Menarik membaca hasil penelitian lembaga survei LSI-Denny JA yang masih menempatkan isu primordialisme sebagai “pengaruh politik” yang cukup signifikan terutama dalam menggambarkan relasi agama dan politik pada tataran sebuah kontestasi.
LSI mengungkap, ada sekitar 40,7 persen masyarakat yang menempatkan agama dan politik sebagai sebuah hal yang tak bisa dipisahkan, yaitu saling mempengaruhi bahkan menentukan, dan di sisi lain kecenderungan masyarakat terhadap pemisahan antar keduanya —walaupun tetap masih menganggap adanya saling korelasi— tercatat sekitar 32,5 persen, hanya terpaut 7 persen, soal bagaimana cara pandang masyarakat Indonesia terhadap kenyataan politiknya.
Isu primordial tentu saja memiliki pengaruh langsung terhadap suasana pilihan politik, terlebih jika dihubungkan dengan ajang kontestasi politik nasional yang semakin mendekati waktunya.
Sejauh ini, nama dua kandidat capres tetap memiliki nilai elektabiltas yang cukup tinggi ditengah masyarakat, yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto (Prabowo). Hampir tidak ada calon alternatif lainnya yang sanggup mengalahkan elektabilitas keduanya dalam hal kriteria sebagai capres.
Jokowi memang unggul dalam setiap rilis survei, selalu berada di angka 48 persen dibanding elektabilitas kandidat lainnya. Namun, tingginya persentase elektabilitas bukanlah jaminan bahwa Jokowi akan memperoleh kemenangan dalam sebuah ajang kontestasi. Tingginya persentase elektabilitas bukanlah jaminan bahwa Jokowi akan memperoleh kemenangan dalam sebuah ajang kontestasi.
Capres tentu saja tak mungkin sendiri, karena selalu menjadi satu paket dengan cawapres-nya. Salah dalam memilih cawapres, bisa saja menjadi bencana politik yang akan merugikan bahkan “menghancurkan” seluruh elektabilitas pencapresannya sendiri. Saya kira, isu primordialisme yang tampak cukup menguat belakangan, juga harus menjadi perhatian khusus, terutama dalam menjaga citra elektabilitas seseorang secara politik.
Keberadaan isu primordialisme di tengah masyarakat Indonesia, bukanlah sesuatu yang dianggap enteng, terutama terkait dengan kenyataan “mayoritas” dan “minoritas” keagamaan di Indonesia. Keberadaan mayoritas orang Indonesia yang beragama Islam, akan mudah sekali ditarik dalam suasana isu primordialisme agama yang bisa saja merubah seluruh cara pandang masyarakatnya terhadap dunia politik.
Sekuat apapun terpaan isu soal pemisahan agama dan politik ataupun sebaliknya, penggabungan antara agama dan politik, isu primordialisme keagamaan tetap akan menjadi “isu sentral” dalam hal ajang kontestasi apapun. Hal ini terkait dengan kenyataan “mayoritas” yang juga dianut dan diaplikasikan dalam sebuah iklim demokrasi.
Demokrasi memungkinkan keterpilihan seseorang karena mayoritas suara terbanyak, tak perduli apa latar belakang ideologi politik atau keagamaannya. Namun disisi lain, sebuah kenyataan politik tak bisa dilepaskan dari lingkup keniscayaan “mayoritas” keagamaan yang dianut sebagian besar masyarakatnya.
Dalam beberapa hal, seseorang akan memilih selaras dengan ideologi politik dan keyakinannya yang dianut sekaligus, hampir tak bisa “memisahkan” hanya kesamaan ideologi politiknya atau keyakinan keagamaannya saja yang berpengaruh.
Di sinilah saya kira, sulit untuk memberikan pemahaman bahwa agama dan politik benar-benar merupakan dua entitas yang terpisah, karena ideologi politik dan keyakinan keagamaan sesungguhnya berasal dari “satu rumah”.
Saya sepakat dengan Kacung Marijan, pengamat politik dari Universitas Airlangga yang menyebutkan, bahwa isu agama akan lebih kental mewarnai ajang Pilpres 2019 mendatang. Marijan menyarankan, Jokowi sebagai seorang nasionalis seharusnya dapat memilih pendampingnya dari kalangan Islam yang memiliki basis massa pendukung yang kuat dan mengakar, sebagai bentuk antisipasi perlawanan politik dari para pesaingnya kelak.
Saya kira, beberapa nama kandidat cawapres sudah beredar di kalangan publik yang memiliki kedekatan dengan kalangan Islam sehingga mampu mendongkrak elektabilitas Jokowi pada akhirnya. Isu primordial bukan hal sepele yang mudah terabaikan, tetapi isu ini cukup kuat berpengaruh terhadap kenyataan elektabilitas seseorang.
Tidak menutup kemungkinan, isu primordialisme yang mewujud dalam perspektif relasional antara keyakinan agama dan ideologi politik, akan lebih menguat di ajang pilpres, dibanding ajang-ajang kontestasi lainnya, seperti di Pilkada Jakarta sebelumnya. Primordialisme justru seakan semakin menguat, akibat banjirnya informasi yang dibawa oleh berbagai media, termasuk akses masyarakat yang mudah terhadap internet dan media sosial.
Teknologi dalam banyak hal berhasil mengubah pola pikir masyarakat dari yang tadinya sekadar aspiran, menjadi partisipan politik secara aktif. Kenyataan media sosial sangat jelas menggambarkan hal itu dan betapa isu primordialisme terus dihembuskan dan hampir mampu mengkooptasi isu-isu yang bersifat nasional lainnya.
Semangat primordialisme yang berasal dari nilai-nilai keyakinan yang dianut oleh masyarakat, pada akhirnya dapat membentuk sebuah “semangat politik” yang memiliki korelasi dengan penentuan pilihan-pilihan politik mereka, mengenyampingkan ideologi politik yang rasional, atau bahkan melampaui “semangat keagamaan” mereka sendiri.
Agama yang pada awalnya memang bersifat sangat individualistik dan personal, akibat isu primordial yang semakin menguat, sangat mungkin berubah menjadi semangat sosial yang berpengaruh sangat besar terhadap kenyataan pilihan politik. Mengenyampingkan atau tak peduli dengan isu primordial, sama saja pada akhirnya apolitis: unggul di tataran survei tetapi lemah dalam hal elektoral.
Seorang kandidat memang dituntut untuk mampu secara baik mengelola isu primordial yang dipastikan menguat ditengah masyarakat. Salah sedikit saja dalam mengelola isu tersebut, tidak menutup kemungkinan, elektabilitasnya akan terus merosot dan sulit mengembalikan kembali kepercayaan masyarakat. Saat ini sudah banyak para kandidat yang dengan sangat piawai mengampu isu primordialisme sehingga mulai menunjukkan lonjakan elektabilitas yang ada pada dirinya.
Jenderal Gatot Nurmantyo dan Agus Harimurti Yudhoyono adalah dua “kandidat” yang terlihat sukses mengelola isu-isu primordialisme yang dikaitkan dengan kenyataan politik. Kedua nama ini, saya kira, telah masuk dalam jaringan survei politik yang banyak diangkat oleh lembaga sigi, terus menjadi entitas populer ditengah ajang kontestasi politik nasional tahun depan.
Walaupun tidak menutup kemungkinan akan muncul sosok alternatif selain nama Jokowi dan Prabowo sebagai kandidat capres, namun tetap saja pada akhirnya, unsur primordialisme masyarakat tak mungkin diabaikan begitu saja. Ketika banyak lembaga sigi yang kemudian menggiring opini publik pada persoalan siapa pendamping yang pas bagi masing-masing kandidat capres, saya justru berharap muncul nama lain yang pada akhirnya cukup bisa diterima secara “mayoritas” oleh masyarakat, bukan sekadar pendamping bagi calon kandidat yang telah ada.
Hal ini, saya kira, masih memungkinkan dengan dukungan parpol yang memenuhi 20 persen presidential treshold, untuk memunculkan calon kandidat baru diluar dua kandidat sebelumnya. Mengelola isu primordial menjadi sangat penting, di tengah dinamika politik, yang sulit bahkan tak mungkin melepaskan begitu saja relasi-relasi keagamaan dan kekuasaan.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews