Saat Presiden Gani Menjadi “Makmum” Presiden Jokowi

Rabu, 31 Januari 2018 | 09:13 WIB
0
477
Saat Presiden Gani Menjadi “Makmum” Presiden Jokowi

Di tengah kunjungan kenegaraannya ke Asia Selatan, Presiden Joko Widodo tiba-tiba didaulat untuk memimpin shalat jamaah dzuhur di salah satu masjid di wilayah Kabul, Afghanistan. Seluruh rombongan kepresidenan dan tuan rumah—termasuk Presiden Ghani— dan beberapa ulama Afghanistan menjadi makmum dalam shalat jamaah kali ini.

Bukanlah suatu kebetulan, bahwa Jokowi menjadi “imam kehormatan” dalam shalat berjamaah kali ini, sesuai dalam tradisi Sunni, seorang kepala negara (imam), tentu saja sudah semestinya identik dengan “imam” dalam shalat, di mana seluruh “gerakan” imam harus selaras dan senada dengan makmumnya. Jika makmumnya tak selaras dengan imamnya, itu pertanda makmum “mufaraqah” (memisahkan diri) dari seluruh rangkaian shalat jamaah.

Cerita soal shalat jamaah Jokowi ini mengingatkan saya pada sebuah unggahan seorang kawan, ketika dirinya terburu-buru hendak mengejar waktu maghrib. Di sebuah rest area TMII yang akan menuju jalan tol Jagorawi, Muhib —sapaan akrab Ahmad Muhibuddin yang masih sepupu saya sendiri— kemudian memarkirkan mobilnya ke sebuah masjid. Sambil menunggu adzan Magrib berkumandang di Masjid Zahida, dirinya telah berada di barisan (shaf) paling depan untuk mengikuti rangkaian shalat Maghrib.

Salah satu jamaah kemudian mempersilahkan dirinya untuk menjadi imam dalam shalat. Seusai selesai shalat, Muhib tanpa sengaja menoleh ke belakang, dan tampak beberapa orang tegap berdiri dengan berkaos warna merah bata dan bertuliskan “Paspampres”. Ternyata tanpa disadarinya, Presiden Jokowi saat itu hadir dan ikut shalat jamaah maghrib di saat dirinya menjadi imam shalat tadi!

Melihat kondisi ini, saya berasumsi, Jokowi nampaknya sadar betul, bahwa menjaga waktu shalat di awal waktu adalah sangat penting, tak peduli di sela kesibukannya sebagai seorang pemimpin negara sekalipun. Shalat tampaknya menjadi “kebutuhan” bukan lagi sekadar “kewajiban” bagi dirinya.

Sulit untuk menjelaskan jika bukan karena pentingnya waktu shalat di awal waktu, Jokowi rela mengorbankan waktunya untuk sekadar mampir di sebuah rest area kecil hanya menghormati waktu shalat maghrib yang telah masuk. Muhib mungkin bukan orang pertama yang menunggu waktu shalat maghrib berjamaah saat itu, tetapi Jokowi-lah yang terlebih dahulu datang ke masjid tersebut sebelum adzan Maghrib berkumandang.

[embed]https://youtu.be/Wfq0ZuWoyt4[/embed]

Sejauh ini, tersebar isu-isu negatif soal Jokowi yang selalu diidentikkan dengan penguasa yang tak “pro-Islam” dengan berbagai tudingan-tudingan yang semakin hari kian tak masuk akal. Nampaknya, seluruh tudingan itu sengaja mendiskreditkan Jokowi sebagai seorang muslim dan justru pada hari itu terbantahkan. Bagaimana tidak, siapapun hampir sulit untuk menyempatkan waktu shalat tepat di awal waktu, terutama bagi mereka yang sangat sibuk, apalagi seorang kepala negara yang harus taat aturan protokoler.

Muhib, menyebut Presiden Jokowi sebagai “Presiden Waqita” (kepala negara yang menghargai waktu, terutama waktu shalat) yang mungkin sulit ditemukan dalam diri presiden-presiden yang lainnya di negeri ini. Lalu, apakah shalat maghrib tepat waktu di tengah-tengah rest area kecil yang tidak banyak diketahui publik adalah pencitraan? Saya rasa anda dapat menilainya sendiri.

[irp posts="9318" name="Melihat dari Dekat Hubungan India, Pakistan dan Indonesia"]

Rasanya biasa, ketika kebanyakan di antara kita sibuk mengurusi orang lain, walaupun tanpa disadari sebenarnya urusan diri sendiri kita malah terbengkalai. Saya malah teringat akan sebuah ayat dalam kitab suci Al-Quran yang menyebutkan, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu (memata-matai) mencari-cari kesalahan orang lain” (Al-Hujurat: 12).

Hampir dipastikan, kita terlampau sibuk mencari-cari kesalahan orang lain dan luput untuk menimbang kesalahan diri kita sendiri. Lihatlah beragam unggahan yang beredar di media sosial, betapa kita kebanyakan hanya menggunjing, mencari kesalahan, dan memata-matai orang lain, sehingga diri kita sendiri yang lebih besar kesalahannya malah cenderung tak pernah diperbaiki.

Bagi saya, soal ibadah—apalagi shalat—tak dapat dimaknai secara politis, karena shalat merupakan kewajiban pribadi setiap muslim yang mukallaf, sadar bahwa itu bukan sekadar “kewajiban” agama, tetapi merupakan “kebutuhan” seseorang untuk sejenak “berdialog” dengan Tuhannya.

Yang paling sulit justru adalah menjaga waktu-waktu shalat yang harus tepat waktu dan yang terbaik adalah menjalankannya di awal waktu (afdhal), bukan di pertengahannya (khiyar), apalagi dilakukan di akhir waktu (makruh). Saya kira, tidak menutup kemungkinan, bahwa Jokowi pada saat menjadi makmum shalat jamaah maghrib di Masjid Zahida rest area TMII adalah dalam rangka dirinya menjaga keutamaan waktu shalat bukan hal lain terkait politik pencitraan.

Kunjungan Presiden Jokowi ke Afghanistan kali ini adalah kunjungannya yang fenomenal, karena setelah 57 tahun, Presiden Indonesia menginjakkan kembali kakinya di sana. Di tengah berkecamuknya konflik sosial-keagamaan, Jokowi tampak bergeming untuk tetap mengunjungi Afghanistan.

Konflik yang berkepanjangan membuat negara ini semakin jatuh terpuruk dalam kondisi kekacauan, meningkatnya pengangguran dan kemiskinan. Kehadiran Jokowi sebagai bagian dari muslim Indonesia, diharapkan dapat memberi pengaruh bagi perdamaian di Afghanistan, sehingga mampu mengurai beban konflik yang menggurita di wilayah itu.

Kita tentu patut berbangga menjadi warga negara Indonesia, yang walaupun berada dalam kultur masyarakat yang heterogen, namun tetap menjaga citra kesatuan dan persatuan dalam payung besar ideologi Pancasila. Melalui payung besar ideologi inilah bangsa ini tetap utuh dan kokoh, tak mudah dihantam konflik sosial-keagamaan apalagi sampai berkepanjangan, walaupun ditengah perbedaan paham yang semakin menajam.

Kultur “Islam moderat” di Indonesia tetap tumbuh subur, menjadi ciri dari kepribadian setiap masyarakat muslimnya, sehingga perbedaan-perbedaan apapun yang sedikit saja mengarah pada nuansa konflik, mudah sekali diredam.

Saya kira, Jokowi juga tampak menyadari, betapa riuh-riuh ke arah konflik sosial-keagamaan yang terkadang mewujud dalam wajah politik, tetap ada, namun berhasil dengan mudah ditepisnya. Sisi lain dari kepribadian dirinya adalah tak mudah terbawa arus, tetap konsisten dengan cara pandangnya sendiri yang tampak “moderat” seraya tak mau kompromi dengan berbagai kalangan yang dianggapnya berwajah “ekstrimis”.

Kritik terhadap dirinya adalah hal wajar, apalagi melakukan kritik terhadap berbagai kebijakannya yang dianggap tak pro rakyat, namun, jika soal shalat dan dirinya yang menjadi imam bagi Presiden Afghanistan saja di-nyinyiri, atau dituding sebagai bentuk pencitraan politik, itu sama halnya dengan menggunjing dan mencari-cari kesalahan orang lain yang justru bukan bagian dari etika komunitas beragama.

***

Editor: Pepih Nugraha