Boleh saja menganggap Zaadit Taqwa cari perhatian saat memberi kartu kuning kepada Presiden Joko Widodo, boleh juga menilai Ketua BEM universitas beken di Depok ini mahasiswa pesanan partai tertentu. Apapun bolehlah. Tetapi satu hal, suka atau tidak, ide Zaadit ini orisinal!
Nah, orisinalitas ide ini yang kemudian di-copy paste seniornya tanpa sungkan dan malu, Fahri Hamzah, dalam sebuah acara. Bedanya, Fahri mengangkat kartu merah untuk Jokowi, sementara komprador lainnya di kiri-kanan Fahri tetap mengikuti ide orisinal Zaadit; mengangkat kartu kuning.
Kalau Zaadit mengingatkan Jokowi dengan mengangkat kartu kuning (sebenarnya notes besar bersampul kuning, kalau kartu paling besar ya seukuran telapak tangan) sambil meniup peluit, itu pertanda dalam benaknya ia mengibaratkan dirinya berada di lapangan bola dengan Jokowi sebagai salah satu pemainnya. Jadi ia sendiri mengibaratkan dirinya sebagai wasit.
Nah, pemberian kuning itu dimaksudkan sebagai simbol, Jokowi telah melakukan pelanggaran. Biasanya pelanggaran yang dilakukan pun cuma satu, bukan dua atau tiga. Dengan memposisikan diri sebagai wasit, anak muda ini bercita-cita sangat praktis; tidak ingin menjadi pemain, melainkan cukup menjadi wasit saja. Setidak-tidaknya sedikit lebih mulialah daripada sekadar menjadi penonton.
[irp posts="9693" name="Teganya Fahri dan Fadli Renggut Keperawanan Kartu Kuning Zaadit"]
Apa makna kartu merah Fahri Hamzah yang diberikan kepada Jokowi usai pembukaan musyawarah nasional Keluarga Alumni Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAKAMMI) di Hotel Royal Kuningan pada Sabtu, 3 Februari 2018 itu?
Fahri mengatakan, kartu kuning yang diberikan mahasiswa Zaadit kepada Jokowi itu merupakan komando untuk mengingatkan pemerintah. “Kebetulan saya ada kartu merah, jadi saya keluarin kartu merah,” kata Fahri Fahri sambil menunjukkan kartu merah yang dimilikinya, sebagaimana dikutip sejumlah media.
Fahri kemudian beralasan pemerintah harus terus menerus melakukan evaluasi dalam perjalanan Indonesia secara mendalam apakah sudah "on the track" atau tidak. Di sisi lain, Jokowi menurut Fahri harus mengajak mahasiswa berbicara dan merespon dengan baik apa yang disampaikan. Ketika mahasiswa membuat gerakan yang lebih besar, katanya, maka akan lebih sulit untuk diajak bicara.
Kartu kuning untuk Jokowi diberikan Zaadit saat Presiden Jokowi menghadiri acara Dies Natalis-UI ke-68, Jumat 2 Februari 2018 lalu, usai Jokowi memberikan sambutan dan meresmikan Forum Kebangsaan Universitas Indonesia. Zaadit kemudian ditangani oleh Pasukan Pengamanan Presiden. Tentu saja Fahri tidak ditekuk Paspampres meski kartu yang diberikan merah karena tidak sedang dekat-dekat Jokowi.
Jika Fahri pun menganggap kartunya untuk permainan sepak bola, tentu saja kartu merah yang diberikan kepada Jokowi pertanda Jokowi harus keluar dari lapangan sebagai pemain. Fahri mungkin memaknakan lebih jauh dengan kartu merahnya itu, yaitu pertanda Jokowi harus berhenti bermain sebagai Presiden RI. Itu pesan tersirat yang ingin disampaikannya.
Sebenarnya kalau Fahri mau bersabar, ada waktunya bagi dia untuk "memberhentikan" Jokowi, yaitu saat Pilpres 2019 nanti. Sejujurnya, waktu yang dimiliki baik Fahri maupun Jokowi sama-sama kurang dari dua tahun lagi. Bahkan, Fahri punya waktu lebih sedikit lagi. Pasalnya, Pemilu legislatif itu mendahului Pilpres.
Iya kalau PKS masih mau mengusungnya lagi sebagai caleg, wong kartu merah yang kini dibawa-bawanya itu simbol kalau dia sudah diberhentikan PKS secara tidak hormat. Untuk itulah ia kemana-mana membawa kartu merah dan sesekali mengangkatnya di acara KAKAMMI itu. Tapi karena kelihaian Fahri berargumen dan proses hukum memenangkannya, ia tetap menjadi Wakil Ketua DPR. Sampai di sini, salutlah kepada Fahri. Dia pandai dan lihai.
[irp posts="9708" name=" Tritukarning" Minus Dua, Tritura Jaman Now Gaya Anak UI"]
Tapi soal mencontek ide orisinal Zaadit, itu soal lain. Di sini kepandaian dan kelihaiannya tidak nampak ke permukaan, tenggelam oleh euforia Zaadit yang oleh haters Jokowi dielu-elukan sebagai hero, tetapi sebaliknya lovers Jokowi menganggapnya zero. Ah, itu mah biasa, hukum medsos memang begitu, ga usah baper.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi Sapto Prabowo mengungkapkan, Jokowi tidak tersinggung mendapat kartu kuning dari mahasiswa UI itu. Bahkan Jokowi sendiri mengajak Zaadit untuk sama-sama melihat Asmat dari dekat bagaimana susahnya medan di sana. Jokowi seolah-olah mau bilang, "mahasiswa modalnya jangan cuma omong doang, tetapi lihat kenyataannya di lapangan!"
Agar momen ini tetap heroik, sebaiknya Zaadit tidak menerima ajakan Jokowi karena berarti difasilitasi oleh negara. Kepalang tanggung, lebih baik Fahri saja yang membiayai kepergian Zaadit ke Asmat, dengan dana baik dari kocek Fahri sendiri maupun dana DPR, sebagai dana taktis untuk mengawasi kinerja pemerintah. Pasti bisa diaturlah.
Memang ajakan Jokowi itu dilema buat Zaadit yang kalau dalam permainan catur seperti langkah "zug zwang" alias serba salah. Ajakan diterima, ia akan diejek temennya... "yah.... ngangkat kartu kuning itu ternyata cuma mau naik pesawat gratis ke Papua". Jika ditolak, publik semakin diyakinkan bahwa Zaadit memang cuma omong doang, tidak mau melihat kenyataannya di lapangan.
Tidak adil memang, tidak apple to apple, masak Jokowi lawannya mahasiswa. Ibarat Grand Master lawan Master Percasi, ya ga imbanglah.
Jadi apa yang harus diapreasi dari tindakan Zaadit? Yaaa... hargailah ide orisinalnya.
Lalu, apa yang harus diapresiasi dari tindakan Fahri yang mencontek ide orisinal Zaadit? Ya.... hargai jugalah usahanya, 'kan kesempatannya manggung di pentas politik nasional kurang dari dua tahun lagi.
Adil, kan?
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews