Surat dari Orang Asing

Selasa, 30 Januari 2018 | 19:29 WIB
0
573
Surat dari Orang Asing

Aku terkejut menerima suratmu.

Sudah lama kita saling bersurat dan kupikir kita telah memutuskan untuk tidak melakukannya lagi. Ketika notifikasi masuk, aku tertegun menatap layar kotak masukku sebentar, menggenggam tetikus di tanganku, berpikir untuk menandainya sebagai spam.

Jika itu ditulis di atas kertas surat sungguhan, aku akan menimbang-nimbang beratnya untuk menebak jumlah halaman. Mengangkatnya menantang cahaya, menerawang amplop yang berlogo Air Mail untuk membaca satu-dua kata.

Aku tak tahu mengapa aku membayangkan hal seperti ini.

Sebenarnya, butuh waktu lama bagiku untuk mengubur kenangan tentangmu di dasar bawah sadar, meski aku tidak pernah mengakuinya. Memori tentangmu tersimpan rapat: kamu adalah segalanya yang tidak pernah kumiliki. Aku yakin kamu tak pernah bermaksud mengganggu hidupku dengan cara yang spektakuler atau monumental, meski tak dapat dipungkiri bahwa kamu telah melakukannya.

"Complicated," kataku pada teman-temanku.

"Aku telah mencoba mengacuhkannya, tapi aku terus menunggu panggilan teleponnya, atau email yang berbunyi: 'Aku telah membuat keputusan. Aku meninggalkannya. Aku milikmu sepenuhnya.'"

Tidak ada yang benar-benar terjadi.

Tidak juga.

Baru beberapa bulan yang lalu aku memberi tahu teman-temanku, saat reuni kecil-kecilan dan ratusan pesan WhatsApp.

Dapatkah kamu jatuh cinta dengan seseorang hanya berdasarkan email mereka?

Suaramu yang tak pernah kudengar bercerita di benakku, senyummu yang tak pernah kuseduh menari di mataku, bayangan tanganmu saat mengeluarkan dompet untuk membayar santap siang bersama yang tidak pernah terjadi, percakapan ringan yang kita bincangkan—terus-menerus berulang bagai video yang terjebak pada mode rewind, pause, dan fast forward.

Ingatkah saat kamu bercerita dalam email-mu  tentang naik kereta Argo Lawu sepanjang malam dari Jakarta ke Yogya untuk menonton sendratari Ramayana di Candi Prambanan, malam terakhir bulan purnama, sementara visamu sudah kedaluwarsa?

Saat membacanya, aku merasa telah mengenalmu seumur hidupku. Saat itu, aku yakin kita akan berakhir bersama. Jadi, aku menguatkan diriku, membungkus diriku bagai kepompong yang menunggu untuk menjadi kupu-kupu.

Aku tak tahu apa yang akan menguatkanku saat mengisolasi diri dalam kesepian penantian panjang.

Tapi mungkin aku tidak mengenalmu sama sekali. Kamu masih orang asing bagiku.

Lucu. Aku terus mendorongmu menjauh. Setiap kali, aku yakin surat balasanku merupakan yang terakhir.

Sekarang aku sadar bahwa aku membiarkan pintu itu terbuka sedikit, sementara aku menoleh ke belakang  dan menggodamu untuk terus bertualang.

Namun, terakhir kali kita berhubungan, aku tahu semuanya benar-benar telah usai. Aku memikirkan kata-kata terakhir yang kamu tuliskan untukku. Saat itu aku membayangkan kamu duduk di hutan saat senja meluruh. Telapak tanganmu mengembang, menangkap daun buni liar yang melayang jatuh. Seperti diriku dalam hidupmu: keajaiban kecil pusaran waktu dan takdir. Bagiku, kamu masih terpenjara beku di masa lalu.

Meskipun kukatakan pada diriku sendiri bahwa aku telah move on, aku tak pernah berhenti mencarimu di tempat-tempat yang mungkin hadirmu—premiere film indie, festival pemusik jalanan, resital tari yang ramai dengan celoteh seniman muda di TIM. Suatu saat aku melihat sekilas bayangan yang kukira kamu berjalan menjauh dariku. Gaya jalanmu, rambutmu yang cokelat awut-awutan melambai di atas kerumunan kepala-kepala.

Aku belum berhenti mencarimu, tapi sekarang lebih banyak lagi saat-saat aku tidak memikirkanmu sama sekali.

Waktu terus mengalir. Sudah lama sekali, bukan?

Waktu dan takdir sepertinya tidak seperti dalam kisah-kisah Hollywood tentang Nemesis. Sebenarnya, aku telah bertemu seseorang.

Cinta telah menemukanku lagi.

Maka aku memutuskan untuk tidak membuka suratmu. Aku telah menghapusnya tanpa membaca isinya.

Mungkin itulah surat yang selama ini kutunggu. Mungkin juga tidak.

Aku akan menyimpan semua surat lainnya, tapi bukan yang itu.

Banda Aceh, 30 Januari 2018

***