Pesan Penting Imam Besar Masjid New York, Tokoh Pejuang Toleransi

Kamis, 25 Januari 2018 | 12:33 WIB
0
481
Pesan Penting Imam Besar Masjid New York, Tokoh Pejuang Toleransi

Saat ini orang Amerika yang masuk Islam adalah anak muda, terdidik dan average income diatas rata–rata. Setiap tahunnya ada 20.000 orang yang masuk Islam (Muhammad Shamsi Ali).

Ustadz bernama lengkap Muhammad Shamsi Ali, adalah (mantan) Imam Besar Masjid di Islamic Culture of New York, masjid terbesar di New Yor Amerika Serikat. Tinggal di luar negeri sejak usia 18 tahun membuat Syamsi Ali mengerti betul bagaimana perjalanan dan kehidupan Islam di Tanah Seberang.

Ketika berkunjung ke Indonesia, beliau menyampaikan pesan bagaimana menjaga ruh keIslaman di tengah banyaknya fitnah, tudingan dan upaya provokasi kaum Muslim di tanah air.

Pria kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, 5 Oktober 1967 ini menuturkan pengalaman hidupnya dalam taushiyah singkat di Masjid Al-Ikhsan Bank Indonesia dan Masjid Al-Badr, Abdul Muis Jakarta Pusat. Alhamdulillah, karena gerakan kaki yang tak terencana ini mampu membawa saya mendengarkan langsung nasehat beliau dua hari berturut-turut.

“Ada orang Amerika yang masuk Islam karena ingin mencari 'Teror' dalam Al-Qur’an”.

Setelah persitiwa penyerangan terhadap menara kembar World Trade Center di jantung kota New York, pada 2001 atau yang dikenal sebagai musibah 9/11, ada wartawan CNN yang mengatakan bahwa jika ingin mengetahui inspirasi teror carilah pada Al-Qur’an.

Warga Amerika ini kemudian pergi ke perpustakaan untuk mencari kitab sucinya umat Islam (Al-Qur’an). Halaman pertama dibuka, tidak ditemukan kata atau kalimat terror. Lalu halaman kedua, juga tidak ada kata/kalimat terror, halaman ketiga, keempat dan seterusnya, tidak ada satupun kata atau kalimat terror hingga dia mengatakan bahwa Al-Qur’an ini adalah Kitab Suci yang mengandung kata-kata kalimat mutiara atau hikmah.

Kejadian yang sungguh di luar dugaan. Maksud hati ingin men-judge bahwa teror itu ada dalam Islam atau Islam = Teror, yang terjadi justru sebaliknya bahwa Islam adalah cahaya kedamaian dan memeluk Islam sama saja dengan memperoleh kedamaian yang tiada tara. Subhanallah.

Fenomena di Amerika sendiri sangat menarik. Sangat tidak masuk di akal pemerintah Amerika Serikat (kala itu di pimpin oleh George Bush)  dan banyak tokoh Amerika lainnya. Masyarakat Amerika berbondong-bondong masuk Islam justru setelah peristiwa pemboman  9/11.

Pertistiwa yang sangat mengganggu kenyamanan Umat Islam di Amerika, Eropa dan belahan dunia lain. Islam dianggap teroris, kasar dan biadab. Tak heran pasca 9/11 kaum Muslim disana mendapatkan banyak terror, pemukuan hingga (kabarnya) pembakaran masjid. Bahkan sempat ada rencna untuk menutup sementara Masjid demi menjaga keamanan umat di sana.

[caption id="attachment_8994" align="alignleft" width="512"] Salat di New York (Foto: opensocietufoundations.org)[/caption]

Namun Allah memiliki rencana lain, pertumbuhan Islam paling cepat yang tidak pernah ada presedennya dalam sejarah Amerika adalah pasca 9/11.  Menurut data resmi pemerintah Amerika Serikat ada 20.000 orang Amerika yang masuk Islam setiap tahun setelah pemboman 9/11 itu. Pernyataan syahadat masuk Islam terus terjadi di kota-kota Amerika seperti New York, Wahington, Los Angeles, California, Chicago, Dallas, Texas dan yang lainnya. Tahun 2016 saja ada sekitar 8 juta orang Islam di Amerika, dengan peningkatan jumlah yang signifikan.

The Population Reference Bureau USA Today sendiri menyimpulkan: "Moslems are the world fastest growing group." Hillary Rodham Cinton, istri mantan Presiden Clinton seperti dikutip oleh Los Angeles Times mengatakan, "Islam is the fastest growing religion in America."

Yang lebih menarik lagi, saat ini orang Amerika yang masuk Islam adalah anak muda, terdidik dan average income diatas rata-rata. Mereka yang kritis, berfikiran maju dan terbuka. Semua itu wujud dari penampakan Islam yang ditampilkan kaum Muslim Amerika yang santun, ramah dan membuka dialog, kerena selama ini pandangan mereka yang serba keliru terjadi karena ketidak tahuan mereka.

Interview yang dilakukan oleh media (televisi) di Amerika, daratan Eropa maupun  jazirah Timur Tengah kepada mereka yang masuk Islam menjelaskan bahwa motivasi mereka masuk Islam memiliki latar belakang yang beraneka warna. Hal juga tergambarkan pada sarana media social, seperti Vlog dan lainnya.

Satu

Karena keseharian mereka yang bebas, sekuler, bisa jadi tidak terarah masa depan, tidak punya tujuan, money oriented, music and fun. Pola hidup konsumerisme menciptakan kegersangan dan kegelisahan jiwa. Mereka merasakan kekacauan hidup, tidak seperti pada orang-orang Muslim yang mereka kenal.

Dalam hingar bingar dunia modern dan fasilitas materi yang melimpah banyak dari mereka yang merasakan kehampaan dan ketidakbahagiaan. Ketika menemukan Islam dari membaca Al-Quran, dari buku atau kehidupan teman Muslimnya yang sehari-harinya taat beragama, dengan mudah saja mereka masuk Islam.

Dua

Pada agama yang mereka anut sebelumnya, mereka tidak merasa kedamaian dan kebahagiaan. Sebaliknya, mereka melihat langsung bagaimana kaum Muslim di sana begitu indah, damai dan tenang meskipun mendapatkan banyak cecaan, gunjingan dan cobaan lainnya. Mereka melihat Islam mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh pemeluknya,

Allison dari North Caroline dan Barbara Cartabuka, seorang di antara 6,5 juta orang Amerika yang masuk Islam pasca 9/11, seperti diberitakan oleh Veronica De La Cruz dalam CNN Headline News, Allison mengaku "Islam is much more about peace." Sedangkan Barbara tidak pernah merasakan kedamaian selama menganut agama lain seperti kini dirasakannya setelah menjadi Muslim.

Apa yang dilakukan oleh Syamsi Ali dan para Imam lainnya sehingga fenomena ini terasa menggema di seluruh daratan Amerika (hingga Dunia) ?

Menjalankan sunnah Rasulullah SAW, di antaranya:

 

 

  • Menebarkan senyum kepada mereka yang menghujat

 

 

  • Menjelaskan penampakan Islam dalam keseharian (bukan slogan)

 

 

  • Membangun dialog dengan semua unsure yang ada.

 

 

Wallahu’alam...

 

Salam ukhuwah

Elha, pengamat sosial pinggiran

***

Editor: Pepih Nugraha