Wahai Parpol, Jangan Kalian Akali Verifikasi Faktual!

Kamis, 25 Januari 2018 | 11:35 WIB
0
579
Wahai Parpol, Jangan Kalian Akali Verifikasi Faktual!

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 53/PUU-XV/2018 membatalkan Pasal 173 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terkait syarat calon peserta Pemilu 2019.

Dengan demikian, seluruh partai politik yang mendaftar ke KPU, wajib melalui tahapan verifikasi faktual. Setelah memenuhi syarat, barulah mendapatkan hak sebagai peserta pemilu 2019.

Adapun verifikasi faktual tersebut secara sederhana membuktikan antara berkas dan hasil Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) juga hasil penelitian administrasi.

Jadi, Verifikasi faktual bukan lah Sipol. Bukan juga Penelitian Administrasi. Kata saja berbeda. Apalagi makna dan teknis pengerjaannya. Verifikasi Faktual adalah kegiatan teknis. KPU sebagai penyelenggara membentuk verifikator. Mereka adalah petugas yang memastikan berkas parpol benar-benar sesuai kenyataan.

Pekerjaan verifikator terkait memastikan kantor, kepengurusan, dan keterwakilan perempuan beserta memastikan jumlah anggota parpol. Membaca putusan MK, sejak awal Pasal 173 UU 7/2017 sudah inkonstitusional. Bukan hanya meniadakan kesamaan dalam tahapan pendaftaran calon peserta pemilu 2019.

Pasal 173 ayat (3) UU 7/2017 merupakan bentuk kegagalan parpol menjamin pengelolaan organisasi politik yang sehat. Kalau saja semua parpol serius mengurus partai. Pasal 173 UU 7/2017 tidak akan lahir, tidak akan digugat dan tidak alan menyulitkan KPU. Namun, seperti pepatah “nasi sudah menjadi bubur”. Semua yang sudah terjadi. Biarlah sejarah menjadi pelajaran ke depan.

Seharusnya pembentuk UU memahami, bahwa kepatuhan akan Putusan MK wajib. Tidak bisa digugat. Ataupun diakal-akalin. Apa yang telah diputuskan MK, serta merta menjadi aturan yang mengikat layaknya UU. Oleh sebab itu, verifikasi faktual harus berjalan sebagaimana verifikasi faktual yang sudah terjadi. Baik verifikasi faktual tahun 2014 dan berlangsung kepada empat partai baru.

Alasan waktu dan dana atau paksaan dari kuasa politik. Tidak bisa dijadilan dalil untuk merubah metode dan teknis verifikasi faktual. Bayangkan saja, bagaimana cara berlaku adil? KPU melaksanakan verifikasi faktual kepada Perindo, PSI, Partai Garuda dan Partai Berkarya.

Tapi, demi mengakomodir kepentingan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR, muncullah pilihan mengubah gaya verifikasi faktual.

Sungguh ini bentuk ketidakadilan yang nyata bagi seluruh calon peserta pemilu 2019. Apabila KPU ngotot mengakomodir kepentingan Komisi II DPR. Maka, empat parpol yang sedang melaksanakan verifikasi faktual bisa menggugat KPU ke Bawaslu.

Alasannya, KPU tidak memenuhi rasa keadilan dan persamaan hak juga mengakali Putusan MK. Tentu saja, Putusan MK No. 53/PUU-XV/2018 dan Petunjuk Teknis Verifikasi Faktual 2015l4 sebagai dasar hukum. Mengingat Bawaslu sudah pernah menjatuhi putusan. Bahwa KPU terbukti melakukan pelanggaran administrasi saat sidang sengketa Sipol. Potensi sidang paska Putusan MK akan bernasib sama.

Di lain sisi, DKPP sebagai lembaga yang bertugas menjaga etika dan integritas penyelenggara pemilu. Bisa mengambil sikap untuk mengevaluasi, apakah Anggota KPU periode 2017-2022 masih bisa dipertahankan. Semua suara telah menyuarakan agar KPU menjaga integritas kelembagaan. Terlalu mahal “Kemandirian” KPU yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Putusan MK.

Bila harus tergadai oleh paksaan politik dengan alasan KPU melayani. Jalankan saja verifikasi faktual sebagaimana biasanya. Biarkan warga negara yang memegang kedaulatan menentukan pilihan, kepada parpol yang serius mengemban amanah sebagai pilar demokrasi menjadi peserta pemilu.

Andrian Habibi, Pegiat Ham dan Demokrasi.

***

Editor: Pepih Nugraha