coba-coba dalam wilayah kamprett….

Saya sebut demikian karena para kampret tentu akan mengerubung cerita yang ginuk-ginuk pembacanya semisal gosip artis dan politik. Saya mah mencoba setia di jalur cerita di balik cerita. Bukan hendak mengganggu pemangku jabatan yang sedang mabuk kuasa dan ketar-ketir oleh gerak gerik  KPK yang selalu siap mengintip gratifikasi pejabat. Cerita hanya remeh temeh sungguh ga penting tapi sering anda ketemukan di sekitar lingkungan terutama karena saya berdomisili di Jakarta maka yang saya sketsa ya Jakarta.

Tentang mural dan graffiti vs vandalisme

Sebetulnya saya harus membuat sketsa dari tinta untuk menghasilkan eksotisme kota dalam coretan sketsa seperti karya Genevieve Couteau (Ibu Penulis Kolom Jean Couteau; sekarang lagi pameran di Galeri Nasional Indonesia sampai tanggal 14 Februari 2018). Bicara sketsa penulis ingin mengajak anda pembaca blusukan ke perkampungan, perumahan, memelototi tembok-tembok pembatas perumahan dan perkampungan.

Dari ribuan hektar wilayah Jakarta seberapa banyak tembok-tembok yang dihias rapi dengan gambar-gambar mural atau graffiti yang membuat tembok tampak hidup dan “seni”.  Jika Graffiti dan mural itu bisa menunjukkan peradaban sebuah kota, vandalisme lain. Ia hanyalah sebuah tumpahan kemarahan, tumpahan kekesalan dan cermin kekumuhan.

Maaf penulis belum bisa mengerti mengapa vandalisme tumbuh subur di ibu kota ini. Pelakunya siapa. Mereka adalah remaja penerus masa depan bangsa. Kekumuhan pikiran dan ketidakpedulian pada lingkungan melahirkan remaja yang “cuekers” au ah gelap, EGP (Emang Gue Pikirin), dan seterusnya.

Masih ingat guru seni salah satu sekolah di Madura yang dicekik muridnya hingga tewas. Kejadiannya sepele. Menurut informasi sang murid hanya tidak terima mukanya dicoret cat oleh gurunya. Sang remaja langsung naik pitam dan dengan entengnya mencekik gurunya.

Di sekitar kehidupan remaja, banalisme, kekerasan visual menebar masif. Game-game kekerasan, sinetron perkelahian karena urusan cinta ada di jam prime time. Ketika waktunya belajar remaja dicekoki oleh adegan kekerasan, waktunya habis untuk bermain games dan gambar-gambar hidup di gadget.

Coba saja jika mereka remaja di beri wadah untuk menyalurkan bakat seninya dengan menyediakan tembok-tembok kompleks di gambar dan diperindah dengan gambar ekspresif semacam mural dan graffiti.  Sebetulnya ingin berkarya tapi oleh tekanan sosial mereka akhirnya kucing-kucingan.

Dengan uang jajan yang dikumpulkan membeli cat semprot, saat senja atau tengah malam mereka mengungkapkan perasaannya dengan mencoret-coret tembok, tidak peduli indah dan “nyeni”. Yang penting  puas mengekspresikan batin mereka yang sedang gelisah mencari jati diri di tengah pengaruh buruk visual di sekitarnya.

Belajar dari film "Dilan"

Pernah nonton film Dilan. Lihat adegan Dilan ketika ditegur dengan kasar oleh gurunya saat upacara. Si Dilan marah besar, ia balik menyerang gurunya hingga gurunya ketakutan oleh kekuatan emosi remaja, menakutkan! Dan ketika di sidang di ruang guru  logis juga Dilan mengungkapkan alasan.

Jangan ajari kekerasan. Apakah itu ajaran gurunya mengajarkan kekerasan terhadap murid. Kekerasan akan dibalas  dengan kekerasan. Guru itu digugu dan ditiru bro… jika guru memberi contoh kekerasan terhadap anak maka itulah yang akan dilakukan anak. Jika Guru memperlakukan lembut terhadap anak apa tega murid membalasnya dengan kekerasan?

Begitu juga dengan orang tua. Yang kaya terlalu menekan mereka untuk berprestasi meraih rangking tinggi dan membebani remaja dengan target pencapaian prestasi pendidikan. Yang miskin kadang kurang mendapat perhatian karena orang tuanya sibuk mencari pekerjaan hanya untuk bertahan hidup.

Sang remaja mojok di sudut-sudut gang, mencoba rokok dengan membelinya secara ketengan. Setelah “Nagih” mereka terjebak dalam pergaulan bebas, mencoba ganja, narkotik dan akhirnya tersedot oleh pusaran mafia obat-obatan terlarang. Menjadi pemakai, pengedar dan bandar.

Ungkapkan kekerasan kehidupan sosial dan kritikan dengan berkarya. Mural  menjadi tampak indah meskipun digarap dengan sederhana. Orang akan tersenyum-senyum melihat kritik sosial yang terungkap di mural dan graffiti. Tutup celah vandalisme dengan memberi mereka media berekspresi.

Jika perlu remaja diberi kesibukan di sekolah untuk menyalurkan hobi corat-coretnya. Oya, saat ini remaja sedang demam film Dilan, nostalgia cinta Dilan bisa memberi inspirasi pada remaja untuk mencintai seni dan melupakan aksi vandalisme yang meresahkan kota.

“Hai Milea, “

“Siapa kamu?”

“Siapa aku tidak penting, aku hanyalah lelaki yang ingin singgah…?

“Singgah di mana?”

“Di tembok jiwamu yang masih kosong…”

“Mengapa tembok?”

“Karena tembok kosong di hatimu aku bebas mengekspresikan perasaanku dengan melukiskan mural tentang  isi hatiku”

“Perasaan apa!?

“Perasaan apa hayo….tebak?”

“Perasaan bahwa aku mencintaimu…?”

“Aduh, kau sudah mendahului… padahal aku sedang merancang kata kata itu untukmu Milea….”

Singkat cerita remaja yang sedang mencari identitas diri harus mempunyai media ekspresi yang positif. Mereka generasi millennial yang terbentuk dari pengaruh informasi digital yang menyerbu ranah visualnya. Jika tidak mendapatkan penyaluran positif, kekerasan, vandalisme, akan membuat kota menjadi semakin kumuh, kurang beradab.

Tugas guru, pemerintah dan masyarakat serta orang tua untuk menjadi pendamping yang mampu mengarahkan remaja menemukan identitasnya tidak tergoda mencoba masuk dalam lingkaran setan NAPZA dan vandalisme.

***

Editor: Pepih Nugraha