Film Da'wah Menurut Motinggo Boosje

Senin, 29 Januari 2018 | 06:36 WIB
0
435
Film Da'wah Menurut Motinggo Boosje

Motinggo Boosje terlahir bernama Bustami Djalid ( 1937–1999 ) sastrawan, dramawan, sutradara, konon pelukis pula. Karya dramanya yang monumental adalah “Malam Jahanam” yang sampai sekarang masih sering dipentaskan terutama oleh teater sekolahan. Sinetron "7 Manusia Harimau" adalah hasil adaptasi novel 7 Manusia Harimau karya Motinggo yang ditulis pada tahun 1986.

Sebagai sastrawan yang cukup produktif, karyanya bukan hanya diapresiasi di negeri sendiri, tapi juga diterjemahkan ke berbagai bahasa semisal, Inggris, Ceko, Belanda, Perancis, Jerman, Korea, Cina, dan Jepang.

Dia pernah tergelincir menjadi penulis novel birahi yang marak saat itu. Justru itu malah namanya dikenal luas bukan hanya di kalangan sastrawan dan mahasiswa saja. Dia mulai insyaf saat anaknya mondok di pesantren Gontor. Mulailah dia menulis sejumlah novel yang bernuansa religi sampai akhir hayatnya. Kehidupan releginya pun semakin kuat, setidaknya tergambar dari beberapa pendapatnya yang sering dikutip beberapa surat kabar.

[irp posts="7516" name="Film Paling Jelek 2017"]

Dia juga bicara soal kesenian Islami. Soal film da’wah dia punya pendapat sendiri. Menurutnya, “yang disebut film da’wah harus secara keseluruhan dikerjakan oleh orang-orang yang betul-betul mengerti dan sadar untuk apa film itu dibuat. Misalnya, penulis skenario, sutradara harus betul memahami apa yang ditulis dan dikerjakannya, seorang editor juga harus mengetahui bagian mana yang penting, tidak boleh dibuang meski bagian itu menurut pandangan editor harus dibuang".

Bagi Motinggo, film “The Message” (sejarah Rasulullah) itu bukan film da’wah, tapi sekedar film sejarah. “Masalahnya bukan dalam film itu dibacakan satu atau dua ayat, atau berpakaian ala Islam, tapi bagaimana bisa menonjolkan karakteristik Islam dalam film itu.” ( Lembar Budaya Harian MERDEKA, 23 Oktober 1982 )

Berarti aktor dan aktrisnya pun paling tidak menjaga agar peran yang dilakoninya nyambung sama karakternya di kehidupan sehari-hari.

Bukankah nasehat itu bukan hanya untuk orang lain, tapi juga terutama pada diri sendiri? Perhatikan saja pembukaan setiap khutbah jumat, "Saya berwasiat kepada para hadirin dan terutama kepada diri saya sendiri untuk selalu bertakwa kepada Allah SWT."

Jadi kalau misalnya aktris yang berperan sebagai wanita sholehah, maka setelah selesai pembuatan filmnya bukan berarti “perannya” berakhir. Kalau tidak bisa menjadi lebih baik, sekurangnya tidak mengatakan hal yang buruk pada apa yang dia pakai. Misalnya saat berperan memakai hijab, setelah selesai dia mengatakan hijab itu budaya Arab, bukan budaya Indonesia.

Kalau berpatokan pada pendapat Motinggo, pertanyaannya, sudahkah ada film da’wah?

Berhubung saya jarang noton film nasional, ya silakan nilai sendiri sajalah.

***

Editor: Pepih Nugraha