Harlah 92 NU, Kebangkitan Ulama dan Kekuasaan Politik

Kamis, 1 Februari 2018 | 13:55 WIB
0
507
Harlah 92 NU, Kebangkitan Ulama dan Kekuasaan Politik

Setiap tanggal 31 Januari, ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) selalu memperingati hari kelahirannya (harlah) yang kemarin 31 Januari 2018, NU memperingati umurnya yang sudah mencapai 92 tahun. Mungkin bukan suatu kebetulan, bahwa kelahiran NU pada 1926 lekat dengan nuansa sejarah kebangkitan ulama sekaligus kemajuan pemikiran Islam yang ditandai oleh semakin mudahnya akses terhadap buku-buku karya ulama-ulama klasik yang masuk ke Indonesia.

Pembukaan kanal Suez di abad 19 semakin mempererat hubungan Indonesia-Mekkah dan membanjirinya buku-buku soal perkembangan pemikiran Islam dalam berbagai bidang, termasuk sosial, politik, fiqih, dan juga tasawwuf. Banyak orang Indonesia yang pergi haji ke Mekkah, menetap, dan bahkan mengajar disana. Inilah kemudian geliat “kebangkitan ulama” yang ditangkap oleh sebagian besar ulama Indonesia untuk selanjutnya mendirikan ormas demi perkembangan kemajuan pemikiran Islam.

D isaat dunia Islam dilanda krisis “kemunduran”, akibat konflik sosial-politik yang mewujud dalam praktik perebutan kekuasaan, Nusantara malah sedang mengalami titik puncaknya, sebuah “kemajuan” dimana banyak terbentuk organisasi-organisasi sosial-politik yang didominasi kelompok elit muslim, tumbuhnya pendidikan baik secara formal maupun non-formal yang tak lain merupakan efek tekanan politik akibat penjajahan.

Kebijakan pemerintahan Belanda yang membuka akses seluas-luasnya bagi kalangan muslim—termasuk bidang pendidikan dan sosial-politik—melahirkan berbagai gerakan kemerdekaan dalam wujud organisasi keagamaan, termasuk kemudian lahir ormas, seperti Muhammadiyah dan NU.

[irp posts="8874" name="Islam Nusantara Ala Nahdlatul Ulama, Sebuah Kritik Historis"]

Kebangkitan Ulama yang kemudian diterjemahkan menjadi “Nahdlatul Ulama”, selain terdorong oleh semangat kemerdekaan, juga akibat dampak puritanisme yang menggejala yang menganggap aspek “kemunduran” umat Islam karena kejumudan dan kekakuan pemikiran. Kelompok puritan menganggap, umat muslim terlampau gandrung terhadap kajian mistis dan tasawwuf sehingga Islam telah bercampur dengan aspek bid’ah dan khurafat sehingga perlu “dimurnikan” kembali sesuai dengan ajaran Islam zaman keemasan: yaitu zaman kenabian Muhammad dan para sahabat.

Gerakan puritanisme justru menyasar langsung kalangan ulama Nusantara yang tetap menganggap aspek kebudayaan—termasuk mistisisme dan tradisi masyarakat—tidaklah bertentangan dengan kemurnian ajaran Islam.

Gerakan puritanisme yang semakin menguat di Hijaz—sekarang Arab Saudi—setelah klan Sa’ud menguasainya, membuat keinginan penguasa Arab memberangus segala macam praktik yang dianggap tidak “murni” berasal dari ajaran Islam.

Dampak gerakan ini jelas, tak ada toleransi sedikitpun terhadap tradisi keislaman, termasuk didalamnya ziarah kubur, penghormatan atas jasa para ulama yang tersebar dalam berbagai kitab-kitab klasik yang mu’tabarah dan yang paling mengkhawatirkan, seluruh situs-situs penting yang seharusnya menjadi kebanggaan umat Islam sebagai pengingat sejarah justru akan dihancurkan.

Keberadaan Komite Hijaz yang merangkum berbagai organisasi muslim dunia, membuat kalangan ulama Nusantara berkeinginan menyampaikan aspirasinya agar Arab Saudi tetap menghargai dan menghormati tradisi—termasuk mempertahankan situs-situs sejarah Islam—sehingga mereka membuat organisasi yang dinamakan NU, sebagai representasi bangkitnya ulama melawan gerakan puritan yang menyoal tradisi keislaman.

Saya memandang, kelahiran NU justru mendorong penghargaan yang tinggi atas tradisi-tradisi ulama terdahulu—yang mewujud dalam berbagai pemikiran yang tersebar dalam kitab-kitab klasik—yang waktu itu hendak dinegasikan oleh kalangan puritanis. Istilah “kebangkitan ulama” berarti memiliki muatan “berkemajuan” dalam hal penerimaan keilmuan para ulama terdahulu yang harus disebarkan dan ditularkan melalui kegiatan-kegiatan pendidikan.

Pada tataran ini, NU bukanlah ormas Islam tradisional yang sekadar memiliki semangat mempertahankan tradisi keislaman, tetapi menggagas “kemajuan” dalam hal pendidikan, melalui reinterpretasi atas pemikiran dan karya ulama  yang diserap kemudian dalam institusi ke-NU-an, seperti pesantren.

Para ulama bangkit melawan kebodohan, kekuasaan politik para penjajah, sekaligus “penjaga” atas tradisi-tradisi Islam yang dianggap “kemunduran” oleh kalangan puritanisme. Para ulama bukanlah sebatas penjaga umat, tetapi lebih dari itu, merekalah sesungguhnya “umat terpilih” diantara sekian macam mahluk ciptaan Tuhan. Dalam sebuah hadis disebutkan, “sebaik-baik umat adalah ulamanya, dan sebaik-baik ulama adalah mereka yang saling berkasih-sayang dengan sesamanya”.

Kepedulian dan rasa tanggungjawab yang besar kepada umat, mendorong para ulama bangkit, memperbaiki dan memberikan dorongan kemajuan kepada umatnya. Ulama—kata Ibnu Mas’ud—bukanlah yang paling banyak bicara atau berorasi, tetapi ulama adalah mereka yang banyak memiliki rasa takut kepada Sang Penciptanya.

Belakangan, istilah “kebangkitan ulama” mencuat menjadi isu yang menggelitik, setelah muncul fenomena “gerakan politik” yang mengatasnamakan para ulama. Para ulama yang semestinya dapat memberikan nuansa kasing sayang dan kepedulian kepada umatnya, malah terkesan saling berebut pengaruh dalam memperoleh kekuasaan.

Mereka kemudian banyak yang dikooptasi oleh gerakan-gerakan politik demi meluapkan rasa haus mereka terhadap kekuasaan, sehingga wajar jika kemudian muncul kritikan dari umatnya sendiri.

Tak sedikit bahkan umat yang kecewa dan marah terhadap para ulama yang terlampau gandrung berebut pengaruh demi mengejar keuntungan kekuasaan. Padahal, ulama dan berbagai gelar keulamaan yang tersemat dalam pribadi seseorang adalah keistimewaan dari Tuhan, karena rasa takut mereka kepada Tuhannya melebihi mahluk ciptaan-Nya yang lain. Jika sudah berebut kekuasaan, bukankah mereka tidak lagi takut kepada Tuhannya sendiri?

Ada suatu hal yang sangat kontras, ketika melihat sejarah “kebangkitan ulama” yang diinisiasi NU pada 1926 lalu dengan istilah “kebangkitan ulama” yang menjadi isu belakangan ini.

Jika dulu, para ulama merasa bertanggungjawab penuh karena rasa kasih sayang yang begitu besar pada umatnya, menjaga mereka dari gempuran “pembodohan” dan kesewenang-wenangan penjajah melalui kekuatan literasi dalam bidang pendidikan, sosial-politik dan agama, maka kini istilah “kebangkitan ulama” justru setali tiga uang dengan keinginan meraih kekuasaan politik, memperoleh previlege dari kekuasaan dan membiarkan umatnya terjerembab dalam praktik “kebodohan”, saling membenci, memfitnah, dan menjatuhkan demi kekuasaan yang memanjakan.

Ulama tentu saja bukan para “manajer Tuhan” yang menganggap sebagai “mandataris” Tuhan, dimana setiap keinginannya adalah cermin dari keinginan Tuhan dan apa yang dibencinya adalah selaras dengan kebencian Tuhan sendiri. Refleksi sejarah “kebangkitan ulama” yang diinisiasi NU, saya kira, perlu dijadikan pelajaran yang sangat berharga, dimana para ulama bangkit sebagai pembimbing umat, mengarahkan umat, dan meningkatkan kecerdasan umat, melalui kepedulian dan rasa kasih sayangnya terhadap umat, tidak membiarkan mereka dalam kebodohan dan perpecahan.

Sembilan puluh dua tahun kelahiran NU, seharusnya menyadarkan, betapa ulama adalah mereka yang peduli pada umat, bukan memikirkan hasrat perolehan kekuasaan untuk kesenangannya sendiri.

***

Editor: Pepih Nugraha