Di tengah kunjungan kenegaraannya ke Asia Selatan, Presiden Joko Widodo tiba-tiba didaulat untuk memimpin shalat jamaah dzuhur di salah satu masjid di wilayah Kabul, Afghanistan. Seluruh rombongan kepresidenan dan tuan rumah—termasuk Presiden Ghani— dan beberapa ulama Afghanistan menjadi makmum dalam shalat jamaah kali ini.
Bukanlah suatu kebetulan, bahwa Jokowi menjadi “imam kehormatan” dalam shalat berjamaah kali ini, sesuai dalam tradisi Sunni, seorang kepala negara (imam), tentu saja sudah semestinya identik dengan “imam” dalam shalat, di mana seluruh “gerakan” imam harus selaras dan senada dengan makmumnya. Jika makmumnya tak selaras dengan imamnya, itu pertanda makmum “mufaraqah” (memisahkan diri) dari seluruh rangkaian shalat jamaah.
Cerita soal shalat jamaah Jokowi ini mengingatkan saya pada sebuah unggahan seorang kawan, ketika dirinya terburu-buru hendak mengejar waktu maghrib. Di sebuah rest area TMII yang akan menuju jalan tol Jagorawi, Muhib —sapaan akrab Ahmad Muhibuddin yang masih sepupu saya sendiri— kemudian memarkirkan mobilnya ke sebuah masjid. Sambil menunggu adzan Magrib berkumandang di Masjid Zahida, dirinya telah berada di barisan (shaf) paling depan untuk mengikuti rangkaian shalat Maghrib.
Salah satu jamaah kemudian mempersilahkan dirinya untuk menjadi imam dalam shalat. Seusai selesai shalat, Muhib tanpa sengaja menoleh ke belakang, dan tampak beberapa orang tegap berdiri dengan berkaos warna merah bata dan bertuliskan “Paspampres”. Ternyata tanpa disadarinya, Presiden Jokowi saat itu hadir dan ikut shalat jamaah maghrib di saat dirinya menjadi imam shalat tadi!
Melihat kondisi ini, saya berasumsi, Jokowi nampaknya sadar betul, bahwa menjaga waktu shalat di awal waktu adalah sangat penting, tak peduli di sela kesibukannya sebagai seorang pemimpin negara sekalipun. Shalat tampaknya menjadi “kebutuhan” bukan lagi sekadar “kewajiban” bagi dirinya.
Sulit untuk menjelaskan jika bukan karena pentingnya waktu shalat di awal waktu, Jokowi rela mengorbankan waktunya untuk sekadar mampir di sebuah rest area kecil hanya menghormati waktu shalat maghrib yang telah masuk. Muhib mungkin bukan orang pertama yang menunggu waktu shalat maghrib berjamaah saat itu, tetapi Jokowi-lah yang terlebih dahulu datang ke masjid tersebut sebelum adzan Maghrib berkumandang.
[embed]https://youtu.be/Wfq0ZuWoyt4[/embed]
Sejauh ini, tersebar isu-isu negatif soal Jokowi yang selalu diidentikkan dengan penguasa yang tak “pro-Islam” dengan berbagai tudingan-tudingan yang semakin hari kian tak masuk akal. Nampaknya, seluruh tudingan itu sengaja mendiskreditkan Jokowi sebagai seorang muslim dan justru pada hari itu terbantahkan. Bagaimana tidak, siapapun hampir sulit untuk menyempatkan waktu shalat tepat di awal waktu, terutama bagi mereka yang sangat sibuk, apalagi seorang kepala negara yang harus taat aturan protokoler.
Muhib, menyebut Presiden Jokowi sebagai “Presiden Waqita” (kepala negara yang menghargai waktu, terutama waktu shalat) yang mungkin sulit ditemukan dalam diri presiden-presiden yang lainnya di negeri ini. Lalu, apakah shalat maghrib tepat waktu di tengah-tengah rest area kecil yang tidak banyak diketahui publik adalah pencitraan? Saya rasa anda dapat menilainya sendiri.
[irp posts="9318" name="Melihat dari Dekat Hubungan India, Pakistan dan Indonesia"]
Rasanya biasa, ketika kebanyakan di antara kita sibuk mengurusi orang lain, walaupun tanpa disadari sebenarnya urusan diri sendiri kita malah terbengkalai. Saya malah teringat akan sebuah ayat dalam kitab suci Al-Quran yang menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu (memata-matai) mencari-cari kesalahan orang lain” (Al-Hujurat: 12).
Hampir dipastikan, kita terlampau sibuk mencari-cari kesalahan orang lain dan luput untuk menimbang kesalahan diri kita sendiri. Lihatlah beragam unggahan yang beredar di media sosial, betapa kita kebanyakan hanya menggunjing, mencari kesalahan, dan memata-matai orang lain, sehingga diri kita sendiri yang lebih besar kesalahannya malah cenderung tak pernah diperbaiki.
Bagi saya, soal ibadah—apalagi shalat—tak dapat dimaknai secara politis, karena shalat merupakan kewajiban pribadi setiap muslim yang mukallaf, sadar bahwa itu bukan sekadar “kewajiban” agama, tetapi merupakan “kebutuhan” seseorang untuk sejenak “berdialog” dengan Tuhannya.
Yang paling sulit justru adalah menjaga waktu-waktu shalat yang harus tepat waktu dan yang terbaik adalah menjalankannya di awal waktu (afdhal), bukan di pertengahannya (khiyar), apalagi dilakukan di akhir waktu (makruh). Saya kira, tidak menutup kemungkinan, bahwa Jokowi pada saat menjadi makmum shalat jamaah maghrib di Masjid Zahida rest area TMII adalah dalam rangka dirinya menjaga keutamaan waktu shalat bukan hal lain terkait politik pencitraan.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Afghanistan kali ini adalah kunjungannya yang fenomenal, karena setelah 57 tahun, Presiden Indonesia menginjakkan kembali kakinya di sana. Di tengah berkecamuknya konflik sosial-keagamaan, Jokowi tampak bergeming untuk tetap mengunjungi Afghanistan.
Konflik yang berkepanjangan membuat negara ini semakin jatuh terpuruk dalam kondisi kekacauan, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Kehadiran Jokowi sebagai bagian dari muslim Indonesia, diharapkan dapat memberi pengaruh bagi perdamaian di Afghanistan, sehingga mampu mengurai beban konflik yang menggurita di wilayah itu.
Kita tentu patut berbangga menjadi warga negara Indonesia, yang walaupun berada dalam kultur masyarakat yang heterogen, namun tetap menjaga citra kesatuan dan persatuan dalam payung besar ideologi Pancasila. Melalui payung besar ideologi inilah bangsa ini tetap utuh dan kokoh, tak mudah dihantam konflik sosial-keagamaan apalagi sampai berkepanjangan, walaupun ditengah perbedaan paham yang semakin menajam.
Kultur “Islam moderat” di Indonesia tetap tumbuh subur, menjadi ciri dari kepribadian setiap masyarakat muslimnya, sehingga perbedaan-perbedaan apapun yang sedikit saja mengarah pada nuansa konflik, mudah sekali diredam.
Saya kira, Jokowi juga tampak menyadari, betapa riuh-riuh ke arah konflik sosial-keagamaan yang terkadang mewujud dalam wajah politik, tetap ada, namun berhasil dengan mudah ditepisnya. Sisi lain dari kepribadian dirinya adalah tak mudah terbawa arus, tetap konsisten dengan cara pandangnya sendiri yang tampak “moderat” seraya tak mau kompromi dengan berbagai kalangan yang dianggapnya berwajah “ekstrimis”.
Kritik terhadap dirinya adalah hal wajar, apalagi melakukan kritik terhadap berbagai kebijakannya yang dianggap tak pro rakyat, namun, jika soal shalat dan dirinya yang menjadi imam bagi Presiden Afghanistan saja di-nyinyiri, atau dituding sebagai bentuk pencitraan politik, itu sama halnya dengan menggunjing dan mencari-cari kesalahan orang lain yang justru bukan bagian dari etika komunitas beragama.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews